Indonesia
adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama islam. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia. Karena predikat tersebut, tak heran kalau umat islam merasa
memiliki hak istimewa dan berpengaruh di semua sektor kehidupan. Salah satunya terkait
dengan produk makanan. Hampir semua produk makanan yang dijual ke publik harus
mempunyai sertifikasi halal, yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai otoritas islam di Indonesia.
Sertifikasi
halal MUI merupakan fatwa atau hukum tertulis Majelis Ulama Indonesia yang
menyatakan halalnya sebuah produk, baik itu makanan, minuman, obat-obatan
maupun kosmetika, sesuai dengan syariat islam. Sertifikasi halal ini
dikeluarkan oleh MUI setelah mendapat rekomedasi dari LPPOM MUI. Jadi, produser
yang ingin mendapatkan sertifikasi halal harus mengajukan permohonan ke LPPOM
MUI.
Karena
mayoritas penduduknya islam sehingga benar-benar berpengaruh besar, maka masalah
sertifikasi halal ini juga diakomodasi dalam undang-undang. Dalam UU no. 18
Tahun 2012 tentang pangan, pada pasal 57 dikatakan:
(1) Setiap
orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan.
(2) Setiap
orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di
dalam dan/atau pada kemasan pangan.
(3) Pencantuman
label di dalam dan/atau pada kemasan pangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia
paling sedikit memuat: nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih,
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor, halal bagi yang
dipersyaratkan, tanggal dan kode produksi, tanggal bulan dan tahun kadaluarsa,
nomor izin bagi bahan yang diolah dan asal usul bahan pangan tertentu.
Apa tujuan
sertifikasi halal MUI ini? Patut diduga bahwa sertifikasi halal ini bertujuan
untuk melindungi dan memberi kepastian hukum hak-hak kosumen muslim terhadap
produk yang tidak halal atau mencegah konsumen muslin memakai produk haram. Dengan
kata lain, sertifikasi halal memberi kepastian kepada umat islam bahwa produk
yang mau dibeli dan akan dipakai adalah benar-benar halal sesuai dengan syariat
islam.
Dapat
dikatakan bahwa tujuan sertifikasi halal ini adalah jawaban atas wahyu Allah
SWT, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu
musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah: 168). Dalam ayat ini jelas permintaan
Allah kepada umat islam agar makan makanan yang halal. Jika dikaitkan dengan
anak kalimat berikutnya, maka bisa dikatakan bahwa makanan yang tidak halal
(alias haram) itu berasal dari setan atau masuk kategori makanan setan. Dan umat
islam diminta untuk tidak mengikutinya. Alasannya adalah setan itu musuh bagi
umat islam.
Menjadi
pertanyaan, kenapa setia produk pangan harus memiliki sertifikasi halal? Memang
pertanyaan ini akan dijawab MUI bahwa “adalah tugas kami melindungi umat islam
agar tidak memakai produk pangan yang tidak dikehendaki Allah SWT.” Tapi,
kenapa? Kenapa harus dilindungi atau melindungi? Bukankah sudah cukup dengan
mencantumkan label pada kemasan produk bahan-bahan yang digunakan untuk produk tersebut.
Umat islam, sebelum membeli wajib membaca terlebih dahulu label tersebut, sama halnya
juga dengan membaca tanggal kadaluarsanya. Dan jika ditemui terdapat bahan yang
diharamkan, maka sudah menjadi kewajibannya untuk tidak membeli, apalagi
memakainya.
Mungkin
ada yang mengatakan bahwa bisa saja produser menyembunyikan salah satu unsur
bahan yang digunakan. Terus terang, itu alasan yang dicari-cari. Negara Indonesia
sudah mempunyai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan juga Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI). Lembaga ini bertugas untuk melindungi konsumen. Mereka
akan memeriksa setiap produk pangan. Jika ditemukan adanya ketimpangan, maka pelakunya
bisa dikenakan sanksi berdasarkan pasal 99 UU no. 18 Tahun 2012 tentang pangan.
Jadi, sama sekali tidak ada alasan kuat untuk mengadakan sertifikasi halal.
Lumrah
diketahui bahwa di balik sertifikasi halal ada uang. Mereka yang ingin
produknya mendapatkan sertifikasi halal harus menyerahkan sejumlah uang ke MUI.
Bukan tidak mungkin pemasukan terbesar MUI berasal dari sektor ini. Mungkin karena
itulah, MUI tetap ngotot agar sertifikasi halal tidak dihilangkan atau harus
tetap diadakan. MUI menggunakan dasar negara berpenduduk muslim terbesar di
dunia, yang mempunyai keistimewaan. Selain itu, sering diungkapkan bahwa
sertifikasi halal membawa dampak positif bagi produser.
Akan
tetapi, semua dasar tersebut sama sekali tidak terlalu kuat. Justru sertifikasi
halal ini menunjukkan cara beriman yang kekanak-kanakan. Sertifikasi halal memperlihatkan
bahwa umat islam belum dewasa dalam beriman. Salah satu ciri kedewasaan adalah
kemampuan untuk membuat penilaian dan keputusan sendiri. Orang dewasa dapat
bertanggung jawab sendiri atas apa yang dilakukannya. Jika umat islam memang
benar-benar dewasa, mereka mampu untuk menilai apakah suatu produk pangan yang
mau dipakai sudah sesuai dengan syariat islam atau tidak. Mereka sendiri
sebenarnya sudah bisa mengetahui tuntutan hukum islam terkait dengan produk
pangan sehingga dianggap mampu membuat penilaian dan keputusan sendiri. Apabila
mereka sendiri melanggar, maka mereka sendirilah yang akan bertanggung jawab
atas perbuatan yang dilakukannya. Tentu saja pertanggung-jawaban itu akan
mereka sampaikan saat pengadilan terakhir nanti. Pelanggaran yang mereka
lakukan tidak akan dikenakan kepada orang atau pihak lain.
Namun
sayangnya, terlihat jelas kalau umat islam belumlah dewasa. Sertifikasi halal
membuat kesan bahwa umat islam belum dapat melakukan penilaian itu. Mereka masih
seperti anak-anak, yang harus dituntun dan diarahkan. Mereka belum bisa mandiri
dalam membuat penilaian dan keputusan. Karena itulah dibutuhkan peran MUI untuk
mengadakan sertifikasi halal sehingga dengan demikian umat islam terlindungi.
Jadi,
bisa dikatakan bahwa sertifikasi halal MUI memperlihatkan betapa cara beriman
umat islam masih kekanak-kanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar