Pemilihan
kepala daerah, kepala negara dan juga para wakil rakyat, yang bisa dikenal
dengan istilah PEMILU (Pemilihan Umum) merupakan salah satu unsur penting dari
dasar demokrasi. Setiap negara yang menganut asas demokrasi, pastilah akan
mengadakan hal tersebut. Masing-masing negara mempunyai kriteria yang
berbeda-beda, entah soal waktu maupun cara memilihnya. Terkait cara memilih,
umumnya setiap warga negara menentukan sendiri pilihannya.
Bagaimana
cara warga menyikapi pesta demokrasi ini? Tulisan
ini lebih dikhususkan pada persiapan menghadapi pemilihan calon kepala daerah,
meski dapat juga diterapkan pada pemilihan anggota legislatif. Di
Indonesia sering dijumpai fenomena kelompok masyarakat yang menuntut adanya
bukti dari para calon untuk kelompoknya. Misalnya, ketika calon mendatangi
suatu kelompok masyarakat, tak jarang kelompok itu menuntut agar sang calon
memberikan bukti yang nyata bagi kelompok mereka. Jika tidak ada bukti, maka
kelompok itu tidak akan memberikan suara mereka kepada calon tersebut. Dari
sinilah kemudian lahir semacam “kontrak politik”.
Dalam
setiap acara pemilu, biasanya akan ada calon lama (petahana atau incumbent)
dan pendatang baru. Untuk kategori kepala daerah, memberi bukti yang diminta
sekelompok warga bukanlah perkara yang sulit, mengingat dirinya masih didukung
oleh kepala dinas-kepala dinas yang ada di pemerintahan daerah. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa jabatan kepala dinas merupakan jabatan politis. Biasanya
yang duduk di kursi kepala dinas adalah mereka yang duhulu termasuk tim sukses
bagi kepala daerah yang kini menjadi calon petahana. Dan tentulah para kepala
dinas akan berusaha memenuhi keinginan calon petahana untuk mempertahankan
kursinya.
Sementara calon yang masuk kategori pendatang baru, tentulah akan menemui kesulitan untuk memenuhi tuntutan sekelompok warga yang meminta bukti. Dia akan memikirkan untung rugi semuanya itu, dan biasanya resiko ruginya cukuplah besar. Karena itulah, setelah melalui kalkulasi ekonomi, wajar saja bila calon pendatang baru umumnya hanya sebatas memberi janji, bukan bukti.
Hal
seperti inilah yang membuat suatu daerah (atau bangsa) menjadi tidak maju
dan berkembang. Warga tidak berusaha
melihat 5 tahun masa kepemimpinan calon petahana dan peluang yang akan dapat
diberikan calon pendatang baru. Terkait dengan masalah ini, adakah pedoman umum
bagi warga untuk menentukan pilihannya? Bagi umat kristiani Alkitab diyakini
sebagai pedoman hidup. Ia tidak hanya menuntun manusia dalam kehidupan rohani,
tetapi juga kehidupan lainnya, termasuk memilih calon kepala daerah. Berikut
ini kami mencoba membagikan apa yang dikatakan Alkitab terkait topik ini.
Pertama-tama
kita memulai dari perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur, yang
ada dalam Markus 12: 1 – 9 (bdk. Matius 21: 33 – 41). Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa pemilik kebun anggur menyewakan kebunnya kepada sekelompok
penggarap dengan harapan para penggarap itu menyerahkan hasil kebun pada waktunya (Matius 21: 41). Akan tetapi,
para penggarap yang sudah diberi kepercayaan tidak memberikan hasil kepada
pemilik kebun. Mereka menikmati sendiri hasil kebun itu. Akhirnya pemilik kebun
anggur itu membinasakan para penggarap itu dan mempercayakan kebunnya kepada penggarap lainnya.
Dari
perumpamaan tersebut, kita dapat mengasosiasikan kebun anggur dengan daerah
yang menjadi tugas pelayanan kepala daerah. Pemilik kebun itu adalah rakyat.
Ketika pertama kali menyerahkan kebunnya kepada penggarap, pemilik kebun tidak
meminta bukti nyata dari para penggarap itu. Dia justru meminta hasil pada
waktunya. Jadi, Alkitab tidak mengajarkan agar kita menuntut bukti di awal kepada
calon yang akan dipilih, melainkan pada
waktunya. “Pada waktunya” di sini lebih dimaknai saat sang calon sudah
menjabat dan menjalankan tugasnya. “Pada waktunya” bisa juga dipahami sebagai
kriteria apakah di masa mendatang masih bisa dipercaya lagi.
Penggarap
kebun anggur yang pertama dalam perumpamaan di atas bisa dikaitkan dengan
kepala daerah yang tidak bekerja untuk rakyat. Ia justru menggunakan
kekuasaannya untuk kesenangan dan memperkaya diri, kelompok dan juga
keluarganya. Dengan kata lain, penggarap kebun yang pertama adalah gambaran
kepala daerah yang korup. Tidak ada kerja nyata untuk daerahnya. Karena itulah,
seperti dalam perumpamaan di atas, kepala daerah seperti ini harusnya
“dibinasakan” dengan cara tidak lagi dipilih pada pemilihan berikutnya. Sama
seperti pemilik kebun mempercayakan kebunnya kepada penggarap lain, demikian
pula warga harus mengalihkan pilihannya kepada calon baru.
Ketika
mempercayakan (artinya memberi kepercayaan) kepada calon pendatang baru,
hendaklah warga tidak menuntut bukti (atau hasil). Bukankah hasil itu selalu
berada di akhir, bukan di awal? Ketika kita memberi kepercayaan (karena itu,
jabatan selalu diidentikkan dengan amanah) kepada calon pendatang baru, itu
berarti kita percaya kepadanya. Kepercayaan kita itu haruslah disertai dengan
harapan. Kita berharap calon baru dapat memberikan hasil pada waktunya.
Haruskah harapan itu disertai dengan dasar (bukti)? Tentang hal ini, kita mendapatkan
teladan agung dari Abraham. Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Roma,
berkata, “Sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya,” (Roma 4:
18).
Jadi,
percaya dan harapan di sini tidak perlu ditunjang dengan bukti di awal. Sikap
yang selalu menuntut bukti terlebih dahulu, tak jauh beda dengan sikap
kebanyakan orang Yahudi yang dikritik dan dicela Yesus karena mereka meminta
tanda. Di sini “bukti” disamakan dengan “tanda”. Dalam Injil Sinoptik, beberapa
kelompok orang Yahudi, seperti kaum Farisi, pernah meminta tanda kepada Yesus
(Markus 8: 11 – 12; Lukas 11: 29; Matius 12: 39). Ada tanda (bukti), barulah
mereka percaya. Yesus menyebut mereka yang selalu menuntut tanda sebagai
“Angkatan yang jahat”.
Bukanlah
lantas berarti tanpa bukti (atau tanda) kemudian dikatakan kepercayaan buta
atau harapan semu. Karena kepercayaan dan harapan yang diberikan mempunyai
batasan waktu, yaitu 5 tahun. Baru di akhir tahun kelima kita baru bisa
mengatakan apakah kepercayaan dan harapan kita telah terbukti; dan yang
membuktikan itu adalah kepala daerah yang 5 tahun lalu kita beri kepercayaan
dan harapan.
Karena
itu, kita tak perlu merasa malu dan bingung ketika memberi kepercayaan dan
harapan kepada calon pendatang baru yang belum dapat memberi bukti. Yesus
justru memuji sikap seperti ini. “Berbahagialah mereka yang tak melihat, namun
percaya.” (Yohanes 20: 29).
Alkitab
sama sekali tidak mengajarkan agar orang memilih calon yang seagama atau seiman
dengannya. Tuan kebun anggur, ketika memilih penggarap, tidak melihat agama
mereka. Tuan kebun hanya percaya bahwa mereka dapat bekerja dan memberikan
hasil pada waktunya. Tak peduli apakah agama mereka sama dengannya. Yesus
sendiri pernah berkata, “Barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”
(Lukas 9: 50). Karena itu, sekalipun calon itu tidak
seagama dengan kita, namun jika ia akan berjuang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagai pemimpin, yang berarti ia tidak melawan kita, maka
pantaslah dia mendapat dukungan.
Tanjung Pinang, 28 Oktober 2020
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar