Pada
bulan September 2021 publik Indonesia dihebohkan dengan adanya kasus Mansyardin
Malik. Kasusnya tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan yang
dimaksud adalah kekerasan seksual. Ada dua bentuk kekerasan yang dilakukan Mansyardin
Malik terhadap istri sirinya, yakni Marlina. Mansyardin selalu memaksa
berhubungan badan sekalipun istrinya menolak (karena lagi haid) serta
bersenggama dengan cara yang tak wajar (anal sexual). Akibat perbuatannya itu,
dikabarkan sang istri mengalami penderitaan, yang akhirnya berujung pada
perceraian.
Sebenarnya
kasus seperti ini banyak ditemui dalam masyarakat kita. Akan tetapi,
kasus-kasus tersebut, bukan cuma luput dari perhatian media, tidak membuat
heboh masyarakat Indonesia. Ada dua hal yang membuat kasus Mansyardin Malik ini
menjadi heboh. Pertama, oleh media, kasus
ini dikaitkan dengan anak Mansyardin Malik, yaitu Taqi Malik. Taqi Malik
sendiri adalah seorang penceramah agama islam yang lumayan popular. Jika bukan
karena Taqi Malik, hampir dapat dipastikan kasus Mansyardin Malik ini tidak akan
heboh, tak akan menarik perhatian publik. Kedua,
oleh Mansyardin Malik sendiri, dan mungkin terkait dengan peran anaknya
sebagai penceramah agama, perbuatannya dikaitkan dengan ajaran islam. Artinya, apa
yang dilakukan Mansyardin Malik (kekerasan seksual) mendapat pembenaran dalam
ajaran islam.
Terkait
masalah kekerasan dalam rumah tangga, yang dikaitkan dengan ajaran islam, kami
pernah menulisnya dalam blog ini. Setidaknya ada dua tulisan tentang hal ini,
yaitu KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PANDANGAN ISLAM dan MEMPERSOAL PASAL PERKOSAANSUAMI TERHADAP ISTRI DAN PASAL PERJUDIAN DALAM RKUHP. Dalam dua tulisan ini
dikatakan bahwa penanganan kasus KDRT akan menemui kendala berhadapan dengan hukum
islam. Dengan kata lain, penanganan kasus kekerasan seksual dalam kehidupan
rumah tangga, antara suami dan istri, merupakan pertarungan antara hukum islam
dan hukum sipil (hukum positif). Hal ini tentulah menjadi dilema, baik bagi
polisi maupun hakim.
Sebagaimana kasus Mansyardin Malik, Mansyardin sendiri dengan terang-terang menegaskan bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan ajaran islam. Bisa dikatakan bahwa agama islam mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan seksual, atau tindakan kekerasan seksual itu bukanlah dosa, malah halal. Dengan perkataan lain, tindakan kekerasan seksual ini di mata agama islam adalah benar. Akan tetapi, tindakan kekerasan seksual ini, sekalipun dilakukan oleh suami terhadap istri, di mata hukum positif adalah salah.
Atas
pernyataan Mansyardin Malik, yang mengaitkan kasusnya dengan ajaran islam, sikap
umat islam sendiri terpecah. Ada banyak yang menolak, namun tak sedikit pula
yang mendukung. Sikap menolak artinya pernyataan Mansyardin Malik salah. Sikap menolak
ini, seperti sikap terhadap terorisme yang dikaitkan dengan islam, terbagi lagi
setidaknya dalam dua kategori. Ada yang menolak karena tidak mau agama islam
dikaitkan dengan hal buruk (masak agama mengajarkan kejahatan?); ada yang
menolak karena perbedaan tafsir (Mansyardin Malik salah menafsirkan ajaran
islam). Sikap mendukung artinya pernyataan Mansyardin Malik benar. Jadi, memang
agama islam membolehkan suami untuk bertindak kasar terhadap istri, termasuk
kekerasan seksual.
Tentulah
publik non muslim bertanya-tanya apakah memang ada ajaran islam yang
menghalalkan kekerasan seksual? Dimana ajaran itu terdapat?
Ajaran
islam pertama-tama mengacu pada Al-Qur’an. Dan pembenaran atas tindakan
kekerasan seksual terdapat dalam Al-Qur’an. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an
itu merupakan wahyu yang langsung dari Allah kepada Muhammad. Apa yang tertulis
dalam Al-Qur’an adalah kata-kata Allah sendiri. Karena itu, tindakan yang
membolehkan kekerasan seksual ini datang dari Allah. Dengan kata lain, Allah
sendiri yang mengajarkan hal itu.
Allah
telah berfirman, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu
itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai.” (QS al-Baqarah: 223). Ayat
suci ini sering ditafsirkan dalam konteks hubungan seksual bagi suami istri.
Artinya, seorang suami punya hak (absolut) penuh atas tubuh istrinya. Dalam kutipan
wahyu Allah itu, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu soal waktu
dan cara berhubungan seksual. Soal waktu Allah menegaskan kapan saja, titik tolaknya
adalah suami. Jadi, kapan saja suami mau bersenggama, istri wajib melayaninya. Hubungan
seksual tidak perlu membutuhkan persetujuan istri atau memperhatikan kondisi
dan situasi batin istri. Soal hubungan seksual suami istri dalam islam tidak
ada istilah bagi istri mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Istri wajib
melayani syahwat suami. Menolak keinginan suami untuk bersenggama membuat istri
bisa dipukul dan juga dikutuk para malaikat. Hadis Sahih Bukhari dan Muslim
menulis perkataan Nabi Muhammad, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas
ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya, maka para malaikat akan mengutuknya
sampai pagi.”
Hal kedua
yang perlu diperhatikan dari wahyu Allah ini adalah cara melakukan hubungan
seksual. Allah sudah menegaskan bahwa hubungan seksual tergantung dari
keinginan suami. Allah menyatakan bahwa hubungan seksual dapat dilakukan dengan
cara yang disukai oleh suami. Allah sudah berpesan kepada para suami, “Utamakanlah
untuk dirimu.” (QS al-Baqarah: 223). Pesan Allah ini dimaknai oleh para suami
bahwa istri dapat diperlakukan seperti apa saja demi kepuasan dirinya. Jadi,
dalam urusan seks, suami dapat melakukan oral seksual atau anak seksual, selain
hubungan seksual lazimnya (vaginal seksual).
Kiranya
wahyu Allah inilah yang dipakai Mansyardin Malik untuk membenarkan
perbuatannya. Ketika memaksa sang istri bersenggama sekalipun istri menolak
karena sedang haid, Mansyardin Malik berargumen, “Bukankah saya bebas
melakukannya kapan saja? Ini adalah kehendak Allah.” Dan persoalan anal
seksual, Mansyardin Malik tentu akan berargumen, “Bukankah saya bebas melakukan
apa saja sesuai yang saya sukai? Yang penting saya puas. Ini adalah kehendak
Allah.” Karena itulah, apa yang dilakukan oleh Mansyardin Malik terhadap
istrinya, sekalipun di mata banyak orang dinilai keterlaluan, dibenarkan oleh
ajaran islam. Agama islam memang membolehkan suami untuk melakukan kekerasan
seksual terhadap istri. Yang penting suami puas. Tak peduli istri menderita
akibat perbuatan itu. Mungkin prinsipnya adalah suami puas, Allah pun senang.
Akan
tetapi, tindakan Mansyardin Malik ini tidak bisa dibenarkan oleh hukum positif.
Apa yang dilakukan ayah Taqi Malik itu bisa dijerat hukum. Namun penanganan
kasus ini secara sipil, tentulah bukan tanpa masalah. Pempidanaan atas Mansyardin
Malik sama saja berarti pempidanaan agama islam. Dan bukankah hal ini berarti
melecehkan agama islam. Bagaimana mungkin orang yang melaksanakan ajaran
agamanya dipidana. Bukankah setiap umat beragama wajib menjalankan ajaran
agamanya. Pempidanaan akan berdampak pada pelarangan ajaran agama.
Demikianlah
sedikit tinjauan atas kasus Mansyardin Malik. Apa yang dilakukan Mansyardin
Malik terhadap istrinya sudah sesuai dengan ajaran islam. Artinya, memang agama
islam mengajarkan bahwa, terkait urusan seksual, suami dapat melakukan apa saja
terhadap istrinya. Yang penting suami puas. Ini adalah kehendak Allah. Akan tetapi,
dari segi kemanusiaan perbuatan Mansyardin Malik tidak dapat diterima. Apa yang
dilakukannya bukan saja melanggar hukum positif atau hukum sipil, melainkan
juga hukum moral. Tentulah hukum moral di sini bukanlah hukum moral islam,
karena ternyata perbuatan Mansyardin Malik sudah sesuai dengan ajaran islam.
Jadi, kekerasan seksual merupakan perbuatan moral islam.
Tanjung
Pinang, 24 Sept 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar