Dalam ensikliknya Evagelii Gaudium, Paus Fransiskus, menyajikan
godaan-godaan yang dihadapi para petugas pastoral. Topik ini sangat menarik
mengingat posisi saya dan rekan-rekan lainnya sebagai petugas pastoral. Romo
Vikep sendiri menyatakan bahwa topik ini memang menarik. Yang menjadi daya
tariknya adalah kata “godaan”. Bukankah godaan itu selalu menarik? Hawa jatuh
ke dalam dosa karena ia melihat buah pohon itu menarik hati karena memberi
pengertian (Kej 3: 6). Ia tergoda.
Lantas apa saja yang menjadi godaan-godaan kami pada imam, yang adalah
petugas pastoral? Perlu disadari bahwa godaan itu sekaligus juga tantangan
dalam mewartakan kabar sukacita.
Ada beberapa poin godaan dan sekaligus tantangan. Semua poin itu menarik
bagi saya, dan sangat mengena pada kehidupan saya. Akan tetapi saya lebih
terkesan dan tertarik dengan poin keenam. Kata kuncinya adalah pertikaian dan
perselisihan di antara petugas pastoral. Tema ini menjadi menarik karena ia
begitu aktual. Ada banyak imam hidup dalam pertikaian dan perselisihan. Saya
sendiri pun pernah mengalaminya.
Namun, ada satu hal yang perlu saya sampaikan. Bukan berarti saya mau
membantah topik atau bahan refleksi itu; dan bukan pula saya mau membela diri.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa tidak semua perselisihan dan pertikaian
itu negatif. Kebanyakan orang menilai, sebagaimana juga dikatakan dalam bahan
refleksi itu, bahwa perselisihan dan pertikaian itu disebabkan karena cemburu
dan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Padahal tidaklah selalu demikian.
Tak sedikit orang berselisih demi kebaikan dan kebenaran.
Tuhan Yesus, selama hidup-Nya, selalu berselisih dengan kaum Farisi, Saduki, para imam dan ahli-ahli Taurat. Yesus sering mengecam mereka. Apa lantas bisa dikatakan Yesus cemburu dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri? Sama sekali tidak. Justru beberapa kali terlihat merekalah yang iri hati terhadap Yesus. Dan lewat perselisihan itu Tuhan Yesus mau menunjukkan kebenaran dan kebaikan, bukan untuk diri-Nya, melainkan untuk mereka dan umat manusia.
Demikian dalam kehidupan para imam. Ada beberapa imam, termasuk saya, suka
mempermasalahkan soal keuangan di keuskupan ini. Ada imam terima gaji tetapi
tidak mau setor ke keuskupan, meski ada aturan yang menghendaki demikian. Nah,
imam-imam yang mempermasalahkan hal ini, sehingga menimbulkan pertikaian dan
perselisihan, menurut pribadi saya, bukan lantaran cemburu. Kami melakukannya
demi kebenaran dan keadilan. Bukan untuk diri kami pribadi, melainkan untuk
keuskupan.
Atau ada imam, termasuk juga saya, mempersoalkan rangkap jabatan. Bukan
karena kami cemburu karena tidak punya banyak jabatan atau karena nafsu akan
jabatan, melainkan demi keuskupan. Fakta sudah membuktikan ada banyak
tugas-tugas yang diemban oleh seorang rekan imam yang rangkap jabatan
terbengkelai. Tugas sekretariat kacau, paroki terbengkelai. Kami hanya ingin
keuskupan ini menjadi baik. Untuk itu, terjadilah perselisihan.
Saya pribadi juga pernah berselisih dengan sesama rekan imam. Waktu itu dia
sebagai pastor paroki, sedangkan saya sebagai pastor pembantu. Yang menjadi
topik permasalahan kami adalah keuangan paroki. Bagi saya, keuangan paroki itu
amat sangat misterius. Tidak ada yang boleh mengetahui keuangan paroki selain
pastor paroki dan (bendahara) paroki. Saya, sebagai pastor pembantu, pun tidak
diperkenankan untuk tahu, bahkan dihalang-halangi untuk mengetahuinya. Karena
itu, saya mengecam. Saya menuntut agar diadakan transparansi keuangan. Saya
dinilai sangat berbahaya, sehingga selalu diusahakan untuk disingkirkan atau
dijauhkan dari paroki itu. Dari sini orang lantas menilai kami berselisih.
Akan tetapi, saya tegaskan bahwa perselisihan itu bukan disebabkan karena
saya cemburu atau nafsu jabatan. Saya juga tidak sedang memperjuangkan kepentingan
pribadi. Saya hanya meminta transparansi keuangan. Bagi saya transparansi
merupakan wujud pertanggungjawaban kita kepada umat. Uang paroki adalah uang
umat. Uang itu harus digunakan untuk kepentingan pastoral, pengembangan iman
umat. Yang sering terjadi adalah ketika umat mau mengadakan kegiatan pastoral,
misalnya rekoleksi atau retret, selalu saja menemui kendala dalam soal biaya.
Pastor paroki selalu beralasan tidak ada uang. Karena itu, beberapa kali saya
mengadakan kegiatan pastoral dengan menggunakan uang pribadi.
Jadi, sama sekali tidak ada rasa cemburu atau mementingkan kepentingan
pribadi. Saya berselisih dengan pastor paroki demi kebenaran dan kebaikan
bersama. Bagi saya, dengan transparansi maka pastor paroki tidak akan jatuh ke
dalam dosa korupsi dan uang bisa digunakan sebagaimana mestinya.
Apakah saya memusuhi pastor paroki itu? Berselisih dan bertikai tidaklah harus berakhir dengan permusuhan, meski ia berpotensi ke sana. Saya tidak mengadakan permusuhan dengan mantan pastor paroki, walau kami pernah terlibat dalam perselisihan dan saya tahu bahwa paroki itu belum juga melakukan transparansi keuangan. Beberapa kali kami bertemu dan berbicara seperti biasa. Sekali saya pernah kembali ke paroki itu bersamanya dalam satu kapal. Kami ngobrol bersama di atas kapal. Sama sekali saya tidak memusuhinya. Saya tidak tahu dengan dirinya terhadap saya.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar