Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah (QS 33: 21)
Islam mengakui 25 nabi dan rasul. Dari ke-25 nabi dan
rasul itu, hanya Muhammad saja yang mendapat perlakuan istimewa. Muhammad
disanjung dan dimuliakan. Kehidupannya dijadikan contoh teladan bagi umat
islam. Nabi-nabi lain “bisa” saja dihina, asal jangan Muhammad. Penghinaan
terhadap Muhammad, tidak hanya mendatangkan kemarahan umat islam, tetapi juga
akan berdampak maut bagi pelakunya. Tidak boleh ada hal negatif pada Muhammad,
karena dia adalah manusia sempurna. Sikap terhadap Muhammad ini didasarkan pada
perkataan Allah sendiri.
Kutipan ayat Al-Qur’an di atas adalah wahyu Allah. Umat
islam yakin, apa yang tertulis di atas (kecuali beberapa kata yang ada dalam
tanda kurung) langsung diucapkan oleh Allah kepada Muhammad. Karena Allah yang
mengucapkannya adalah maha benar, maka benar juga apa yang dikatakan-Nya. Allah
juga sudah mengatakan bahwa Dia memudahkan wahyu-Nya sehingga mudah dipahami
oleh umat. Dengan kata lain, apa yang tertulis dalam surah al-Ahzab ayat 21 itu
adalah benar dan jelas. Wahyu Allah ini dimaknai bahwa Muhammad mempunyai suri
teladan yang baik, yang harus dicontoh oleh orang yang mengharapkan rahmat
Allah dan kedatangan hari kiamat serta yang banyak mengingat Allah.
Akan tetapi, bagi orang yang masih mempunyai akal sehat
tentulah tidak serta merta menerima pernyataan bahwa Muhammad adalah manusia
sempurna. Bahkan mereka akan mempertanyakan wahyu Allah tersebut. Suri teladan
yang baik seperti apa yang ditampilkan oleh Muhammad sehingga pantas dicontohi
oleh orang, khususnya umat islam? Tidak adanya contoh detail tentang suri
teladan yang baik ini membuat umat islam langsung menyimpulkan tidak ada yang
buruk pada Muhammad.
Dengan demikian wahyu Allah di atas menemukan masalah pada soal “suri teladan yang baik”. Seperti apa suri teladan yang baik itu?
Umat islam tentulah hanya fokus pada sisi positif dan
langsung mengabaikan hal-hal negatif yang pastinya ada dalam diri Muhammad.
Namun bagi orang yang punya akal sehat, selain mengakui sisi positif, mereka
mengakui juga sisi negatif Muhammad. Ketika membaca sumber-sumber islam
sendiri, mereka menemukan kalau Muhammad memiliki dosa (QS
al-Fath: 2, QS Hud: 112 dan QS at-Taubah 117). Jika benar Al-Qur’an itu wahyu Allah, maka pernyataan bahwa Muhammad
punya dosa berasal dari Allah. Allah sendirilah yang mengatakan hal itu. Dengan
demikian, Muhammad bukanlah manusia sempurna. Ketika membaca hadis Bukhari dan
Muslim, ditemukan bahwa Muhammad menikahi gadis usia 6 tahun dan bersetubuh
dengan anak gadis usia 9 tahun. Apakah ini suri teladan yang baik? Ketika
membaca hadis Bukhari, orang akan menemukan perintah Muhammad untuk membunuh
orang yang murtad. Apakah ini suri teladan yang baik?
Secara sederhana, orang yang punya akal sehat akan
kesulitan menerima pernyataan bahwa Muhammad hanya memiliki suri teladan yang
baik. Setidaknya ada 2 kata yang langsung bertentangan dengan frase “suri
teladan yang baik”, yaitu bejat dan biadab. Kebejatan Muhammad terlihat
dari menikahi gadis usia 6 tahun dan bersetubuh dengan anak gadis usia 9 tahun,
menikah dengan menantunya sendiri, menikah dengan lebih dari 10 wanita, dan
masih banyak contoh lainnya. Bagaimana mungkin seorang nabi dan rasul melakukan
hal ini. Kebiadaban Muhammad sepertinya terwakilkan dengan kata-kata Kaisar Byzantium, Manuel II Paleologus, “Tunjukkan padaku
apa yang baru yang diajarkan Muhammad, dan yang kau akan temukan hanyalah
kejahatan dan kebiadaban, seperti misalnya perintahnya untuk menyebarkan
agamanya dengan pedang.” Bagaimana mungkin
seorang dikatakan biadab mempunyai suri
teladan yang baik yang harus dicontoh atau diikuti.
Mungkin ada umat islam yang mencoba membenarkan wahyu
Allah itu dengan mengatakan bahwa pada saat diturunkan, Muhammad memang
benar-benar memiliki suri teladan yang baik. Argumen seperti ini mengandung
banyak kelemahan.
1. Jika memang benar demikian, maka Muhammad hanya diikuti
atau dicontohi oleh orang dulu saja. Umat islam sekarang tidak perlu lagi
mencontohi dia, karena setelah wahyu itu terbukti Muhammad tidak lagi memiliki
suri teladan yang baik.
2. Jika memang benar demikian, maka wahyu Allah tidak
menjadi relevan lagi. Wahyu Allah itu sudah mati. Jika demikian, buat apa lagi
ada di Al-Qur’an?
3. Jika memang benar demikian, maka suri teladan yang baik
itu hanya ada dulu, sementara sekarang sudah tak ada lagi. Dengan demikian,
argumen tersebut mau mengakui sisi negatif Muhammad. Akan tetapi, kenapa umat
islam masih tetap menyanjungnya?
4. Surah al-Ahzab, dimana kutipan wahyu di atas berada,
masuk kelompok surah madaniyyah. Artinya, wahyu Allah ini turun ketika Muhammad
ada di Madinah. Catatan sejarah membuktikan kebejatan dan kebiadaban Muhammad
baru terlihat ketika ia sudah menjadi penguasa di Madinah. Menjadi persoalan,
tidak ada data historis kapan surah al-Azhab, khususnya wahyu Allah dalam ayat
21 ini muncul.
5. Catatan bahwa Muhammad punya dosa lahir dari wahyu Allah
yang turun di Mekkah (QS Hud: 112). Artinya, sebelum wahyu Allah yang menyatakan Muhammad
punya suri teladan yang baik, Allah sudah terlebih dahulu mengatakan dia punya
dosa. Memang tidak dijelaskan apa saja dosa Muhammad. Akan tetapi, umumnya dosa
dimaknai dengan perbuatan-perbuatan tidak baik, yang bertentangan dengan
kehendak Allah. Apakah itu patut dicontohi?
Demikianlah 5 kelemahan yang muncul dari upaya
menyelamatkan kebenaran wahyu Allah. Telaah kritis atas wahyu Allah ini, dengan
berpusat pada frase “suri teladan yang baik”, tentulah akan melahirkan 2
kesimpulan. Pertama, jika memang
benar kutipan ayat di atas adalah perkataan Allah, betapa bodohnya Allah yang
mengatakan itu. Bagaimana mungkin Allah tidak bisa membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Bagaimana mungkin kebejatan dan kebiadaban masuk dalam
kategori suri teladan yang baik. Ataukah Allah yang bersabda ini adalah Allah
yang bejat dan biadab juga?
Kedua, jika Allah itu memang benar mahatahu dan maha bijak, haruslah
dikatakan bahwa kutipan ayat di atas bukanlah wahyu Allah, melainkan perkataan
Muhammad. Dari sini orang dapat menilai seperti apa kepribadian Muhammad. Tak
dapat disangkal lagi, jika kutipan ayat di atas diterima sebagai kata-kata
Muhammad, maka dapatlah dinilai bahwa Muhammad memiliki kepribadian narsistik.
Salah satu ciri kepribadian narsistik sudah
terlihat, yaitu menganggap dirinya sangat penting dan harus dikagumi. Ciri lainnya adalah percaya bahwa dirinya lebih baik dari orang lain dan mengharapkan pujian konstan dan kekaguman. Semua itu terlihat jelas pada diri Muhammad.
Dabo Singkep, 12 Desember 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar