Jumat, 18 Oktober 2019

MEMPERSOAL PASAL PERKOSAAN SUAMI TERHADAP ISTRI DAN PASAL PERJUDIAN DALAM RKUHP


Salah satu pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah soal pemerkosaan istri oleh suami. Dalam RKUHP, tindak pidana ini terdapat dalam pasal 597, yang terdiri dari 2 ayat (khususnya ayat 2). Berikut ini adalah kutipan ayat dari pasal kekerasan seksual suami istri.
(1) “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI.”
(2) “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.”
Pertama-tama perlu dipahami bahwa pasal ini masuk dalam delik aduan. Artinya, tindakan pidana pemerkosaan suami terhadap istri, atau sebaliknya, baru dapat diproses jika ada laporan dari korban kepada pihak aparat hukum. Akan tetapi, sekalipun demikian, banyak orang menentang dan menolak pasal ini. Setidaknya ada 3 alasan penolakan tersebut. Pertama, bahwa masalah hubungan seksual yang terjadi di antara suami istri merupakan urusan pribadi, terlepas apakah hal itu pemaksaan atau tidak. Pengaturan masalah hubungan seksual dalam RKUHP dilihat sebagai bentuk intervensi negara yang berlebihan.
Alasan kedua berangkat dari pandangan budaya patrilineal. Dalam masyarakat yang berbudaya patrinileal, perkawinan dilihat sebagai bentuk “pembelian” wanita oleh pria. Dengan kata lain, ketika seorang pria menikahi seorang wanita, ia menyerahkan mas kawin, yang dilihat sebagai bentuk “pembelian”. Jadi, dengan menyerahkan mas kawin kepada keluarga pihak perempuan, seorang pria telah membeli wanita tersebut. Dan karena dia sudah membeli, maka dia dapat melakukan apa saja yang disukainya, termasuk dalam urusan seks.
Sedangkan penolakan dengan alasan ketiga berangkat dari ajaran agama, khususnya agama islam. Mempidana suami yang memperkosa istri, bagi umat islam dapat dilihat sebagai bentuk penghinaan agama islam. Karena agama islam membolehkan seorang suami memperlakukan istrinya sesuai kehendaknya, termasuk dalam urusan seksual. Allah SWT telah berfirman, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai.” (QS al-Baqarah: 223). Karena itulah, islam mengajarkan bahwa seorang istri wajib melayani hasrat seksual suaminya jika diminta, tak peduli apakah dia suka atau tidak, setuju atau tidak. Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi. Hal ini didasarkan pada Hadis Sahih Bukhari dan Muslim.
Jadi, pasal pemerkosaan suami terhadap istri menemukan masalahnya dengan umat islam. Dalam ajaran islam, seorang suami dapat melakukan hubungan seks kapan saja, sementara istri wajib melayaninya. Tidak ada pemerkosaan, karena semuanya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Al-Qur’an sudah berkata, “Taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang beriman.” (QS an-Anfal: 1). Allah SWT juga sudah meminta supaya umat islam mengikuti apa yang tertulis dalam Al-Qur’an (QS al-Qiyamah: 18). Dapat dikatakan bahwa dengan melaksanakan ajaran agamanya, seorang suami dapat dinilai melakukan pemerkosaan terhadap istri. Akan tetapi, haruskah orang yang menjalankan ajaran agamanya dipidana?
Demikianlah persoalan pasal perkosaan suami terhadap istri, yang menemui kendalanya dengan umat agama islam. Bagi umat agama lain hal ini tidak masalah, karena memang tidak ada ajaran suami memperkosa istri. Yang ada adalah suami harus menghargai istrinya, termasuk bila istri tidak lagi mood dalam berhubungan badan. Jadi, terhadap pasal ini, umat agama lain tentu akan mendukung, sementara umat agama islam akan menolak.
Bagaimana dengan pasal perjudian? Apakah akan ada kendala dalam pelaksanaannya? Dalam RKUHP, pidana perjudian ini diatur dalam 2 pasal, yaitu pasal 502 dan pasal 503. Akan tetapi, pasal yang dapat menemui permasalahan dalam praksis hidup adalah pasal 503. Berikut ini adalah kutipan pasalnya:
“Setiap orang yang menggunakan kesempatan main judi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Persoalan pasal 503 ini, tak jauh beda dengan permasalahan pasal 597 (2). Jika pasal perkosaan suami terhadap istri disetujui umat agama lain namun bermasalah bagi umat agama islam, demikian pula pasal perjudian ini akan disetujui umat agama lain, namun bermasalah bagi umat Konghucu. Ada kesan bahwa agama Konghucu membolehkan perjudian. Karena itu, dalam agama ini ada dewa yang menangani urusan perjudian. Nama dewanya adalah Han Xin Ye. Bisa saja orang sudah berdoa kepada dewa judi, memohon ini itu sebelum akhirnya pergi main judi.
Akankah umat agama Konghucu yang bermain judi dipidana, padahal dia yakin dewa judi telah merestuinya untuk berjudi? Sama seperti kasus perkosaan suami terhadap istri, pemidanaan orang berjudi ini dapat dilihat sebagai bentuk penistaan agama atau kriminalisasi agama.
DEMIKIANLAH permasalahan pasal perkosaan suami terhadap istri dan pasal perjudian dalam RKUHP. Memang harus disadari bahwa tidak ada produk hokum yang dapat memuaskan semua pihak. Selalu saja ada pihak yang merasa dirugikan. Akan tetapi, terkait dengan dua pasal ini, pembuat undang-undang harus bisa berpikir dan bersikap bijak, agar jangan sampai undang-undang yang dihasilkannya dihukum oleh undang-undangnya sendiri.
Dabo Singkep, 15 Oktober 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar