Sesungguhnya
orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang Majusi
dan orang Musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari
kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu. (QS 22: 17)
Tak
bisa dipungkiri bahwa umat islam percaya bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah
yang langsung disampaikan kepada Muhammad, yang kemudian ditulis di atas
kertas. Sekalipun ada di kertas, tapi umat islam yakin bahwa itu adalah kata-kata
Allah sendiri; apa yang tertulis di kertas itu
merupakan perkataan Allah. Karena Allah itu suci,
maka kertas yang ditulisi perkataan Allah adalah suci juga. Maka tak heran
ketika ditemukan lembaran-lembaran Al-Qur’an di tempat sampah, yang sebagiannya
sudah terbakar, umat islam merasa marah. Hal itu dilihat sebagai bentuk
penghinaan terhadap Allah. Allah sendiri sudah meminta umat islam untuk
membunuh mereka yang menghina-Nya.
Dasar
keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung
disampaikan kepada Muhammad adalah perkataan Allah sendiri. Allah sudah
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berasal dari diri-Nya. Berhubung Allah itu
mahabenar, maka apa yang dikatakannya juga adalah benar. Mana mungkin Allah
yang mahabenar itu berbohong? Tak mungkin
Al-Qur’an itu ciptaan manusia, karena manusia bisa berbohong. Logika pikir
orang islam kira-kira begini: bahwa Al-Qur’an itu wahyu Allah karena Allah
sendiri yang mengatakannya adalah benar, sebab Allah itu mahabenar yang tak
bisa berbohong.
Berangkat dari premis ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan berasal dari Allah dan merupakan satu kebenaran. Apa yang tertulis di atas, semuanya diyakini merupakan kata-kata Allah, yang kemudian ditulis oleh manusia. Seperti itulah kata-kata Allah ketika diucapkan. Kutipan wahyu Allah di atas terdiri dari 2 kalimat. Sebenarnya isi dari kedua kalimat tersebut sama saja, yaitu bahwa Allah akan menjadi saksi bagi orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang Musyrik.
Ada
dua hal menarik dari wahyu Allah di atas. Pertama,
dikatakan bahwa Allah akan menjadi saksi bagi umat beragama. Ini merupakan
pernyataan langsung dari Allah. Menjadi pertanyaan adalah Allah yang mana? Yang
pasti, yang menjadi saksi itu bukanlah Allah yang sedang berbicara. Secara linguistik,
tidaklah bisa Allah yang berbicara menjadi saksi. Dengan menyebut nama Allah
dalam pernyataan-Nya, mengindikasikan adanya Allah yang lain. Allah yang lain
itu berbeda dengan Allah yang berbicara. Dia-lah yang menjadi saksi, bukan
Allah yang berbicara. Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada 2 Allah, dan kedua
Allah ini adalah Allahnya umat islam.
Kedua,
kutipan wahyu Allah di atas memiliki kemiripan sekaligus bertentangan dengan
wahyu Allah lainnya. Misalnya, dalam QS al-Baqarah: 62 Allah berfirman “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya….” Jika dalam surah al-Hajj, Allah umat islam menjadi
Allah bagi orang yang beriman, orang Yahudi, orang
Nasrani, orang Sabiin dan lainnya, dalam surah al-Baqarah Allah tiap
pemeluk agama menjadi Allah bagi umat-Nya. Dengan kata lain, dalam surah
al-Baqarah Allah menegaskan bahwa masing-masing pemeluk agama mempunyai
Allahnya sendiri, sementara dalam surah al-Hajj pemeluk agama lain tidak
mempunyai Allahnya sendiri. Semuanya merujuk pada Allah islam, yang satunya,
bukan Allah islam yang saat itu sedang berbicara.
Dalam
poin kedua ini terlihat jelas adanya pertentangan wahyu Allah dalam surah
al-Hajj dan surah al-Baqarah. Wahyu mana yang benar? Apakah Allah islam menjadi
Allah bagi umat agama lain atau masing-masing pemeluk agama mempunyai Allahnya
sendiri? Jika wahyu Allah dinilai sebagai sebuah kebenaran, bagaimana mungkin
ada 2 kebenaran yang saling bertentangan. Tentulah yang satu benar dan yang
lain salah. Tidak bisa dua-duanya benar.
Berangkat dari uraian di atas tampak jelas
adanya ketidak-jelasan dan kekacauan teologis. Melihat kekacauan dan
ketidak-jelasan ini, dapatlah diajukan satu pertanyaan, benarkah Al-Qur’an atau
kutipan ayat di atas merupakan perkataan Allah? Bagi orang yang mempunyai akal
sehat, pastilah akan mengatakan bahwa kutipan ayat itu bukan dari Allah, karena
Allah itu maha sempurna, mahatahu dan maha benar. Tentulah pendapat ini hendak
menyelamatkan Al-Qur’an sebagai kitab yang jelas. Akan tetapi, pendapat ini
bukan tanpa konsekuensi. Jika kutipan itu bukan dari Allah, maka haruslah
dikatakan bahwa kutipan itu bukan ayat Al-Qur’an.
Di atas sudah dikatakan bahwa kutipan ayat
di atas adalah perkataan Allah sendiri. Namun ketika ditelaah terlihat Allah
begitu bodoh alias tidak bijaksana. Hal ini tentulah membuat orang akan meragukan kalau ayat itu berasal dari Allah. Bagaimana mungkin Allah
yang maha bijaksana bisa tampil bodoh. Bagaimana mungkin Allah yang maha sempurna bisa tidak jelas. Bagi orang yang punya akal sehat
pastilah akan mengatakan bahwa kutipan ayat di atas bukanlah merupakan wahyu Allah, tetapi hasil rekayasa manusia. Hanya manusia saja, yang karena
keterbatasannya, bisa tampil bodoh. Dan manusia yang
bertanggung jawab dalam hal ini adalah Muhammad.
Lingga, 10 Novemver 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar