Jumat, 15 November 2019

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGAL DALAM PANDANGAN ISLAM


Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan mempunyai Kitab Hukum Pidananya sendiri. Selama ini, ketika menangani kasus-kasus pidana, pengadilan selalu memakai produk hukum pidana yang berasal dari jaman Kolonial Belanda. Artinya, sejak proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945), bangsa Indonesia masih memakai produk hukum pidana Belanda. Karena itulah, banyak suara miring mengkritisi hukum pidana itu. Ada yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia masih dijajah secara hukum, ada juga yang mengaitkannya dengan produk kafir. Tentu kritik yang terakhir ini berasal dari kalangan islam.
Saat ini rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sedang dalam pengodokan badan legislasi. Tinggal menunggu waktu. Terbitnya KUHP ini menandakan “kemerdekaan” bangsa Indonesia dari penjajahan hukum pidana Belanda. Kalangan islam pun tak bisa lagi mengkritik KUHP ini sebagai produk produk kafir, karena produk hukum ini dihasilkan oleh anak bangsa sendiri, yang sebagiannya adalah muslim.
Akan tetapi, benarkah produk hukum ini sudah sesuai dengan ajaran islam? Dalam RKUHP ada pasal yang mengatur soal kekerasan dalam rumah tangga. Masalah ini diatur dalam pasal 595 – 599. Dari pasal-pasal ini, dapat diketahui bahwa ada tiga kategori kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik (pasal 595), kekerasan psikis (pasal 596), dan kekerasan seksual (pasal 597 – 599). Perlu diketahui bahwa pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan. Artinya, tindak kekerasan tersebut baru akan diproses bila ada laporan atau pengaduan dari korban. Jadi, selama tidak ada laporan, maka hukum tidak dapat menjangkaunya.
Jika dicermati dan dikritisi dengan seksama, maka penerapan pasal ini akan dapat bermasalah dengan umat beragama islam. Dapat dikatakan bahwa pasal kekerasan dalam rumah tangga bertentangan dengan ajaran islam, atau tidak sejalan dengan aqidah islam, yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah SWT, sedangkan Hadis merupakan perkataan, sikap dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Allah telah berfirman, “Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS an-Anfal: 1). Dengan kata lain, umat islam harus mengikuti apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an (QS al-Qiyamah: 18). Berhubung tidak sesuai dengan ajaran islam, maka akan muncul kendala dalam penerapan pasal ini di kehidupan masyarakat. Sekalipun merupakan delik aduan, penegak hukum akan menghadapi dilema menegakkan hukum atau mengkriminalisasi agama atau membiarkan adanya korban jiwa.
Seperti apa persoalan pasal kekerasan dalam keluarga ini bermasalah dalam ajaran islam? Dalam hal ini kita perlu mengetahui pandangan islam tentang kekerasan dalam rumah tangga sehingga kita bisa memahaminya. Namun, sebelumnya, terlebih dahulu kita pahami dulu ketiga jenis kekerasan dalam RKUHP itu. Memang dalam RKUHP tidak diberikan definisi tentang ketiga kekerasan tersebut. Akan tetapi, publik diharapkan dan dipastikan sudah tahu.
Kekerasan fisik dapat dilihat seperti memukul, menampar, menyiksa atau menendang. Memukul di sini bisa dengan menggunakan benda (kayu, tongkat, atau benda lainnya), bisa juga dengan tangan (meninju). Orang yang mengalami kekerasan fisik biasanya mengalami memar, lebam, luka, cacat fisik atau juga cedera. Kekerasan psikis dapat dilihat seperti perbuatan menghina, mencaci-maki, merendahkan, pelabelan negatif, membatasi atau mengontrol istri agar memenuhi tuntutan suami. Efek kekerasan psikis adalah seperti ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, merasa diri hina, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tak berdaya. Sedangkan kekerasan seksual dapat disamakan dengan perkosaan, yaitu memaksa berhubungan seksual tanpa ada persetujuan pihak lawan main.
Dari uraian tentang kekerasan dalam rumah tangga di atas, jika dikaitkan dengan ajaran islam, dapatlah dikatakan bahwa ketiga kekerasan dalam rumah tangga itu tidak sejalan dengan ajaran islam. Hal ini bila dilihat dari sudut pandang suami sebagai pelaku kekerasan. Artinya, jika pelaku kekerasan itu adalah suami, maka penerapan hukum pidana itu akan menemui kendalanya dari sudut pandang agama islam. Alasannya karena dalam agama islam para suami mempunyai kelebihan di atas istri (QS al-Baqarah: 228).
Karena memiliki kelebihan atas istri, seorang suami boleh memukul istrinya. Al-Qur’an, menulis “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (QS an-Nisa: 34). Wahyu Allah SWT ini diperkuat oleh hadis, dimana Nabi Muhammad SAW memukul istri favoritnya, yaitu Aisyah. Jadi, jika suami memukul istrinya, dalam pandangan islam ia telah melaksanakan ajaran islam. Dengan kata lain, memukul istri adalah sesuai hukum islam. Haruskah perbuatannya yang sesuai dengan hukum islam ini dipidana dengan hukum sipil? Mempidanakan suami yang melaksanakan hukum islam dapat dilihat sebagai mempidanakan hukum islam. Dan hal ini bisa dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama, atau bahkan sebagai penghinaan agama.
Di atas sudah dinyatakan bahwa suami memiliki kelebihan atas istri. Dalam hal seksual, suami punya hak mutlak atas tubuh istrinya. Allah telah berfirman, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai.” (QS al-Baqarah: 223). Artinya, seorang suami punya hak penuh atas tubuh istrinya, sehingga kapan saja dia mau bersenggama istri wajib melayaninya. Hubungan seksual tidak membutuhkan persetujuan istri atau memperhatikan kondisi dan situasi batin istri. Adalah kewajiban istri untuk melayani shyawat suami. Menolak keinginan suami untuk bersenggama membuat istri bisa dipukul dan juga dikutuk para malaikat. Hadis Sahih Bukhari dan Muslim menulis perkataan Nabi Muhammad, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi.” Jadi, ketika suami “memperkosa” istrinya, dalam pandangan islam ia telah melaksanakan ajaran islam. Haruskah perbuatannya yang sesuai dengan hukum islam ini dipidana dengan hukum sipil? Mempidanakan suami yang melaksanakan hukum islam dapat dilihat sebagai mempidanakan hukum islam. Dan hal ini bisa dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama, atau bahkan sebagai penghinaan agama.
Bagaimana dengan kekerasan psikis? Di atas telah dijelaskan bahwa kekerasan psikis dapat terlihat dalam bentuk perbuatan menghina, merendahkan, mencaci-maki, pelabelan negatif, membatasi atau mengontrol istri agar memenuhi tuntutan suami. Al-Qur’an sudah menyatakan bahwa suami memiliki kelebihan atas istri. Ada kuasa untuk membatasi dan mengontrol istri oleh suami. Suami memaksa istrinya untuk berias sesuai seleranya, memaksa agar tidak keluar rumah tanpa izinnya atau wajib mengenakan pakaian muslimah. Jadi, ketika suami membatasi, mengontrol atau memaksa istri melakukan sesuai keinginan suami, dalam pandangan islam ia telah menjalankan ajaran islam. Haruskah perbuatannya yang sesuai dengan hukum islam ini dipidana dengan hukum sipil? Mempidanakan suami yang melaksanakan hukum islam dapat dilihat sebagai mempidanakan hukum islam. Dan hal ini bisa dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama, atau bahkan sebagai penghinaan agama.
Selain itu, soal kekerasan psikis, dalam pandangan islam wanita itu memiliki posisi rendah atau bahkan hina. Ada hadis yang menyatakan wanita itu bodoh dalam berpikir dan beragama. Ada juga yang mengatakan bahwa kebanyakan wanita adalah penghuni neraka. Ada pula hadis mengatakan bahwa wanita itu aurat sehingga seluruh tubuhnya harus ditutupi agar orang lain tidak jatuh dalam dosa. Dengan kata lain, wanita dilihat sebagai biang dosa. Karena itu, dengan mengatakan istrinya bodoh, atau “kau memang pantas menghuni neraka jahanam,” seorang suami sudah mengikuti ajaran islam. Akankah perbuatannya ini dipidana dengan pasal kekerasan psikis? Mempidana suami yang melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya dapat dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama atau bahkan sebagai penistaan agama.
DEMIKIANLAH kontradiksi hukum islam dan hukum sipil. Dalam pandangan agama islam, kekerasan dalam rumah tangga seakan dihalalkan, sehingga suami boleh memukul, menghina dan juga memperkosa istri. Tentulah penerapan pasal kekerasan dalam rumah tanggal ini akan berbenturan dengan hukum atau ajaran islam. Ketika suami memukul istrinya, dia melihat dirinya telah melaksanakan ajaran islam, ketika suami “memperkosa” istrinya, dia menilai dirinya telah melakukan aqidah islam, dan ketika suami merendahkan istrinya, yang memang hina, dia merasa telah menjalankan ajaran islam. Haruskah dia dihukum lantaran telah menunaikan ajaran agamanya?
Tanjung Pinang, 29 Oktober 2019

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar