Paulus adalah rasul Kristus. Gelar sebagai rasul Kristus ini dikatakan
sendiri oleh Paulus. Hal ini terlihat dari beberapa pengantar suratnya, seperti
1 dan 2 Korintus, Efesus, Kolese dan 1 dan 2 Timotius. Sebagaimana rasul
lainnya, tugas Paulus adalah mewartakan Injil Kristus. Bahkan bisa dikatakan
bahwa inilah tugas utamanya. Paulus pernah berkata, “Celakalah aku, jika aku
tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9: 16).
Selain mewartakan Injil, tugas pokok Paulus yang lain adalah membangun
jemaat. Dalam menjalankan tugasnya, Paulus jarang sekali memperhatikan
kepentingan pribadinya. Semua usahanya ditujukan pada pelaksanaan tugasnya saja.
Kerapkali Paulus menghadapi banyak cobaan, dari dihina, disepelekan, dilempar
batu sampai dikira sudah mati, hingga kapal karam. Dalam menjalankan tugas
mewartakan Injil Kristus, Paulus juga mendapat
tantangan dari masyarakat yang sudah “mapan” baik dalam hal budaya
(perkawinan, adat istiadat, seks bebas dan liar, dll), sosial (gender,
status sosial, dll), mentalitas warga (hedonistis, konsumtivistis,
materialistis, dll).
Sekalipun tantangan dan cobaan menghadang, Paulus tetap terus berjuang. Ia
tetap setia pada panggilannya. Paulus tidak lari dan meninggalkan
tugasnya. Ia terus mewartakan Injil baik lewat kata-kata maupun aksi nyata.
Kesetiaan Paulus dalam menjalani tugas dilakukan hingga akhir waktu. “Aku telah
mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah
memelihara iman.” (2 Tim 4: 7).
Begitu besarnya pengorbanan Paulus dalam menjalani tugas dan begitu banyaknya yang dikerjakan Paulus, tentulah membuat orang berpikir bahwa upah yang diterimanya juga banyak. Bukankah Tuhan Yesus sendiri sudah berkata, “Seorang pekerja patut mendapat upah.” (Mat 10: 10)? Paulus tidak menampik soal itu. Namun melihat upahnya, orang tentu akan heran. Paulus pernah berkata, “Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah.” (1 Kor 9: 18). Paulus mendapat upah, tapi upahnya adalah tidak mendapat upah. Dengan kata lain, Paulus tidak menerima gaji atau upah dari tugas yang dijalankannya. Hal ini tentu berdasarkan nasehat Tuhan Yesus sendiri, “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat 10: 8).
Karena telah menerima “kuasa” dari Tuhan Yesus secara gratis, maka Paulus
memberi diri dalam pelayanannya secara gratis. Inilah semangat Paulus. Semangat
ini kiranya kontras dengan sebagian besar imam dewasa ini yang begitu haus akan
uang dan kekuasaan, seperti yang disinyalir oleh Paus Fransiskus.
Sekalipun menerima “kuasa” secara gratis, namun ada imam yang begitu rakus akan
gaji.
Sebagian besar imam menyelesaikan kuliahnya tanpa mengeluarkan uang
sepeserpun. Semua kebutuhannya sudah dipenuhi, baik oleh keuskupan maupun oleh
kongregasi. Bahkan untuk kuliah lanjut, sehingga bisa menduduki jabatan di
komisi anu atau yayasan anu pun, tidak mengeluarkan biaya pribadi. Jadi,
bayangkanlah: kuliah hingga ditahbiskan, gratis; kuliah lanjutan juga gratis,
menerima jabatan juga gratis; akan tetapi gajinya dimakan sendiri. Padahal
sudah ada ketentuan bahwa gaji diserahkan ke keuskupan/kongregasi, sebagai
wujud semangat “memperoleh dengan cuma-cuma, karena itu memberi juga dengan
cuma-cuma.”
Dapat dikatakan bahwa lain padang, lain belalang. Setiap jaman ada
kekhasannya. Semangat “memberi dengan cuma-cuma karena menerima dengan
cuma-cuma” sepertinya hanya berlaku pada jaman para rasul. Semangat itu, bagi
sebagian imam, sudah tinggal kenangan. Atau, semangat itu hanya dikenakan
kepada umat, bukan pada imam. Umatlah yang harus memberi dengan cuma-cuma.
Melihat hal inilah, Paus Fransiskus,
dalam pembukaan Sinode Keluarga awal Oktober lalu, mengatakan adanya gembala yang
buruk. Gembala yang buruk ini adalah mereka yang haus akan uang dan
kekuasaan/jabatan. Paus sudah melihat bahwa ada banyak imam yang begitu
bernafsu menduduki jabatan-jabatan tertentu, bahkan sampai rangkap jabatan,
karena ingin mendapatkan uang yang banyak. Mereka tidak merasa puas dengan uang
saku bulanan, sehingga gaji dari yayasan ini itu diambil untuk kepentingan
pribadi. Jadi, Paus Fransiskus mau
mengkritik sifat serakah para imam. Di sini Paus hendak mengajak para imam
untuk mengikuti teladan Paulus, dimana upahnya adalah tidak mendapatkan upah,
atau semangat “memberi dengan cuma-cuma, karena memperoleh dengan cuma-cuma.”
Akankah seruan Paus Fransiskus ini akan menjadi kenangan juga? Semuanya berpulang pada ketegasan pribadi imam dan juga uskup atau pimpinan kongregasi. Uskup atau pimpinan kongregasi harus bersikap tegas terhadap imamnya yang memiliki sifat serakah tadi. Tidak bisa hanya dengan membiarkan kesadaran imam itu tumbuh atau membiarkan waktu yang menyelesaikan. Sikap pembiaran dapat diartikan mendukung keserakahan itu. Dan jika memang demikian, dapatlah dikatakan kalau uskup atau pimpinan kongregasi berniat membuat seruan Paus Fransiskus itu menjadi kenangan, sama seperti teladan Paulus dan nasehat Tuhan Yesus.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar