Ketika saya masih kecil, ayah saya mengajarkan saya tentang Allah dengan
membacakan Alkitab versi anak-anak. Saya sangat suka mendengarnya dan melihat
gambar-gambarnya yang indah, tetapi saya tidak pernah sungguh-sungguh membangun
iman kepada Allah. Mungkin karena waktu itu saya pikir pergi ke gereja itu
sangat membosankan atau mungkin karena pengaruh ibu saya yang agnostik (tidak
peduli akan Allah). Meskipun dia tidak pernah menghalangi saya untuk beriman
pada Allah akan tetapi dari dialah saya tahu bahwa ada orang-orang yang tidak
percaya eksistensi Allah.
Saya tidak ingat pada umur berapa akhirnya saya kehilangan sedikit iman
yang saya miliki tetapi sewaktu saya menginjak sekolah menengah umum, saya
telah mengaku sebagai seorang agnostik. Saya merasa agama cuma buat orang-orang
yang lemah yang tidak dapat menghadapi kenyataan. Manusia telah menciptakan
Allah seperti gambaran dirinya berabad-abad lalu demi untuk menjelaskan alam
semesta. Tetapi ilmu pengetahuan berkembang dan kita mulai mengerti proses alam
yang mengatur alam semesta. Saya dapat melihat saat di mana kita akhirnya
mengerti sepenuhnya mekanika dunia materi ini sehingga Allah sama sekali tidak
diperlukan lagi. Saya merindukan saat itu karena saya percaya dunia akan
menjadi jauh lebih baik tanpa adanya agama. Lebih enak buat saya karena saya
dapat melakukan apa saja yang saya sukai tanpa perlu diingatkan bahwa saya
adalah seorang berdosa dan bahwa tindakan-tindakan tertentu adalah salah. Apa
hak orang-orang ini untuk menghakimi saya?
Tetapi sikap saya mulai berubah sewaktu musim dingin tahun 1985. Untuk
pertama kalinya, saya mulai menyadari sisi gelap dari falsafah ateisme. Saya
tadinya berpikir ateisme telah melepaskan dari belenggu agama supaya saya dapat
hidup semau saya tetapi saya mulai merasakan bahwa hidup sekehendak hati
sebetulnya tidak sungguh-sungguh menyenangkan. Bahkan tampak hampa yang tidak
memiliki arah. Meskipun saya tidak tahu apa alasannya, saya mulai merasa tidak
tenang dan tidak puas. Saya menginginkan sesuatu yang lebih, tetapi saya tidak
tahu apakah itu. Saya rasa saya menginginkan supaya hidup ini bermakna. Tampak
ada semacam hukum alam yang tidak dapat dipungkiri. Saya menemukan bahwa
semakin memiliki semakin saya mengingini dan semakin saya mendapatkan semakin
kurang kepuasan yang didapat. Saya semakin tenggelam ke dalam keputus-asaan. Secara eksternal, saya memiliki segala hal, secara internal saya
tidak memiliki apa-apa. Saya mulai ragu apakah saya akan pernah merasa bahagia
lagi.
Lalu pada suatu hari saya sedang duduk di restoran fast-food dan makan semangkuk makanan. Tiba-tiba sekilas muncul dalam pikiran saya tentang Allah. Saya menyadari bahwa banyak orang merasa hidup mereka bermakna lewat hubungan mereka dengan Allah. Saya lantas memutuskan untuk mencari tahu tentang Allah lewat teman sekamar saya, yang adalah seorang Kristen Baptis. Saya memutuskan untuk pergi bersamanya ke gereja. Saya merasa seperti seorang idiot karena berada di sana. Namun saya terus kembali minggu demi minggu. Setelah beberapa lama saya memperhatikan pesan yang dikotbahkan menunjukkan mengapa saya berada dalam keputus-asaan. Saya membutuhkan seorang juru selamat. Menurut pastor Weaver, Yesus adalah Allah dalam rupa manusia, yang mengasihi kita sedemikian besar sehingga Dia menyerahkan nyawa-Nya untuk menebus dosa-dosa saya supaya saya dapat dimaafkan.
Akhirnya saya meminta Yesus mengampuni semua dosa saya dan meminta-Nya untuk datang ke dalam hati saya. Saya berjanji untuk mengikuti Tuhan sejak hari itu, sebaik mungkin. Beberapa hari sesudahnya saya membeli buku "How to Be a Christian without being Religius" dan "Why I Believe, and Truths that Transform" untuk menolong saya memahami iman yang baru ini. Buku-buku seperti ini membentuk fondasi teologi Kristen saya. Selain dua buku itu, saya juga membaca sejumlah buku membela iman, buku-buku yang menjelaskan dasar rasional dari kebenaran Kristiani. Saya menyukai ide tentang Yesus, tetapi saya masih tidak peduli tentang konsep agama yang terorganisir.
Saya berhasil lulus dari universitas dan setahun sesudahnya menikah. Saya membaca Alkitab dan bahkan belajar sedikit bahasa Yunani supaya dapat membaca Perjanjian Baru dalam bahasa aslinya. Tetapi satu hal yang tidak pernah dapat saya lakukan adalah mencari sebuah gereja di mana saya merasa nyaman sepenuhnya. Menurut hitungan saya, saya dan istri telah mengunjungi dua belas gereja yang berbeda di wilayah Virginia Utara. Saya menemukan hal baik di setiap gereja-gereja ini dan orang baik, tetapi saya selalu mendengar teologi yang baru setiap kali ke sebuah gereja baru. Dan saya menemukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan saya. Kami tidak puas dan sudah capek pindah-pindah gereja.
Satu gereja yang sama sekali tidak pernah masuk hitungan saya adalah Gereja Katolik. Saya tidak percaya bahwa iman Katolik penuh dengan ajaran-ajaran yang tidak terdapat di Alkitab. Secara umum, saya merasa siapapun yang membaca dan percaya pada Alkitab akan menjauh dari iman Katolik. Orang Katolik yang saya kenal tidak tertarik pada Alkitab, Yesus, atau Allah. Mereka sepenuhnya sekuler, sama sekali tidak berbeda dengan orang bukan Kristen, kecuali bahwa mereka pergi ke gereja sekali-sekali, yang agaknya seperti sebuah beban bagi mereka.
Tetapi suatu hari seorang teman kerja menawarkan buku karya Karl Keating: "Catholicism and Fundamentalism". Isi buku itu membela iman Katolik terhadap serangan-serangan kaum Fundamentalis anti-Katolik sekaligus menawarkan penjelasan Alkitab. Saya merasa geli bahwa seseorang punya keberanian untuk mencoba membela iman Katolik dengan berdasarkan Alkitab. Saya yakin pasti mudah untuk membantah argumen-argumen Karl Keating karena saya tahu bahwa teologi Katolik sangat tidak sesuai dengan Alkitab.
Maka saya membaca buku. Saya membacanya seolah sebagai seorang jaksa penuntut, mencari kelemahannya. Tetapi saya terheran bahwa orang ini ternyata rasional dan pintar bicara dan apa yang dikatakannya sungguh masuk akal. Setelah mendengar sendiri teologi Katolik dari sumber Katolik, saya menyadari bahwa selama ini saya telah menyerap banyak kesalah-pahaman tentang iman Katolik. Masalahnya, selama ini yang saya dengar semua berasal dari sumber Protestan. Setelah membaca buku ini, saya merasa tidak nyaman di lubuk hati bahwa ternyata interpretasi Katolik atas Kitab Suci sesungguhnya lebih masuk akal ketimbang interpretasi saya sendiri.
Seperti saya katakan, saya tidak begitu saya diyakinkan bahwa Katolik benar, tetapi saya tahu saya tidak akan dapat beristirahat sampai saya mendapatkan jawabannya. Maka saya mulai membaca segala yang bisa saya dapatkan. Saya mencari buku-buku apologetika Katolik maupun Protestan. Saya membaca buku karangan James Akin, Dave Armstrong, Scott Hahn, Mark Shea, di antara banyak lainnya di sisi Katolik dan Geisler, Kennery, Ridenour dan Scott, di sisi Protestan. Secara umum, kesan saya adalah bahwa para pengarang Protestan tidak mengerti teologi Katolik dengan baik, karena mereka terus mengkritik hal-hal yang tidak diajarkan oleh Gereja Katolik. Argumen-argumen Katolik tampak bagus dan saya berharap salah satu pengarang Protestan dapat menandinginya, tetapi mereka tidak pernah bisa. Setelah saya semakin memahami argumen teologi Katolik, saya menemukan bahwa saya dengan mudah melawan argumen Protestan terhadapnya, di lain pihak saya tidak dapat melawan argumen Katolik terhadap teologi Protestan.
Saya mulai mempertanyakan secara serius fondasi doktrin protestanisme: sola fide dan sola scriptura. Gereja Katolik memberikan argumen kuat bahwa doktrin ini tidak diajarkan dalam Alkitab dan tidak diajarkan oleh siapapun sebelum gerakan Reformasi Protestan. Saya merasa argumen Protestan dalam hal ini tidak meyakinkan. Mereka tampak mengambil Alkitab di luar konteks dan mengenyampingkan ayat-ayat yang bertentangan dengan interpretasi mereka. Kadang mereka mengutip dari sumber Kristen perdana yang tampak mendukung posisi mereka, tetapi mereka mengabaikan hal-hal lain oleh penulis yang sama yang menjadikan jelas bahwa mereka tidak mendukung argumen Protestanisme.
Makin saya mengerti teologi Katolik, semakin saya merasa bahwa Katolik lebih sesuai dengan Alkitab ketimbang teologi saya. Kenyataan ini mengganggu saya karena saya bangga sebagai Protestan Injili, yang punya reputasi sebagai kaum yang menginterpretasi ayat Kitab Suci secara literal. Tetapi setelah saya mempelajari interpretasi Katolik, saya merasa bahwa interpretasi Katolik lebih benar dan sesuai dengan arti teks Kitab Suci.
Dalam riset, saya juga membaca sejumlah tulisan-tulisan perdana orang-orang Kristen, yakni orang-orang yang belajar Injil langsung dari para rasul atau dari penerus sesudahnya. Sebagai seorang Protestan saya tidak pernah mendengar hal ini. Saya tidak pernah mendengar tentang murid rasul Yohanes: Ignatius dari Antiokia dan Polycarpus dari Smyrna, Irenaus ataupun Yustinus Martir. Dalam masa 12 tahun sebagai Protestan tidak seorangpun pernah memberitahukan saya bahwa murid-murid para rasul meninggalkan tulisan-tulisan yang menjadi saksi atas iman apostolik yang sejati. Tidakkah ini hal yang aneh? Kita sesungguhnya memiliki komentar Kitab Suci dari abad ke-2, yang sebagian ditulis oleh orang-orang yang mengenal para penulis Kitab Suci secara pribadi. Mengapa kita mengabaikan sumber yang luar biasa ini?
Saya pribadi ingin mengetahui apa yang mereka katakan. Orang ini mengenal para rasul, hidup dalam kultur yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan sangat mungkin membaca salinan-salinan asli dari kitab-kitab Perjanjian Baru dalam bahasa asli mereka. Kalau ada seseorang yang tahu interpretasi Kitab Suci yang benar, maka mereka pastilah orangnya. Maka saya membaca semua surat-surat Ignatius dari Antiokia, dan Polycarpus dari Smyrna, keduanya adalah murid-murid rasul Yohanes. Saya membaca tulisan Irenaeus dari Lyons, yang adalah murid Polycarpus. Saya membaca surat kepada jemaat di Korintus yang ditulis oleh Clemen. Saya juga membaca bagian dari surat Yustinus Martir kepada kaisar Romawi, Antonius Pius, yang ditulis dalam memori para rasul, dan yang mencoba menjelaskan iman Kristen kepada seorang bukan Kristen.
Tampak sangat jelas Gereja abad II sangat menyerupai Gereja Katolik. Mereka memiliki uskup-uskup, imam-imam dan diakon-diakon; mereka percaya mereka bisa kehilangan keselamatannya; mereka percaya regenerasi pembaptisan; mereka menganggap Ekaristi sebagai suatu kurban dan bahwa Ekaristi sungguh-sungguh adalah Tubuh dan Darah Kristus dan mereka percaya suksesi para uskup di Gereja adalah standar keortodoksan iman Kristen. Mereka memporak-porandakan asumsi saya mengenai Gereja perdana. Selama ini saya berasumsi bahwa Gereja perdana intinya adalah Protestan dan doktrin-doktrin Katolik adalah hasil korupsi iman yang muncul sekitar abad ke-5. Ternyata tidak demikian halnya. Bahkan saya tidak dapat menemukan bukti-bukti bahwa doktrin-doktrin Protestan sudah ada sejak jaman Gereja perdana. Ini sungguh membuat saya tercengang-cengang.
Setelah semua yang saya pelajari, saya harus mengakui bahwa penjelasan Katolik menyangkut Kitab Suci dan sejarah jauh lebih benar ketimbang penjelasan denominasi saya dan saya menyadari bahwa jika saya ingin terus menjadi "umat Kristen yang percaya Alkitab", saya harus menjadi Katolik. Sejauh yang dapat saya katakan, penjelasan Katolik tentang iman Kristen adalah konsisten dengan makna sederhana dari Alkitab dan konsisten dengan apa yang dipercaya oleh umat Kristen perdana dari jaman apostolik hingga ke jaman Reformasi.
Protestantisme, berlandaskan pada dua doktrin yang tidak didukung oleh Kitab Suci dan yang sepenuhnya absen dari sejarah Kristen sebelum Reformasi. Saya tidak melihat Protestanisme kembali ke kemurnian Kristen perdana. Oleh karena itu saya menyimpulkan, dengan perasaan sedih, bahwa Protestanisme bukanlah "reformasi" iman sama sekali, tetapi korupsi iman. Meskipun begitu, meskipun pemecah-belahan Gereja adalah suatu hal yang tragis, Allah telah membawa hal yang baik daripadanya. Sekarang ini, Protestan Injili adalah termasuk umat Kristen yang terbaik dan paling berdedikasi di dunia. Sulit untuk menyalahkan dalam hal ini.
diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar