Tidak ada kehidupan tanpa persoalan. Demikian halnya
dengan Gereja. Sejak berdirinya, Gereja selalu diterjang permasalahan. Masalah itu
bisa datang dari dalam, bisa juga dari luar. Setiap jaman masalahnya selalu
berbeda. Misalnya, awal-awal abad keberadaan Gereja, jemaat mengalami tekanan
dan penindasan. Namun ketika Gereja merasakan kebebasan, masalah yang dihadapi
lainnya. Pada beberapa masa, selalu ada kemunculan aliran-aliran sesat yang
mengacaukan doktrin Gereja. Aliran sesat tersebut lebih dikenal dengan sebutan
bida’ah.
Pada masa kepemimpinan Paus Leo I atau dikenal juga
sebagai Leo Agung, ada banyak bida’ah yang menyebarkan ajaran sesat yang
menyimpang dari ajaran iman resmi Gereja. Paus Leo Agung berjuang keras melawan
mereka dibantu beberapa tokoh-tokoh lainnya. Berikut ini adalah para bida’ah
itu dengan ajarannya.
Pelagianisme
Pelagianisme dikembangkan oleh Pelagius. Sedikit
sekali informasi yang dapat diketahui mengenai kehidupan Pelagius. Meskipun dia
kerap disebut sebagai seorang rahib, namun hal itu tidak memberi kepastian
bahwa dia memang adalah seorang rahib. Agustinus mengatakan bahwa dia hidup di
Roma "dalam waktu yang sangat lama," dan bahwa dia berasal dari
kepulauan Inggris. (Santo Heronimus menduga dia adalah seorang warga Skotlandia
atau mungkin saja dari Irlandia). Yang pasti, dia terkenal di provinsi Romawi,
baik karena kehidupan publiknya yang dijalaninya dengan matiraga-keras, maupun
karena kekuatan dan persuasivitas dari khotbahnya. Sampai saat
gagasan-gagasannya yang lebih radikal tercuat ke depan publik, bahkan
tokoh-tokoh yang disebut sebagai sokoguru Gereja seperti Agustinus pun
menyebutnya sebagai “orang suci.”
Pelagius mengajarkan bahwa kehendak manusia, dibarengi
perbuatan-perbuatan baik dan kehidupan bermatiraga secara ketat, cukup untuk
menjalani suatu kehidupan tanpa dosa. Dia mengatakan kepada para pengikutnya
bahwa tindakan yang benar dari pihak manusia adalah segala-galanya yang
diperlukan untuk mencapai keselamatan. Bagi dia, rahmat Allah hanyalah
keuntungan tambahan; berguna, namun tidak esensial. Pelagius tidak percaya akan
dosa asal, namun mengatakan bahwa Adam telah mengutuk umat manusia dengan
teladan yang buruk, dan bahwa teladan baik Kristus menawarkan bagi kita suatu
jalan menuju keselamatan, bukan melalui pengorbanan, melainkan melalui
pengarahan kehendak. Heronimus bangkit sebagai salah seorang kritikus utama
terhadap Pelagianisme, karena, menurut Heronimus, pandangan Pelagius secara
mendasar mendustai karya Sang Mesias; dia secara pribadi lebih menyukai kata
“pengajar” atau “guru” sebagai ganti sebutan apapun untuk kuasa ilahi.
Pelagianisme adalah faham yang meyakini bahwa dosa asal tidak merusak hakikat manusia (yakni hakikat ilahi, karena manusia diciptakan dari Allah) dan bahwa dengan kehendaknya yang fana manusia masih sanggup untuk memilih yang baik atau yang buruk tanpa pertolongan ilahi. Dengan demikian, dosa Adam "memberikan teladan yang buruk" bagi keturunannya, namun tindakan-tindakan Adam tidak mengandung konsekuensi-konsekuensi lain yang dihubung-hubungkan dengan dosa asal. Dari sudut pandang Pelagianisme, peran Yesus adalah "memberikan suatu teladan yang baik" bagi seluruh umat manusia (dengan demikian adalah kebalikan dari teladan buruk Adam).
Singkatnya, manusia sepenuhnya memegang kendali, dan
oleh karena itu sepenuhnya bertanggung jawab, atas keselamatannya sendiri selain
itu juga sepenuhnya bertanggung jawab atas tiap dosa yang diperbuatnya
("sepenuhnya bertanggung jawab atas tiap dosa" ditekankan baik oleh
pendukung maupun penentang Pelagianisme). Menurut Pelagianisme, oleh karena
manusia tidak lagi memerlukan rahmat Allah di luar kreasi kehendaknya maka
Sakramen Baptis tidaklah mengandung kualitas redemptif (pengampunan dosa)
sebagaimana yang diajarkan oleh kaum Kristiani yang ortodoks.
Pelagianisme ditentang oleh Santo Agustinus dari
Hippo, yang mengajarkan bahwa keselamatan seseorang itu terjadi semata-mata
melalui rahmat Allah, dan hanya oleh kehendak Allah untuk menganugerahkannya
bagi siapapun yang dipilih-Nya, tanpa perlu partisipasi dari pihak yang
bersangkutan. Ajaran Agustinus mengakibatkan dikutuknya Pelagianisme sebagai
suatu ajaran sesat dalam beberapa sinode lokal. Pelagianisme dikutuk pada tahun
416 dan 418 dalam konsili-konsili Kartago. Pengutukan-pengutukan ini secara
ringkas disahkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431, meskipun bukan tindakan
utama dari konsili itu. Pelagianisme sebagai suatu gerakan bida’ah yang
terstruktur lenyap selepas abad ke-6 namun gagasan-gagasan pokoknya
terus-menerus menimbulkan perdebatan.
Thomas Bradwardine (1290 – 26 Agustus 1349), Uskup
Agung Canterbury, dalam De causa Dei contra Pelagium et de virtute
causarum menolak faham Pelagian pada abad ke-14, dan Gabriel Biel
melakukan tindakan yang serupa pada abad ke-15.
Manicheisme
Aliran Manicheisme dikembangkan oleh seorang yang
bernama Mani. Ia lahir di Persia sekitar tahun 215. Tidak banyak informasi yang
dapat diketahui tentang orang ini. Yang jelas ia menganggap dirinya mengikuti
nabi-nabi Perjanjian Lama, Zarathrustra, Buddha dan Yesus dengan menggabungkan
unsur-unsur ajaran Zoroastrianisme, Buddhisme, Gnotisisme dan Kristianisme.
Dengan ajarannya ini manusia dapat membebaskan diri dari benda dan kegelapan.
Ajaran ini disertai dengan mati raga yang keras. Ia disebarkan melalui kegiatan
misioner yang giat ke India, Cina, Italia, Afrika Utara, dan bagian lain dari
kekaisaran Romawi.
Priscillianisme
Priscillian digambarkan sebagai pria bangsawan yang
memiliki kekayaan besar, berani, gelisah, fasih, belajar melalui banyak
membaca, sangat siap dalam debat dan diskusi. Pengikutnya yang pertama adalah
seorang wanita bernama Agape dan seorang retorik bernama Helpidius. Melalui
kharisma bicaranya dan reputasi dalam asketisme ekstrim ia menarik banyak
pengikut, termasuk dua uskup: Instantius dan Salvianus. Sekte baru ini menjadi
menarik perhatian Hyginus, uskup Codoba, Hydatius, uskup Emerita dan Ithacius
dari Ossonoba. Para uskup dari Hispania dan Aquitaine ini kemudian mengadakan
sinode di Zaragoza tahun 380. Meski dipanggil, para priscillian menolak untuk
hadir, dan sinode menjatuhkan hukuman ekskomunikasi terhadap empat pimpinannya:
Instantius, Salvianus, Helpidius dan Priscillian.
Ithacius dipilih untuk menegakkan keputusan sinode,
tetapi ia gagal membawa bida’ah itu untuk berdamai. Ithacius kemudian
mengajukan banding ke otoritas kekaisaran. Kaisar Gratian mengeluarkan dekrit
yang menghukum para priscillian dalam pengasingan. Mereka meminta bantuan PausDamasus I di Roma, namun ditolak. Mereka pergi ke Milan untuk membuat
permintaan yang sama kepada St. Ambrosius, namun hasilnya sama.
Melalui intrik dan suap di Pengadilan dengan sukses
mereka dibebaskan dari hukuman pengasingan. Mereka juga diizinkan untuk
mendapatkan kembali kepemilikan dari gereja-gereja mereka di Hispania, serta
mereka memaksa Ithacius untuk meninggalkan negara itu.
Setelah kematian Priscillian, para pengikutnya
meningkat. Paulus Orosius, seorang imam Galikan dari Barat Laut Hispania,
menulis kepada St. Agustinus (415) untuk meminta bantuannya dalam memerangi
ajaran sesat. Paus Leo I mengambil langkah tegas dan aktif untuk menghadang
aliran sesat ini.
Landasan doktrin Priscillianisme adalah Gnostik Manichaean,
yaitu keyakinan akan adanya dua kerajaan, yaitu Kerajaan Cahaya dan
Kerajaan Kegelapan. Malaikat dan jiwa manusia dipisahkan
dari substansi Ketuhanan. Jiwa
manusia yang dimaksudkan untuk menaklukkan Kerajaan Kegelapan, tapi
jatuh dan dipenjara dalam tubuh materi. Keselamatan manusia
terdiri pembebasan dari dominasi materi.
Doktrin-doktrin
ini bisa diselaraskan dengan ajaran Alkitab hanya
oleh sebuah sistem yang
kompleks penafsiran, menolak interpretasi konvensional dan mengandalkan ilham
pribadi. Para Priscillian menerima sebagian besar Perjanjian
Lama, tapi menolak kisah penciptaan. Beberapa Kitab Suci apokrif diakui
sebagai asli dan terinspirasi. Karena Priscillian percaya bahwa materi
dan alam yang jahat, mereka menjadi pertapa
dan berpuasa pada hari Minggu dan Hari Natal. Karena doktrin mereka esoteris dan eksoteris, dan
karena itu percaya bahwa laki-laki pada umumnya tidak
bisa memahami jalan yang lebih tinggi atau setidaknya mereka dari
mereka yang tercerahkan, diizinkan
untuk berbohong demi akhir suci. Agustinus
menulis sebuah karya yang
terkenal, "Contra Mendacium" ("Melawan Berbohong") sebagai
reaksi terhadap doktrin ini.
Monofisitisme
Monofisitisme (berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata, yaitu mono yang berarti satu dan phusis yang
berarti kodrat). Monofisit adalah ajaran yang diklaim sebagai ajaran bida’ah
oleh Konsili Kalsedon pada tahun 451. Aliran ini memahami bahwa, Kristus hanya
memiliki satu kodrat, yaitu kodrat ilahi.
Monofisit melihat bahwa tabiat yang Yesus miliki
hanyalah tabiat tabiat yang satu dan kudus (ilahi). Terdapat dua doktrin utama
dalam monofisit:
Eutychianisme meyakini bahwa kodrat manusiawi dan
ilahi pada Kristus tergabung menjadi suatu kodrat yang tunggal: kodrat
kemanusiannya telah hilang seperti memasukan madu ke dalam laut. Sesuai
dengan nama alirannya, tokohnya adalah Eutykhes seorang rahib di biara
arkimandrit di Konstantinopel.
Apollinarisme mempercayai bahwa Kristus memiliki tubuh
dan dasar hidup manusiawi, tetapi Logos Ketuhanan telah mengambil tempat nous,
atau "dasar pemikiran", dapat dianalogikan tetapi tidak identik
dengan akal.
Cyrillus adalah seorang uskup Aleksandria yang setuju
bahwa iman akan inkarnasi Allah hanya terjamin jika communicatio
idiomatum diterima tanpa syarat dan gelar Theotokos diberikan
kepada bunda Maria, maka akibat ini perhatian Cyrillus tertuju pada soteriologis.
Ia menaruh perhatian, sekaligus menentang pandangan soteriologis dan pemahaman
kodrat Yesus yang dipahami oleh Nestorius. Komentar Cyrillus pada ekaristi
Nestorius yang menurutnya dalam ekaristi yang hadir di altar hanyalah tubuh
manusia, sehingga daya ilahi tidak ada. Bertolak dari keprihatinan inilah,
Cyrillus menegaskan bahwa Logos, ilahilah yang menjelma ke dalam
Yesus Kristus. Ia meleburkan kedua kodrat demi kesatuan subjek, yaitu kodrat
ilahi pada Yesus Kristus. Maka ajaran ini juga diteruskan oleh Rahib Eutykhes.
Yustianus adalah seorang yang dikenal sekali karena
keorthodoksannya. Ia seorang kaisar yang memerintah di Byzantium (527-565).
Dalam masa pemerintahannya, Yustianus dikenal sebagai kaisar yang tidak mau
tunduk pada siapapun, bahkan setiap uskup baik dari gereja Timur ataupun Barat
harus mematuhi setiap keputusan-keputusannya. Keorthodoksan dan kerasnya
pemerintahan Yustianus, membuat ia mengawasi dengan sangat ketat setiap
penyimpangan terhadap Kristen Orthodoks. Selama pemerintahan Yustianus, ia
mengangkat sebuah undang-undang baru yang salah satu penekanannya adalah
mengagungkan kekuasaan kaisar, menekankan juga pengaruh besar dari bapak-bapak
gereja dan uskup di seluruh wilayah kekaisarannya, karena inilah akhirnya
pengaruh gereja mencapai puncaknya di wilayah Timur. Selain kejayaan dalam masa
kekaisarannya, Yustianus juga terpengaruh oleh karakter Kontantinus dalam
usahanya mengembalikan kemuliaan kekaisaran yang murni. Maka usaha ini didukung
oleh isterinya, yaitu Ratu Theodora yang dikenal sebagai pendukung Monofisit
yang teguh. Atas dukungan besar dari isterinya untuk merebut kembali Afrika
Utara, Italia, Sardinia, Sisilia, dan Spanyol bagian Selatan dan juga usaha
untuk menyatukan kelima uskup, yaitu: Roma, Konstantinopel, Anthiokhia,
Aleksandria, dan Yerusalem dilihat sebagai pengaruh besar yang membuat
Yustianus akhirnya menerima Monofisit.
Setelah pisah dari gereja resmi melalui Konsili
Kalsedon dan berdiri sendiri terjadi juga berbagai pandangan dalam kalangan
Monofisit sendiri. Golongan itu adalah:
Golongan Yulianis atau dikenal dengan Aphthartodocetae yang
mengajarkan bahwa tubuh Kristus tidak dapat binasa sejak inkarnasi.
Golongan Theopaschitisme yang muncul
pada abad VI yang mengajarkan bahwa dalam inkarnasi Yesus, Allah sesungguhnya
ikut menderita. Ajaran ini dipelopori oleh Yohanes Maxentius.
diambil dari
tulisan 8 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar