Setiap orang katolik tentu
mempunyai benda rohani. Yang dimaksud dengan benda rohani adalah benda yang
mempunyai nilai rohani, yang telah diberkati oleh imam. Yang termasuk
benda-benda rohani adalah Alkitab, Rosario, Salib, patung orang kudus,
peralatan ibadat dan ekaristi, dan masih banyak lagi.
Sekalipun disebut benda
rohani, bukan lantas berarti benda-benda tersebut bersifat kekal. Ia masihlah
tetap barang duniawi. Dan karena termasuk barang duniawi, maka ada saatnya ia
rusak. Menjadi persoalan, bagaimana menyikapi benda rohani yang sudah rusak. Apakah
dibiarkan begitu saja sehingga menjadi “semak” di rumah?
Seorang OMK pernah bertanya
soal Alkitabnya yang sudah kusam (pernah terendam karena banjir melanda). Dia merasa
risih membawa dan menggunakan Alkitab tersebut dalam pertemuan kelompok. Memang
dia sudah membeli Alkitab yang baru, namun Alkitab yang lama itu terasa
menggangu “pemandangan”. Dia bingung mau diapakan Alkitab itu, karena dia sadar
itu adalah Kitab Suci.
Seorang ibu rumah tangga
juga pengalaman yang serupa terkait benda rohani. Kali ini masalahnya dengan Rosario.
Ada begitu banyak Rosario rusak di kamarnya. Semua itu ulah anaknya yang masih
balita. Anaknya sering memainkan-mainkan benda itu hingga putus dan rusak. Ibu ini
juga mengalami kebingungan mau diapakan Rosario rusak itu. Dia takut
membuangnya ke tempat sampah.
Demikian pula halnya
dengan patung-patung orang kudus. Karena terbuat dari bahan yang mudah pecah,
maka tak sedikit benda-benda tersebut rusak. Sebagai benda yang rusak, tentulah
tidak akan dipakai lagi. Memperlakukannya sebagai sampah pun tak tega; tapi tak
baik juga membiarkannya menumpuk di rumah.
Bagaimana cara
memusnahkannya tanpa merasa bersalah?
Prinsip
dasarnya adalah jika benda-benda rohani yang sudah diberkati ini rusak, maka
cara yang layak untuk membuangnya adalah dengan dibakar atau dikuburkan.
Sebab menurut Kitab Hukum Kanonik, benda-benda religius yang telah diberkati
ini adalah untuk didedikasikan bagi penghormatan kepada Tuhan, sehingga harus
diperlakukan dengan hormat dan tidak digunakan untuk kepentingan profan lainnya
yang tidak layak (Kan. 1171).
Di
sekitar tahun 1800-an, Kongregasi Suci untuk Ritus dan Tahta suci (sekarang
dikenal dengan nama Kongregasi Suci untuk Sakramen dan Penyembahan ilahi) dan
Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman, mengeluarkan ketentuan yang beragam untuk
urusan ini. Contohnya: Piala/sibori (yang dipakai untuk tempat tubuh dan darah
Kristus) yang sudah tidak digunakan lagi, tidak untuk dijual, tetapi untuk
digunakan untuk fungsi sakral lainnya atau untuk dilelehkan. Pakaian imam/
pakaian pelayan liturgi, taplak altar atau kain linen yang digunakan dalam
kurban Ekaristi dihancurkan dengan dibakar, dan abunya dibuang di tanah. Air
suci yang terkena kotoran/polusi ataupun kelebihan air suci dibuang di tanah.
Daun palma dibakar, dan abunya dibagikan sebagai tanda pertobatan di hari Rabu
Abu, atau sisanya dikembalikan ke tanah. Rosario yang putus/rusak, atau patung
religius yang sudah rusak, umumnya dikuburkan. Di atas semua itu, idea dasarnya
adalah, apa yang sudah pernah didedikasikan kepada Allah, harus dikembalikan
kepada Allah. Tidak sepantasnya kita membuang begitu saja, apa yang sudah
pernah didedikasikan kepada Tuhan.
diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar