Zaman
kini adalah zaman digital. Semua serba cepat. Jika dulu berlaku asas siapa yang
kuat dialah yang menang, di zaman kini siapa yang cepat dialah yang menang. Yang
cepat akan mengalahkan yang lambat. Karena itu, manusia dihargai dari kecepatan
kinerjanya. Dalam dunia kerja, kecepatan menjadi perhatian utama. Dan karena
mesin bisa lebih cepat daripada tenaga manusia, tak heran banyak perusahaan
lebih menggunakan mesin ketimbang tenaga manusia.
Tuntutan
kecepatan ini membuat manusia hidup dalam derap waktu yang super sibuk. Memang terlihat
seakan manusia menghargai waktu. Namun di balik itu ada segudang kecemasan jika
tidak mengimbangi kecepatan perputaran roda waktu. Terlambat sedikit, maka bisa
digilas roda sang waktu. Maklum, manusia dihargai dari kecepatannya.
Kisah
di bawah ini dapat memberi inspirasi bagi kita di zaman yang serba cepat.
Selasa pagi, pukul 09.30
WIB, seperti biasa jalan Imam Bonjol dilewati sebagian besar warga Jakarta.
Saya menyetir tergesa-gesa, dan sudah hampir terlambat rapat penting di pusat
Jakarta. Saat itu, waktu menunjukkan “3 in 1”. Saya menggerutu kecil. “Jamnya
nanggung. 30 menit lagi sudah selesai, tapi jika menunggu 30 menit, saya bisa
terlambat satu jam.”
Terpaksa saya
memberhentikan mobil dan menaikkan seorang ibu yang menggendong anak kecil.
“Pagi Mbak, sudah lama tidak lewat sini?” tegurnya ceria. “Iya, biasa lewat
tol,” saya menjawab pendek. Wajah saya berkerut-kerut tegang. Sambil memasuki
kawasan Sudirman, pikiran saya melayang pada rapat berikutnya. Dalam kondisi
seperti itu, hal terakhir yang ingin saya lakukan adalah mengobrol. Sama halnya
yang ingin dilakukan ibu joki untuk memulai perbincangan.
“Mbak sedang sibuk ya?”
tanyanya enteng.
“Iya,” saya menjawab
seadanya.
“Sibuk dengan kerjaan?”
tanyanya lagi.
“Iya, biasa,” jawab saya
lagi, mulai terganggu.
“Memang kerjaan belum
selesai?”
“Sudah semaksimal mungkin
saya kerjakan sampai malam, tapi tidak tahu mengapa, rasanya ada saja yang
membuat tidak beres,” keluh saya.
Tiba-tiba, saya menyimak
perkataan ibu ini lebih lanjut. “Bagaimana saya tidak berkeluh kesah, karena
kerjaan saya sekarang sedang menumpuk,” dalam hati saya protes.
“Mbak tahu tidak, kemarin
saya hanya punya uang seribu perak. Anak saya dua. Satu lagi kena demam
berdarah. Saya berpikir, bagaimana caranya anak saya bisa makan?” ujar ibu joki
itu.
“Mbak Katolik, bukan?”
tanyanya lagi. Saya mengiyakan.
“Kalau Mbak Katolik,
tahu kan Firman Tuhan yang menyatakan, burung pipit yang kecil
saja dikasihi Tuhan. Rumput saja tidak ada yang memberi makan bisa hidup.
Apalagi saya dan apalagi Mbak?”
Tangan saya mulai
berkeringat mendengar perkataan ibu itu. Ia melanjutkan perkataannya, “Kemarin
sore, saya naik mobil, yang punya mobil memiliki makanan sisa, daripada basi
diberikan kepada saya. Anak saya makan, padahal saya tetap punya uang seribu
perak, tambah hasil ngejoki.”
“Saya hanya punya seribu,
yang penting saya selalu usaha cari uang, sisanya Tuhan yang mengatur. Jika
sudah bekerja sebaik-baiknya, ya sudah. Jika belum diberi jalannya pagi ini,
nanti sore juga diberi. Pokoknya waktunya pas.”
Sesaat kemudian ibu joki
tersebut turun dari mobil saya, namun perkataannya masih terasa pedas
menggampar saya seharian penuh. Kurang pasrah, begitu saya berkesimpulan akan
penyakit saya. Dengan kemajuan teknologi dan segala alat bantu pekerjaan,
hampir seluruh area pekerjaan dapat direncanakan dan diprediksi. Nyaris tidak
ada informasi yang tidak bisa didapat lewat internet. Nyaris tidak ada komunikasi
yang bisa terputus dengan gadget yang dimiliki.
Berkata ‘tidak tahu’
adalah sebuah hal yang haram disebut sebagai alasan akan sesuatu. Jika sekarang
tidak tahu, bisa lewat mesin pencari atau bertanya pada orang. Jika orangnya
tidak ada di dekat kita bisa telepon, sms, email, atau chatting.
Hanya jika berada di daerah terpencil kita bisa punya lebih banyak alasan. Hal
ini menyebabkan tingginya tingkat anxiety masyarakat
perkotaan. Banjir informasi serta tidak ada putusnya waktu kerja dan istirahat seperti
menuntut segala hal untuk dikontrol hasilnya.
Padahal, seperti dalam
hidup manusia, tidak semua hal bisa dikontrol. Ketika ada hal yang tidak bisa
diprediksi hasilnya, manusia perkotaan menjadi lebih mudah frustrasi. Lalu,
frustrasi tersebut membawa manusia untuk lebih lagi mengandalkan gadget dan
kemampuan kerjanya untuk mengatasi anomali hasil tersebut. Jika dipikir-pikir,
masalah ibu joki tadi jelas lebih berat daripada masalah saya. Seribu perak
untuk makan itu sulit. Tetapi, saya terlihat lebih sengsara dan rendah diri.
diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar