Ketika membangun rumah
tangga, suami dan isteri memiliki cita-cita mewujudkan kesejahteraan hidup
rumah tangga, baik bagi mereka dan juga anak-anak hasil buah cinta mereka.
Mewujudkan cita-cita ini merupakan tugas dan tanggung jawab semua anggota
keluarga, disesuaikan dengan kapasitas masing-masing.
Ada sebuah keluarga terdiri
dari suami, isteri dan lima orang ada. Mengikuti tradisi yang ada, suami adalah
kepala keluarga. Dia bertanggung jawab atas kehidupan rumah tangganya. Karena
ingin mewujudkan tanggung jawab itu, sekaligus ingin menunjukkan bahwa dia
benar-benar suami (kepala keluarga yang bertanggung jawab), ia ambil semua
peran yang ada.
Isteri hanya bertugas
melahirkan dan menyusui anak (maklum, tugas yang satu ini tidak bisa diambil
alihnya). Sedangkan anak-anak hanya makan dan belajar saja (ini juga tidak
dibutuhkannya). Sementara sang suami ini, karena mau menunjukkan rasa tanggung
jawabnya, mengambil alih tugas yang ada. Dia yang memasak, mencuci pakaian,
mencuci piring dan membersihkan rumah serta halaman. Dia kerja mencari uang.
Dia yang mengurus, mendidik dan membesarkan anak-anak. Dia yang mengantar anak
ke sekolah, membayar uang sekolah anak di sekolah, mengikuti pertemuan anak di
sekolah. Dia juga yang membayar rekening listrik, telepon, air, dll. Dia-lah
yang mengurus semuanya. Isteri hanya melahirkan dan menyusui, dan anak-anak
hanya makan dan belajar.
Suatu hari, ia bangun agak
kesiangan. Setelah masak nasi dan menyiapkan sarapan bagi isteri dan anak-anak,
ia mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi ke kantor. Pakaian kotor, yang
biasanya dicuci setelah masak nasi tadi, ditunda. “Mungkin, siang saya pulang
sebentar untuk cuci pakaian.” Karena waktu juga sudah mepet, piring kotor pun
tak sempat dicuci. Dia berpesan kepada isterinya bahwa nanti siang dia pulang
sebentar sekalian cuci piring dan pakaian. Dengan mobil ia pertama-tama
mengantar anak-anak ke sekolah.
“Pa, nanti jam sepuluh ada
pertemuan kepala sekolah dengan orangtua.” Ujar anak tertuanya.
“Di sekolah kami juga ada.
Jam 11.30.” Sambung anak kedua.
“Ya, papa akan datang.”
“Pa, hari ini ada acara
perpisahan di sekolah. Papa diundang. Datang ya?” Pinta anaknya yang bungsu,
yang masih duduk di TK.
“Jam berapa sayang?”
“Jam 09.00. Putri ada bawa
acara nanti. Papa nonton ya?”
“So pasti!” Ujar sang suami
sambil melirik arloji tangannya.
Setelah mengantar semua
anaknya ke sekolah masing-masing, sang suami melaju ke kantornya. Tepat jam
07.45, ia tiba di sana. Setelah basa-basi dengan rekan kantor sebentar, ia
langsung tenggelam dalam kesibukan kantornya.
Jam 08.35 ia meninggalkan
kantor menuju ke TK Pertiwi. Dalam perjalanan ia coba membagi waktu untuk
kegiatannya. Sementara menyaksikan acara perpisahan sekolah putri bungsunya
itu, HP-nya mengeluarkan nada panggil. Boss di kantor
mengingatkan bahwa jam 10.15 nanti ada pertemuan. Saat itu jam di arlojinya
sudah menunjukkan jam 09.55. “Kalau saya pulang dulu antar Putri pulang, pasti
tidak dapat ikut pertemuan. Tentulah boss akan marah.”
Jam 10.05 acara di TK
selesai. Sang suami segera menjemput putrinya dan langsung menuju kantor. Ia
meminta Putri untuk menunggu di ruang kerjanya. Sementara pertemuan di kantor
cukup menyita banyak waktu. Sang suami sesekali menatap jam tangannya. Ia
berpikir soal pertemuan di sekolah anaknya yang pertama dan kedua. Ia juga
berpikir soal putri bungsunya yang sedari tadi menunggu. Tentu dia sudah lapar.
Jam 12.10 pertemuan baru selesai.
Sang suami segera menuju
ruang kerjanya. Didapatinya si Putri tertidur di bangku yang ada di kantor
bapaknya. Dengan kebapaannya, digendong anaknya itu dan berjalan menuju mobil
di halaman parkir. Mulailah ia menjemput anak-anaknya satu per satu. Setelah
semua terkumpul, mereka pulang ke rumah.
Dalam keadaan lapar, mereka
menuju ke rumah. Namun sampai di rumah, nasi dan lauk pauk tak ada. Piring
masih kotor di tempatnya. Pakaian kotor pun masih menumpuk. Maklum, semua itu
adalah tugas sang suami sebagai kepala keluarga.
Akhirnya, sang suami
mengajak isteri dan anak-anaknya pergi ke warung untuk menikmati makan
siangnya. Setelah menikmati santap siang, dank arena capek, mereka pulang dan
langsung tidur. Ketika bangun sore, sang suami ingat akan pakaian kotor. Segera
ia menuju tempat cuci. Dimasukkannya semua pakaian itu ke mesin cuci. Namun,
ketika ia menghidupkan mesin itu, tak ada arus. Mesin tak bergerak sama sekali.
“Ma, listrik mati ya?”
“Pa, kita belum bayar
listrik.”
Pesannya:
Ini adalah
contoh bagaimana serakahnya sang kepala rumah tangga dalam tugas dan perannya.
Sebenarnya ia dapat berbagi tugas dengan isterinya, bahkan dengan anak-anaknya.
Rumah tangga bukan semata-mata menjadi tanggung jawabnya sendiri, melainkan
tanggung jawab semua anggota keluarga. Keserakahan dalam peran atau single
fighter ini menyebabkan bukan saja rumah tangga berantakan, melainkan
anak-anak jadi korban.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar