Salah
satu alasan penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(RKUHP) adalah intervensi negara dalam kehidupan rumah tangga. Salah satu pasal
yang ditolak adalah soal kekerasan dalam rumah tangga, terlebih soal
pemerkosaan suami terhadap istri. Dalam RKUHP, kekerasan dalam rumah tangga
diatur dalam pasal 595 – 599.
Perlu
diketahui bahwa pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan.
Artinya, tindak kekerasan tersebut baru akan diproses bila ada laporan atau
pengaduan dari korban. Jadi, selama tidak ada laporan, maka hukum tidak dapat
menjangkaunya. RKUHP memberikan tiga kategori kekerasan dalam rumah tangga.
Yaitu:
1. Kekerasan
fisik (pasal 595)
2. Kekerasan
psikis (pasal 596)
3. Kekerasan
seksual (pasal 597 – 599)
Sekalipun
tujuan pengaturan pidana ini baik dan benar, namun bukan lantas berarti
pelaksanakaannya akan berjalan dengan mulus tanpa kendala. Penerapan pasal ini
akan dapat bermasalah dengan umat beragama islam. Penegak hukum akan menghadapi
dilema menegakkan hukum dengan konsekuensi mengkriminalisasi agama atau
membiarkan dengan konsekuensi akan ada korban jiwa.
Seperti
apa persoalan pasal kekerasan dalam keluarga ini bermasalah dalam ajaran islam?
Mari kita lihat satu per satu.
Kekerasan Fisik
Masalah
kekerasan fisik dalam RKUHP diatur dalam pasal 595. Di sana ada 5 ayat. Dalam 5
ayat itu tidak ada penjelasan tentang apa dan seperti apa kekerasan fisik itu.
Kelima ayat itu lebih mengatur hukuman dan denda dengan gradasi tingkat
kekerasan fisik, yang dilihat dari akibat yang ditimbulkannya. Mungkin pembuat
undang-undang mengandaikan bahwa masyarakat sudah dapat memahami apa itu
kekerasan fisik.
Secara
umum kekerasan fisik dimengerti sebagai kekerasan yang melibatkan kontak langsung
dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, atau penderitaan
fisik lain atau kerusakan tubuh. Kekerasan fisik dapat terwujud dalam tindakan
memukul, baik dengan anggota tubuh sendiri atau pun dengan benda lain, menampar
dan juga menendang. Orang yang mengalami kekerasan fisik biasanya mengalami
memar, lebam, luka, cacat fisik atau juga trauma.
Bagaimana
kekerasan fisik suami istri dalam ajaran islam? Dalam agama islam, seorang
suami boleh memukul istrinya. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an,
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (QS
an-Nisa: 34). Bagi umat islam Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah SWT (QS
as-Sajdah: 2 dan QS Sad: 1 – 2, 41), sehingga umat islam harus mengikuti apa
yang tertulis di dalamnya (QS al-Qiyamah: 18).
Apa
yang telah diwahyukan Allah tersebut sepertinya sudah dipraktekkan Nabi
Muhammad. Sebagai seorang suami, Muhammad pernah memukul istrinya, yaitu
Aisyah. Dalam salah satu hadis terpercaya, Aisyah menceritakan peristiwa itu;
“Dia memukul dadaku sampai terasa sakit.” Jadi, masalah kekerasan fisik dalam
islam dibolehkan. Dasarnya langsung dari Al-Qur’an dan Hadis. Jika Al-Qur’an
merupakan wahyu Allah, maka hadis merupakan perkataan dan perbuatan Nabi
Muhammad yang harus diteladani. Setiap umat islam wajib taat kepada Allah dan
Muhammad. Hal ini sudah diperintahkan Allah. “Taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS an-Anfal: 1)
Memang
harus dikatakan bahwa tidak berarti suami dapat memukul istri seenaknya saja.
Memukul istri merupakan hal yang dihalalkan dalam islam apabila termasuk dalam
empat kasus berikut ini:
a. Jika
istri tidak mau berdandan atau berias diri padahal suaminya menghendaki begitu.
Menjadi persoalan, apakah riasan itu harus sesuai selera suami? Bisa saja istri
sudah berias tapi tidak sesuai keinginan suami. Karena itu, suami dapat memukul
istrinya.
b. Jika
istri tidak mau berhubungan seks dengan suami tanpa alasan yang diakui islam.
Tidak dijelaskan kriteria “alasan yang diakui islam”. Tentu saja hal ini
memunculkan tafsiran luas. Dan hal ini berdampak juga pada kekerasan seksual.
c. Jika
istri disuruh membersihkan diri untuk shalat dan dia tidak mau.
d. Jika
istri pergi keluar rumah tanpa izin suami. Satu persoalan kecil, bagaimana jika
suami tak ada di rumah dan sulit dihubungi, sementara istri hendak ke pasar?
Melihat
dasar-dasar ajaran islam tentang kekerasan fisik, tentulah penerapan pasal 595
ini akan menemui kendalanya bila berhadapan dengan umat islam. Bagaimana
mungkin aparat hukum menindak warga yang melakukan kekerasan fisik sementara
dia melihat dirinya melaksanakan ajaran agamanya? Setiap umat beragama
terpanggil untuk menjalankan ajaran agamanya. Dasar ajaran agama islam ada
dalam Al-Qur’an dan Hadis; dan di sana suami boleh memukul istrinya.
Karena
itu, tindakan mempidanakan suami yang melakukan kekerasan fisik terhadap
istrinya dapat dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama. Dalam titik
tertentu, ini merupakan bentuk penghinaan agama.
Kekerasan Psikis
Masalah
kekerasan psikis dalam RKUHP diatur dalam pasal 596. Di sana ada 3 ayat. Sama
seperti kekerasan fisik, dari 3 ayat itu tidak ada penjelasan tentang apa dan
seperti apa kekerasan psikis itu. Ketiga ayat itu lebih mengatur hukuman dan
denda dengan gradasi tingkat kekerasan psikis, yang dilihat dari akibat yang
ditimbulkannya. Mungkin pembuat undang-undang mengandaikan masyarakat sudah
dapat memahami apa itu kekerasan psikis.
Dalam
pasal 7 Undang-undang no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, kekerasan psikis dipahami sebagai perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Tindakan
kekerasan psikis dapat terwujud dalam perbuatan menghina, merendahkan,
mencaci-maki, pelabelan negatif, membatasi atau mengontrol istri agar memenuhi
tuntutan suami. Kekerasan psikis biasanya menimbulkan efek buruk seperti
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, merasa diri hina, hilangnya kemampuan
untuk bertindak dan rasa tak berdaya.
Apakah
kekerasan psikis tidak menemui kendala dengan ajaran islam? Memang tidak ada
ajaran islam yang secara eksplisit menyingung masalah kekerasan psikis. Namun
dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan pasal kekerasan psikis
juga akan menemui kendala. Dari 4 kasus dimana suami boleh memukul istrinya,
kasus pertama dan keempat dapat berdampak pada kekerasan psikis. Ada kuasa
untuk membatasi dan mengontrol istri oleh suami. Suami memaksa istrinya untuk
berias sesuai seleranya, memaksa agar tidak keluar rumah tanpa izinnya atau
wajib mengenakan pakaian muslimah.
Jadi,
dengan mengontrol istri tidak bisa keluar rumah tanpa izin suami dan dengan
memaksa istri berias sesuai selera suami, seorang suami telah melaksanakan
ajaran agamanya. Akankah perbuatannya ini dipidana dengan pasal kekerasan
psikis? Mempidana suami yang melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya dapat
dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama. Dalam titik tertentu, ini merupakan
bentuk penistaan agama.
Soal
menghina atau merendahkan, banyak tulisan tentang islam menyebut posisi wanita
dalam islam memang rendah. Ada hadis yang menyatakan wanita itu bodoh dalam
berpikir dan beragama. Ada juga yang mengatakan bahwa kebanyakan wanita adalah
penghuni neraka. Ada pula hadis mengatakan bahwa orang yang memilih wanita
sebagai pemimpin tidak akan makmur. Karena itu, dengan mengatakan istrinya
bodoh, atau “kau memang pantas menghuni neraka jahanam,” seorang suami sudah mengikuti
ajaran islam. Akankah perbuatannya ini dipidana dengan pasal kekerasan psikis?
Mempidana suami yang melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya dapat dilihat
sebagai bentuk kriminalisasi agama. Dalam titik tertentu, ini merupakan bentuk penistaan
agama.
Kekerasan Seksual
Masalah
kekerasan seksual dalam RKUHP diatur dalam 3 pasal, yaitu pasal 597 – 599. Dari
3 pasal itu tidak ada penjelasan tentang kekerasan seksual itu. Sama seperti
dua kekerasan sebelumnya, ketiga pasal itu lebih mengatur hukuman dan denda
dengan gradasi tingkat kekerasan fisik, yang dilihat dari akibat yang
ditimbulkannya serta tujuan dari kekerasan seksual. Mungkin pembuat
undang-undang mengandaikan masyarakat sudah dapat memahami apa itu kekerasan
fisik.
Secara
sederhana kekerasan seksual dimengerti sebagai tindakan yang mengarah pada
ajakan seksual tanpa persetujuan. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
(PKS), kekerasan seksual masuk kategori perkosaan. Dalam pasal 16 disebut bahwa
perkosaan adalah “kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan,
ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang
tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.”
Sama
seperti kekerasan fisik dan psikis, penerapan pidana kekerasan seksual juga
akan menemui masalah bagi umat islam. Tidak seperti kekerasan psikis, yang tak
mempunyai dasar eksplisit ajaran islam, problem kekerasan seksual mendapatkan
pendasarannya dalam Al-Qur’an dan Hadis. Jika Al-Qur’an diidentikkan dengan
Allah SWT, maka Hadis diidentikkan dengan Nabi Muhammad. Seperti yang sudah
dikatakan di atas, umat islam wajib taat kepada Allah dan Nabi Muhammad (QS
an-Anfal: 1).
Allah
telah berfirman, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu
itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai.” (QS al-Baqarah: 223). Ayat
suci ini sering ditafsirkan dalam konteks hubungan seksual bagi suami istri.
Artinya, seorang suami punya hak penuh atas tubuh istrinya, sehingga kapan saja
dia mau bersenggama istri wajib melayaninya. Jadi, hubungan seksual tidak perlu
membutuhkan persetujuan istri atau memperhatikan kondisi dan situasi batin
istri. Soal hubungan seksual suami istri dalam islam tidak ada istilah bagi
istri mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Istri wajib melayani shyawat
suami. Menolak keinginan suami untuk bersenggama membuat istri bisa dipukul
(bandingkan dengan uraian kekerasan fisik di atas) dan juga dikutuk para
malaikat. Hadis Sahih Bukhari dan Muslim menulis perkataan Nabi Muhammad, “Jika
seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak
mematuhinya, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi.”
Jadi,
dalam islam, jika suami “memperkosa” istrinya atau melakukan kekerasan seksual
terhadap istrinya, dia melaksanakan apa yang difirmankan Allah SWT dan yang
disabdakan Nabi Muhammad SAW. Akankah perbuatannya ini dipidana dengan pasal
kekerasan seksual? Mempidana suami yang melakukan kekerasan seksual terhadap istrinya
dapat dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama. Dalam titik tertentu, ini
merupakan bentuk pelecehan agama islam.
Beberapa Persoalan
Dalam
uraian tentang tiga kekerasan dalam rumah tangga di atas, sudah terlihat
persoalan hukumnya. Memang secara hukum, jika diadukan, maka pelaku tindak
kekerasan (entah itu fisik, psikis maupun seksual) itu salah dan harus dihukum.
Akan tetapi, secara agama, khususnya agama islam, pelaku tindak kekerasan
(terlebih suami) dilihat sebagai pelaksanaan ajaran agama, atau aqidah islam.
Bagaimana mungkin orang yang menjalankan aqidah agamanya dipidana dengan hukum
sipil? Bisa saja hal ini dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama islam dan
juga penistaan agama.
Selain
itu, persoalan lain adalah dampak lanjut dari proses hukum dari ketiga jenis
kekerasan itu. Karena jika suami menghadapi proses hukum dan divonis bersalah,
maka akibat dari putusan pengadilan tidak hanya menimpa suami tetapi juga istri
dan anak. Siapa yang akan mencari biaya hidup istri dan anak jika suami di
penjara? Seandainya pun menggunakan sanksi denda, tentu hal ini justru akan
memberatkan ekonomi keluarga tersebut.
Karena
itu, persoalan-persoalan hukum dari kasus kekerasan dalam rumah tangga harus
perlu disikapi dengan bijak.
Dabo
Singkep, 20 Oktober 2019
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar