Dewasa
kini televisi sudah menjadi kebutuhan pelengkap utama dalam rumah tangga. Setiap
rumah setidaknya mempunyai satu televisi. Hal ini dapat dimaklumi karena
menonton acara televisi sudah menjadi budaya dalam masyarakat; sudah menjadi
bagian dari agenda hidup keseharian sebagaimana makan dan tidur. Tak jarang
anak dibiarkan sendiri menonton televisi tanpa pendampingan orangtua.
Akan
tetapi, sering kali kita lupa kalau ternyata televisi memiliki akibat
psikologis terhadap perkembangan anak. Salah satu dampak buruknya adalah anak
akan kehilangan kepekaan gender dan moral. Kenapa bisa demikian?
Tak bisa
dipungkiri bahwa pemilik stasiun televisi adalah seorang pebisnis. Semua pebisnis
umumnya mempunyai orientasi profit: mencari keuntungan sebesar-besarnya. Hukum
ekonomi menjadi pijakan dasarnya. Karena itu wajar bila televisi lebih
mementingkan selera pasar dan iklan. Sebuah penelitian mengungkapkan 30%
tayangan televisi berisi sinetron, 39% iklan, sedangkan acara yang mengandung
pendidikan hanya 0,07%.
Jamak
dijumpai dalam acara televisi, baik sinetron maupun acara hiburan lainnya,
adegan kebanci-bancian. Sekilas adegan ini dirasa menghibur sehingga bisa
mengundang tawa. Namun ketika adegan tersebut kontinu muncul di depan mata,
terlebih mata anak, tentulah adegan tersebut menjadi suatu pembiasaan dan
pembenaran. Anak tidak lagi dihadapkan pada kebingungan akan status gender:
pria atau wanita, tetapi bahwa itu menjadi gender tersendiri. Dan bukan tidak
mungkin anak akan mengambil peran tersebut bagi dirinya, karena dirasa bahwa
peran tersebut bisa menghibur dan membuat orang lain senang.
Bukan
cuma masalah gender yang muncul dari televisi. Perilaku kasar dan kekerasan
juga bisa lahir dari televisi, khususnya acara sinetron atau film. Kekasaran itu
terlihat pada kata-kata kasar dan tidak pantas, sedangkan kekerasan dapat
dilihat pada aksi anak yang gemar berkelahi, menindas dan memeras (bulying),
dan sebagainya. Harian KOMPAS pernah melakukan penelitian terkait masalah ini. Diberitakan
bahwa 60% tayangan televisi maupun media lain telah membangun dan menciptakan
perilaku kekerasan.
Belum
lagi soal gaya hidup. Acara sinetron merupakan acara yang paling banyak
mempengaruhi gaya hidup anak-anak, mulai dari gaya pakaian, gaya bicara hingga
penampilan. Anak-anak tidak sadar kalau sinetron dan juga acara lain di
televisi sebenarnya lebih merupakan dunia iimajiner. Cerita sinetron bukan
berdasarkan kenyataan, tetapi rekayasa atau fiktif. Sekalipun dinyatakan “dari
kisah nyata” namun tetap saja semua itu rekayasa karena televisi mengabdi pada
pasar demi mendapat keuntungan. Dengan kata lain, televisi, khususnya tayangan
sinetron dapat membuat anak tidak hidup dalam dunia nyata, tetapi dunia
imajiner seperti sinetron itu.
DEMIKIANLAH
dampak buruk televisi bagi kehidupan anak. Karena itu, sangat dianjurkan agar
diadakan pembatasan waktu dalam menonton televisi. Jangan biarkan anak
menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi. Di samping itu
sangatlah penting kehadiran orangtua dalam menonton acara televisi. Meski kerap
terjadi orangtua juga telah larut dalam pengaruh televisi sehingga tak bisa
menjalani perannya sebagai guide bagi
anak-anaknya.
Secara
khusus televisi harus dijauhkan dari anak bayi. Penelitian yang dilakukan sejumlah
dokter spesialis, yang dimuat dalam majalah kedokteran Jerman, menegaskan bahwa
televisi secara mendasar tidak baik bagi otak bayi.
disarikan dari tulisan 8 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar