Curiga merupakan salah satu sifat manusia. Hampir setiap manusia memiliki
sifat ini. Bahkan orang yang suka menasehati sesama untuk tidak curiga sering
juga curiga. Kecurigaan muncul biasanya berawal dari rasa tidak percaya atas
apa yang dilihat dan apa yang didengar. Misalnya, saya melihat seseorang yang
tidak saya kenal dengan tampang seram. Saya tidak percaya padanya. Dari sini
muncul kecurigaan orang tersebut dapat mencelakakan saya.
Bahkan curiga terjadi atas sesuatu yang belum diketahui atau belum pasti.
Sebagai contoh orang yang mempunyai fobia pada orang asing. Ketika orang asing
menawarkan makanan kepadanya, dia langsung mencurigai bahwa orang asing itu
hendak meracuni dirinya. Ada tidaknya racun dalam makanan itu belumlah
diketahui dengan pasti. Namun karena ketakutan tadi membuat ia curiga.
Kata “curiga” seringkali dijadikan alat pembelaan diri. Kata ini sering
disematkan kepada orang yang suka mengusiki kehidupan orang lain. Tentulah kita
tak ingin hidup kita diusik. Tak jarang pula kita benci pada orang-orang
seperti itu. Nah, untuk menangkal mereka yang gemar mengusik, orang-orang
seperti itu dikenakan kata curiga. Kata ini biasanya memiliki konotasi negatif,
sehingga orang yang disematkan kata ini memiliki label negatif (jelek atau
jahat secara moral). Dan tentulah setiap orang tak suka dikatakan negatif.
Orang yang suka mengusiki kehidupan orang lain dengan sikap curiganya itu biasanya disebabkan karena iri hati. Inilah yang selalu dilontarkan orang yang hendak membela diri melawan orang-orang yang suka mengusik tadi. Sebagai contoh, Nikolaus tak mau kehidupannya diketahui oleh orang lain, sementara ada orang yang ingin tahu. Karena tak memperoleh akses, maka yang dapat dilakukan orang adalah mencurigai kehidupan Nikolaus itu. Akan tetapi, Nikolaus dapat berkelit dengan mengatakan bahwa orang-orang yang mencurigai dirinya itu karena iri hati.
Curiga selalu diidentikkan dengan iri hati. Karena iri melihat kesuksesan
orang lain, maka seseorang curiga bahwa kesuksesan itu didapat dengan cara
illegal. Karena iri melihat kekayaan orang lain, maka seseorang curiga bahwa
kekayaan itu diperoleh dari hasil korupsi. Karena iri melihat kedekatan relasi
orang lain, maka seseorang curiga bahwa telah terjadi perselingkuhan. Sifat
curiga muncul karena iri hati.
Tapi apakah curiga itu muncul hanya karena iri hati saja? Seperti yang
telah disebut di atas, pernyataan bahwa curiga karena iri hati sering dijadikan
senjata pembelaan diri. Saya tidak mau supaya orang tidak mengutak-atik
kehidupan saya, maka saya menyatakan bahwa siapa saja yang mencoba mengusik
kehidupan saya (curiga) itu pasti karena iri hati. Padahal tidak selamanya
sikap curiga itu karena iri hati. Bahkan bisa dikatakan bahwa tak selamanya
sikap curiga itu buruk.
Sikap curiga dalam artian tertentu bisa dimengerti sebagai sikap waspada dan
sikap kritis. Sebagai contoh, ketika memasuki sebuah rumah, saya
melihat ada seekor anjing besar. Saya belum pernah bertemu dengan anjing itu,
dan anjing itu pun belum pernah berkenalan dengan saya. Adalah wajar jika saya
mencurigai bahwa anjing itu galak dan dapat mencelakai diri saya. Sikap curiga
ini dimengerti sebagai sikap waspada. Dan sikap ini tidaklah salah; malah bisa
dikatakan sebagai sikap yang wajar dan baik.
Contoh sikap curiga sebagai sikap kritis dapat dilihat dari ajakan
komisionaris KPK, Busyro Muqoddas, yang mengajak warga untuk “mencurigai”
kehidupan setiap pegawai negeri. Artinya, jika ada seorang pegawai negeri biasa
tapi memiliki kekayaan luar biasa, patutlah dicurigai bahwa kekayaannya didapat
dari cara yang tidak halal. Bukan lantas berarti bahwa warga yang mencurigai
itu adalah warga yang iri hati melihat pegawai negeri itu kaya.
Atau contoh lain adalah soal permintaan transparansi dalam hal keuangan
paroki. Ada umat yang curiga berkaitan dengan penggunaan uang paroki oleh
pastor parokinya. Ia menemukan beberapa kejanggalan, seperti laporan keuangan
hanya diketahui oleh pastor kepala paroki dan bendaharanya saja, pastor kepala
paroki salalu menghindar jika diminta laporan keuangan, bendahara mengerjakan
laporan keuangan bukan dikantor, melainkan di kamar pastornya, dan lain
sebagainya. Kecurigaan yang muncul bukan karena umat iri hati. Kecurigaan itu
lahir dari sikap kritis serta tuntutan akan akuntabilitas keuangan paroki.
Jadi, curiga yang dilakukan kebanyakan orang janganlah dimaknai sebagai
sikap iri hati. Tak selamanya sifat curiga itu muncul karena iri hati. Sifat
curiga dapat juga muncul karena kewaspadaan dan juga sikap kritis. Sifat curiga
yang lahir dari sikap kritis merupakan salah satu bentuk pertanggung-jawaban
moral akan hidup bersama. Selain itu tak selamanya sifat curiga itu buruk atau
jahat. Selagi memiliki dasar yang dapat dipertanggung-jawabkan, sifat curiga
adalah baik. Sifat curiga menjadi buruk jika tidak ada dasar, alias curiga
membabi-buta.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar