Rabu, 23 Oktober 2019

PERSOALAN BATAS USIA MENIKAH DALAM PANDANGAN ISLAM DAN KATOLIK


Menikah adalah hak asasi setiap manusia. Dalam arti ini setiap orang berhak memutuskan menikah atau tidak, serta berhak juga untuk memutuskan menikah dengan siapa dan dengan cara apa. Walau demikian beberapa agama tidak mengartikan hak menikah itu secara absolut, karena dalam arti tertentu agama masih membatasi hak tersebut. Sumber pembatasan itu beragam. Sebagian besar pembatasan itu bersumber dari perintah (wahyu) Allah, namun ada juga bersumber dari lembaga agama itu sendiri (misalnya seperti Agama Katolik).
Sekalipun menikah merupakan hak setiap orang, namun tidak semua orang dapat menikah begitu saja. Ada banyak ketentuan yang harus dilalui agar orang dapat memenuhi haknya tersebut. Inilah yang dinamakan syarat. Syarat menikah itu haruslah legal, sehingga keputusan menikah pun menjadi legal. Salah satu persyaratan menikah adalah batasan usia. Dalam undang-undang perkawinan yang lama (1974), batasan usia menikah adalah pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Namun, dalam undang-undang perkawinan yang baru (2019), batasan usianya dinaiknya menjadi 19 tahun.
Naiknya batasan usia menikah ini merupakan tindak lanjut dari perintah Mahkamah Konstitusi, yang tertuang dalam Putusan MK no. 22/PUU-XV/2017. Ada 2 dasarnya, yaitu batasan usia menikah yang lama bertentangan dengan semangat perlindungan anak serta melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum sesuai pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Putusan MK ini tentu disambut baik lembaga-lembaga yang telah berjuang untuk menghindari perkawinan anak atau perkawinan usia dini. Lembaga-lembaga ini melihat bahwa pernikahan usia dini membawa dampak buruk, tidak hanya bagi wanita tetapi juga bagi kelangsungan keluarga.
Akan tetapi, putusan MK tersebut, atau batasan usia menikah dalam undang-undang perkawinan yang baru itu menemui kendala berhadapan dengan hukum agama. Sebagaimana diketahui bahwa setiap umat beragama terpanggil untuk melaksanakan ajaran dan aturan agamanya. Memang tidak semua agama mempermasalahkannya, namun batasan usia 19 tahun boleh menikah bisa bermasalah bagi agama islam dan katolik. (untuk Gereja Katolik, baca "UU Perkawinan dalam Terang Kitab Hukum Kanonik dan implikasinya bagi Pastoral Perkawinan").
Umat katolik sendiri, ketika ia menikah akan tunduk pada 3 hukum, yaitu hukum ilahi, hukum Gereja dan hukum sipil. Allah sendiri tidak pernah memberikan batasan jelas tentang usia menikah. Dengan kata lain, Alkitab tidak berbicara soal usia perkawinan. Batasan usia menikah ada dalam aturan Gereja. Terkait dengan batasan usia ini, terjadi perbedaan usia menikah. Gereja Katolik, dalam Kitab Hukum Kanonik, memberikan batasan usia 14 tahun untuk wanita dan 16 tahun untuk pria (kan. 1083, §1). Batasan usia ini lebih dilihat dari aspek biologis saja. Tentu akan menjadi persoalan ketika ada anak gadis usia 16 tahun hendak menikah. Dari aspek hukum Gereja, ia boleh menikah, namun akan menemui masalah berhadapan dengan hukum sipil.
Bagaimana Gereja Katolik menyikapi hal ini? Memang hukum Gereja menetapkan batasan usia yang sangat rendah, namun penetapan itu semata-mata dari sudut biologis semata. Gereja menyerahkan masalah batasan usia ini kepada Gereja Lokal untuk menyesuaikan dengan tuntutan di negaranya (kan. 1083, §2). Gereja sendiri sebenarnya menghendaki agar orang yang menikah benar-benar sudah matang secara mental dan psikis. Karena itu, dalam kanon 1072, para pastor diminta untuk menghindari kaum muda dari pernikahan dini. Dengan kata lain, Gereja Katolik menghendaki supaya kaum remaja tidak terjebak dalam pernikahan usia muda. Tentulah hal ini sejalan dengan tuntutan undang-undang perkawinan yang baru.
Bagaimana dengan agama islam?
Seperti yang telah diungkapkan di atas setiap umat beragama terpanggil untuk melaksanakan ajaran dan aturan agamanya. Demikian pula halnya dengan umat islam. Al-Qur’an sudah berkata, “Taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang beriman.” (QS an-Anfal: 1). “Rasul” di sini tentulah merujuk pada Nabi Muhammad. Umat islam sendiri melihat Nabi Muhammad sebagai teladan tingkah laku yang sempurna. Hal ini didasarkan pada wahyu Allah dalam QS al-Ahzab: 21). Karena itu, taat kepada rasul-Nya, yaitu kepada Muhammad, tidak hanya dengan melaksanakan apa yang diajarkan, tetapi juga mengikuti perbuatannya. Terkait dengan mengikuti perbuatan (teladan) Muhammad inilah batasan usia dalam undang-undang perkawinan menemui kendala.
Sebagaimana sudah diketahui, Nabi Muhammad menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, seorang istri favorit nabi, ketika gadis itu berusia 6 (ENAM) tahun, dan baru bersetubuh dengannya ketika ia berusia 9 (SEMBILAN) tahun. Sementara itu, Nabi Muhammad saat itu berusia sekitar 50-an tahun. Informasi pernikahan Muhammad dengan Aisyah ini ada dalam Hadis Sahih Bukhari dan Muslim. Selain Aisyah, Muhammad juga menikah dengan Safiyyah binti Huyayy, yang saat itu berusia 17 tahun, sedangkan Muhammad diperkirakan berusia 59 tahun. (Lebih jauh mengenai istri-istri Muhammad, silahkan baca "Mengenal Istri-istri Muhammad").
Tentulah ketentuan undang-undang perkawinan yang terbaru, terkait dengan batasan usia, akan menghalangi umat islam untuk mengikuti teladan nabi. Karena dengan ketentuan usia 19 tahun, umat islam bisa dipastikan tidak dapat meneladani Nabi Muhammad yang menikah dengan gadis usia di bawah ketentuan undang-undang. Padahal Allah telah memerintahkan umat-Nya untuk taat kepada Nabi Muhammad. Hal ini kurang lebih sama seperti kasus poligami. Tentu ada pria islam ingin mengikuti teladan Sang Nabi dengan mempunyai istri lebih dari 4 orang. Akan tetapi, keinginan ini sudah dibatasi oleh Allah sendiri lewat surah an-Nisa: 3, dimana seorang muslim hanya bisa memiliki istri hingga 4 orang saja.
Karena itu, pasal yang mengatur usia perkawinan dalam undang-undang perkawinan terbaru dinilai telah mencederai umat islam. Ia telah memaksa umat islam untuk melawan ajaran agamanya sendiri yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis. Batasan usia menikah dalam undang-undang perkawinan membuat umat islam tidak dapat mengikuti teladan agung Nabi Muhammad. Dapatlah dikatakan bahwa secara implisit aturan tersebut hendak mengatakan bahwa apa yang dilakukan Muhammad terhadap Aisyah binti Abu Bakar dan Safiyyah binti Huyayy adalah contoh buruk yang tak boleh diikuti.
DEMIKIAN tinjauan batasan usia menikah dalam undang-undang perkawinan yang terbaru menurut agama islam dan katolik. Dapat dikatakan bahwa batasan usia dalam undang-undang perkawinan memang bertentangan dengan aturan Gereja Katolik. Akan tetapi, Gereja Katolik justru menghimbau umatnya untuk menghindari perkawinan usia dini. Dengan kata lain, himbauan Gereja Katolik ini sejalan dengan tujuan dasar dari pembatasan usia menikah tersebut. Sementara umat islam melihat pembatasan usia menikah dilihat sebagai upaya menghalangi umat islam untuk mengikuti teladan Nabi Muhammad. Dengan peraturan itu, umat islam tidak dapat mengikuti teladan Muhammad, karena bisa saja ada umat islam yang ingin menikah dengan anak usia 14 atau di bawah itu, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad.
Bagaimana petinggi negeri ini menyikapi hak ini? Semuanya berpulang kepada pribadi masing-masing. Pemangku negeri ini tentu tidak bisa menghasilkan produk hukum yang dapat memenuhi keinginan semua warga negaranya yang beraneka ragam.
Dabo Singkep, 17 Oktober 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar