Perjanjian
Lama (PL) terdiri dari 46 buku dan
merupakan bagian pertama dari dua bagian Kitab Suci, yang mempunyai paling
banyak kitab. Perjanjian Lama
mengisahkan bagaimana bangsa Israel disiapkan tahap demi tahap untuk menerima perjanjian
yang definitif dan
abadi yang akan dilakukan Allah dengan manusia dalam diri Yesus Kristus.
Sebelum
berbentuk sebuah buku, PL merupakan suatu penggalaman manusiawi dan rohani,
pengalaman akan Allah yang memanggil umat yang dipilih-Nya, dan membuat
perjanjian dengan mereka. Umat terpilih ini menjadi saksi akan janji Allah di tengah bangsa-bangsa.
Perjalanan Allah dengan bangsa Israel akan berlangsung selama berabad-abad.
Dalam petualangan yang panjang ini orang-orang disemangati oleh Roh Allah akan
mengungkapkan iman mereka dan menuliskan
pengalaman unik akan Allah yang menyatakan Diri-Nya kepada manusia.
Barangsiapa
membolak-balikan Kitab Suci, PL akan tampak sebagai deretan cerita yang
kadang-kadang terulang, atau mengikuti suatu urutan yang kurang lebih ada
pertalian, yang sering mengagumkan dan kadang-kadang memalukan kita. Di antara tulisan-tulisan ini,
ada yang bersifat mitos daripada kisah nyata, banyak hal disisipkan:
wejangan-wajangan, peraturan-peraturan tentang moral, liturgi, kehidupan sosial, teguran-teguran keras,
perkataan-perkataan yang penuh harapan atau suatu seruan kemesraan. Oleh karena
itu, PL adalah salah satu teks yang paling bagus di antara sastra-sastra
universal. Allah hadir dimana-mana, seolah-olah Ia disebut pada setiap halaman:
sesungguhnya PL
mengisahkan bagaimana
Allah mempersiapkan manusa, dan khususnya bangsa Israel, untuk mengenal dan
menyambut, dalam diri Yesus, Dia yang mengadakan Perjanjian dengan manusia,
suatu Perjanjian yang tak terselami dan mengagumkan.
Perjanjian
Lama adalah sekaligus sabda Allah dan Sabda Manusia. Dan keduanya tidak bisa
dipisahkan. Maka, tidaklah mungkin memahami kitab-kitab ini jika salah satu
dari dimensi ini diabaikan. Dengan mengabaikan satu dimensi, yang lain
dirugikan dan ada resiko nilai kitab-kitab itu akan turun sehingga mereka menjadi
dokumen-dokumen historis belaka. Di lain
pihak ada resiko juga bahwa kita lupa
bahwa Allah menyatakan Diri-Nya kepada kita (dan masih terus menyatakan
Diri-Nya sampai sekarang) di tengah-tengah
sejarah jika kita menganggap sabda Allah ini hanya sebagai kumpulan
peraturan-peraturan religius. Perjanjian Lama
bukanlah suatu ajaran religius melainkan suatu penampakan kasih Allah yang
adalah Bapa kita, suatu undangan untuk setiap orang masuk ke dalam suatu persekutuan
(komunio) cinta kasih dengan Dia.
Perjanjian
Lama bukanlah buku yang
berbicara kepada kita tentang Allah, melainkan suatu buku dimana Allah
berbicara kepada kita tentang Diri-Nya lewat saksi-saksi yang dipilih-Nya
sendiri di antara
umat-Nya, yaitu Israel. Orang Kristen perdana tidak keliru: ”Setelah pada zaman
dahulu Allah berulang kali dan dalam berbagai cara berbicara kepada para
leluhur kita dengan perantaraan para nabi, maka pada zaman ini Ia telah
berbicara kepada kita dengan perantaraan anak-Nya.” (Ibr 1:1). Maka setelah membaca berbagai
kitab PL, kita melihat betapa sabar Allah menyatakan Diri-Nya, dan betapa sabar
Ia mempersiapkan umat-Nya untuk berjumpa dengan Yesus, Putera Allah yang menjadi manusia. Dalam Dialah
berdiam seluruh kepenuhan Allah (Kol 2:9).
Hukum Taurat, Nabi-nabi
dan Kitab
Suci
Pengelompokan
suatu perpustakaan bisa berbeda dari seorang pustakawan yang lain. Demikianpun
pengelompokan 46
kitab PL telah dibuat secara berbeda
secara berabad-abad pertama era kekristenan.
Para redaktur Kitab Suci modern haruslah memilih antara dua dari pengelompokan
yang paling sering digunakan oleh naskah-naskah kuno; urutan yang digunakan
oleh kitab suci yang berbahasa Ibrani atau urutan yang digunakan oleh Kitab
Suci yang berbahasa Yunani.
Pada umumnya, urutan kitab suci
yang berbahasa Ibranilah yang digunakan
untuk edisi yang sekarang
ini. Oleh karena itu, pada awalnya kita menemukan kelima kitab dari PL yang disebut Hukum Taurat,
atau disebut Torah oleh orang-orang Yahudi yang berbahasa Ibrani, atau
Pentateukh oleh orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Kemudian menyusul
Kitab Para Nabi dan akhirnya Kitab Kebijaksanaan, yang merupakan suatu kumpulan
karya-karya yang beragam bentuknya yang mempersatukan kita dengan doa,
kebijaksanaan, dan moralitas umat perjanjian pertama.
Ketika
Allah menyatakan Diri-Nya kepada para bapa bangsa, yaitu Abraham, Ishak dan Yakub,
mereka ini masih pengembara. Mereka memiliki agama yang
sama dengan agama pengembara lain yang berciri khas kasih sayang kepada Allah
leluhur mereka dan penghormatan terhadap sejumlah dewa kecil dari keluarga.
Tetapi perjumpaan mereka dengan Allah yang hidup akan mengantar mereka ke suatu kesadaran baru: Allah
menjaga mereka yang Ia pilih, Banyak pencobaan tampaknya berlawanan dengan janji Allah kepada
mereka; tetapi setiap kali Allah turun tangan dan memihak kepada umat yang
setia kepada-Nya. Hal ini menciptakan suatu hubungan khusus antara Allah dan
bapa-bapa bangsa, yang ditandai oleh kesetiaan Allah pada sabda-Nya dan
kepercayaan tak tergoyahkan dari umat yang setia kepada Allah lewat bapa-bapa
bangsa. Israel didorong untuk merenungkan sepanjang sejarahnya baik karya-karya
agung Allah di antara
umat-umat pilihan-Nya dan iman yang tak tergoyahkan dari para bapa bangsa.
Enam
abad kemudian sejumlah keturunan para bapa bangsa berada di padang gurun dan dipimpin
oleh Musa menuju tanah terjanji. Perjalanan di Horeb bersifat menentukan: di
Horeb suku-suku pengembara itu diminta menghayati suatu pengalaman rohani dan
teks-teks Kitab Suci selalu mengacu pada pengalaman itu. Allah secara
sungguh-sungguh membaktikan diri kepada umat-Nya pada saat Ia memberikan mereka
suatu Hukum: Hukum perjanjian dengan Allah, suatu pedoman tingkah laku Israel
secara perorangan maupun bersama. Sabda yang
diucapkan Allah kepada Abraham diberi jawaban lewat (tanggapan) di Sinai.
Janji, Perjanjian, Keselamatan akan menjadi ketiga tiang penyangga iman Israel,
pokok-pokok yang sangat menonjol dalam kelima kitab PL.
Ketika
masuk ke Tanah terjanji, Israel dihadang oleh bangsa-bangsa lain yang memiliki
kebudayaan-kebudayaan yang lebih maju. Selama lebih dari dua ribu tahun
bangsa-bangsa ini sudah memiliki pelabuhan kota, telah mengembangkan pertanian,
telah menjalin hubungan perdagangan di wilayah Timur Dekat, dan bahkan lebih
jauh lagi. Peradaban ini cerdik tetapi kafir, akan selalu menjadi batu sandungan bagi iman Israel. Lalu Allah mengutus
nabi-nabi kepada umat-Nya; nabi-nabi ini adalah juru bicara Allah. Daud
menguasai suatu kota Kanaan yang masih kecil dan menjadikannya sebagai ibukota: Yerusalem. Ia membawa tabut
PL ke kota itu. Tabut Perjanjian adalah tanda lahiriah Allah di tengah-tengah umat-Nya.
Sejak saat itu tidak hanya masuk ke dalam
sejarah umat Allah tetapi panggilannya melampaui waktu dan sejarah sebagaimana
tampak di halaman-halaman terakhir
kitab Wahyu dimana kota itu melambangkan umat manusia yang telah didamaikan
oleh Allah secara definitif.
Salomo, dengan membangun Bait Allah di Yerusalem, yang selama dua abad
berikutnya menjadi satu-satunya tempat kudus yang sah, memberikan umatnya suatu
pusat berkumpul: ”Tempat kediaman Allah.”
Penghukuman
terhadap ketidaksetiaan Israel yang terjadi banyak kali, peringatan akan belas
kasihan Allah yang tak kenal lelah terhadap Yerusalem, terutama akan kebenaran
dan ketulusan dalam peribadatan di Bait Allah, pewartaan akan keselamatan yang akan datang;
semua ini merupakan pesan-pesan pokok para nabi.
Dalam
pengelompokan sebagai bagian ”Para Nabi”, kitab-kitab yang dalam Kitab Suci
berbahasa Ibrani disebut “Kitab-kitab sejarah”. Kitab Suci berbahasa Ibrani menyoroti
keaslian teks-teks ini.
Dalam PL maupun PB, setiap peristiwa
mengandung sabda Allah; sejarah tidak ditulis demi memperoleh kesenangan dengan
mengetahui kejadian-kejadian di masa
lampau, melainkan demi memberi kesaksian tentang kesetiaan Allah kepada umat-Nya,
untuk mengetahui kehendak-Nya, dan dengan demikian mempersiapkan kita untuk
menyambut rahmat keselamatan, Dalam arti setiap teks Kitab Suci dapat disebut
“profetis”.
Dengan
mendekatnya zaman akhir,
meditasi Israel lebih kuat. Banyak percobaan telah menghilangkan
gagasan-gagasan palsu atau terlalu manusiawi. Dengan doa dari mazmur-mazmur,
dengan cerita-cerita yang menyangkut akhlak atau pepatah-pepatah, dengan
perkembangan manusia
dan masyarakat, para orang bijak berusaha menuntun Israel pada tahap-tahap
akhir perjalanan menuju dia yang akan memenuhi segala sesuatu. Kitab kebijaksanaan, yang adalah bagian
ketiga dan akhir dari PL, bisa tampak ada kurang pertaliannya dibanding Hukum
Taurat atau Nabi-nabi; sesungguhnya Kitab Kejadian adalah refleksi umat yang
bingung sekali dan sering terpecah belah; pada masa itulah Allah membentuk
”Suatu sisa kecil” bagi Diri-Nya di tengah-tengah
suatu bangsa yang tertarik dan terhanyut oleh godaan-godaan pengggunaan kuasa,
dan kebingungan tentang kerajaan di dunia ini dan kerajaan Allah.
Demi
mempermudah pembacaan dan pencariaan sebuah teks dalam kita-kitab dari Kitab
Suci, pada awal
abad ke-13 seorang Uskup
Inggris mengusulkan membagi Kitab Suci atas bab-bab, dan pada tahun 1550,
seorang pencetak buku berkebangsaan Perancis
menyelesaikan karya itu dengan memberi nomor pada frasa-frasa dalam Perjanjian Baru - yang sekarang disebut
ayat-ayat - tak lama kemudian hal yang sama dilakukan juga untuk PL.
Urutan buku-buku: suatu penjelasan
Dalam
Kitab Suci Pastoral Umat Kristen, yang diterbitkan untuk kepentingan umat kristen, dipertahankan urutan
biasa dari kitab-kitab Perjanjian Baru: keempat Injil disusul Kisah Para Rasul,
lalu Surat-Surat Paulus, Surat kepada Orang Ibrani, Surat-surat Yakobus,
Petrus, Yudas dan Yohanes dan akhirnya kitab Wahyu.
Dalam
PL kami membuat suatu pilihan. Kalau urutan kitab-kitab Perjanjian Baru tidak pernah
dipertanyakan, tidaklah demikian dengan PL.
Naskah-naskah kuno PL memberikan urutan kitab-kitab yang terhitung sebagai
Kitab Suci dalam naskah-naskah kuno tidak sama.
Akibatnya,
memutuskan buku-buku mana yang adalah sabda Allah atau bukan, menyangkut
dasar-dasar terdalam kitab Wahyu.
Hanya mereka yang telah dipilih untuk memimpin umat Allah bisa membuat keputusan sepenting
itu. Para pembesar Yahudi zaman Yesus
dan Para Rasul belum bisa mengambil langkah itu. Ada Kitab Suci berbahasa
Ibrani yang dipakai di Palestina dan ada juga Kitab Suci berbahasa Yunani yang
diterjemahkan dari Kitab Suci berbahasa Ibrani, yang dipakai oleh orang-orang
beriman Yahudi yang terpencar-pencar di seluruh Yunani. Kadang-kadang Kitab
Suci itu berbahasa Yunani ini dipakai juga di Palestina. Kitab Suci Yunani
berisi juga kitab-kitab terbaru yang aslinya berbahasa
Yunani.
Baru
setelah terjadi pergolakan pertama melawan Roma (66-71) pada tahun 95, orang
Yahudi membuat daftar resmi atau yang disebut “Kanon” Kitab Suci. Mereka
menolak buku-buku yang ditulis dalam bahasa Yunani. Namun Gereja pada pihaknya,
tanpa membuat suatu daftar resmi, menggunakan Kitab Suci berbahasa Yunani
sebagaimana dilakukan oleh penulis-penulis kitab-kitab Perjanjian Baru, tanpa membedakan antara
kitab-kitab berbahasa Yunani dan Ibrani. Kemudian pada abad ke-16, dalam suatu usaha untuk ”kembali ke sumber-sumber
asli” yang menandai zaman RENAISSANCE, orang protestan mengeluarkan kitab-kitab
yang berbahasa
Yunani dari Kitab Suci mereka. Kitab-kitab yang dikeluarkan itu disebut
”Deuterokanonika.” Orang protestan lebih suka memakai istilah “Apokrip.” Orang
Protestan kembali kepada “kanon” Kitab Suci berbahasa Yahudi. Dalam Kitab Suci
ini kami menerbitkan PL
yang ditetapkan oleh Gereja, yaitu PL
dengan 46 kitab.
Kitab-kitab
ini disusun dengan urutan berbeda sejak abad-abad pertama era kekristenan.
Redaktur-rekdaktur modern Kitab Suci memilih salah satu dari urutan yang lebih
sering digunakan oleh naskah-naskah
kuno; urutan Kitab Suci berbahasa
Ibrani atau Kitab Suci berbahasa Yunani.
Di sini kami mempertahankan,
secara garis besar, pembagian kitab-kitab menurut tiga kategori yang dipakai
dalam Kitab Suci berbahasa Yahudi atau Ibrani. Ketiga kategori ini dapat ditemukan dalam
sejumlah teks dalam Perjanjian Baru,
khususnya Lukas 24:44 ”Kitab Taurat Musa, kitab Nabi-nabi dan Kitab Mazmur”
atau menurut ungkapan Yahudi: ”Hukum
taurat, nabi-nabi dan Tulisan.”
diambil
dari: Iman Katolik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar