DENGAN
pelantikan presiden dan wakil presiden di genung DPR, Minggu, 20 Oktober 2019,
Presiden Joko Widodo resmi mengakhiri masa kepemimpinannya di tahun 2014 –
2019. Kini Presiden Jokowi kembali akan memimpin Indonesia untuk periode kedua
(2019 – 2024) bersama KH Maruf Amin. Sebelum melangkah di periode kedua, adalah
bijak jika Presiden Jokowi berkaca pada perjalanan kepemimpinannya di periode
pertama.
Harus
disadari bahwa keberhasilan Jokowi kembali menjadi Presiden Republik Indonesia
tak bisa dilepaskan dari masa kepemimpinannya di periode sebelumnya. Tentulah
ada keberhasilan atau catatan positif pada periode pertama, yang membuat
masyarakat kembali memilih Jokowi. Keberhasilan itu lebih pada pembangunan
infrastruktur serta berbagai sistem ekonomi lainnya.
Akan
tetapi, harus diakui bahwa tidak semua aspek pemerintahan Jokowi mengalami
keberhasilan. Ada beberapa aspek justru mengalami kekurangan atau stagnan.
Salah satunya ada pada bidang hukum.
Dapat
dikatakan bahwa bidang hukum selama masa kepemimpinan Jokowi di tahun 2014 –
2019 kurang bersinar. Sekalipun negara Indonesia merupakan negara hukum, namun
hukum itu terlihat lemah. Dalam banyak kasus, kesamaan di muka hukum sama
sekali kurang terlihat. Sangat jelas kalau hukum itu tumpul ke atas, tapi tajam
ke bawah. Semua hal tersebut membuat hukum tidak dapat menghasilkan keadilan,
yang menjadi prinsip dasarnya.
Selama
periode pertama pemerintahan Jokowi, hukum tidak tampil sebagai panglima. Hukum
yang ada tidak dilaksanakan secara tegas. Malah terkesan lemah. Pada tahun 2014
– 2019, yang menjadi panglima di negara hukum ini bukanlah hukum, melainkan
politik. Ada banyak kasus hukum bisa dijadikan alat politik sehingga hukum sama
sekali tidak berjalan.
Beberapa contohnya adalah kasus FPI dan juga Habib Rizieq. Mencermati dua kasus ini, ada kesan tawar menawar dengan elite-elite politik. Bisa dikatakan bahwa dua kasus tersebut dijadikan alat politik. Dua kasus itu tidak dapat diselesaikan dengan tegas secara hukum. Demikian pula kasus kerusuhan Mei 2019 dengan berbagai efek dominonya. Hingga saat ini beberapa kasus di pusaran kerusuhan Mei 2019 terkesan mangkrak atau di-peties-kan. Semua itu lebih pada pertimbangan politik.
Karena itu, banyak pengamat menilai bahwa jika hukum tidak ditegakkan dalam kasus tersebut, maka peristiwa itu bisa terjadi lagi. Dan hal ini terbukti pada kerusuhan September 2019. Ketika menangani kerusuhan September 2019, Kapolri menyebut bahwa ada kesamaan pola kerusuhan antara September 2019 dengan Mei 2019. Pernyataan Kapolri ini seakan menegaskan apa yang sudah dikatakan pengamat politik di bulan Mei lalu. Hal ini dapat menjadi cacatan kecil Jokowi di periode kedua. Jika dalam masa kepemimpinannya yang kedua ini politik masih menjadi panglima, maka ke depan negara ini tidak akan bisa lepas dari permasalahan dari generasi ke generasi. Masalah yang sama akan terulang kembali.
Jokowi harus bisa mencontoh negara tetangga, Malaysia, misalnya. Di sana hukum benar-benar ditegakkan. Karena hukum menjadi panglima, maka mantan Perdana Menterinya harus berhadapan dengan hukum. Rakyat Indonesia mengharapkan demikian. Jika hukum benar-benar menjadi panglima di negara hukum ini, pastilah akan ada mantan presiden yang duduk di kursi pesakitan karena kasus korupsi.
Semoga Presiden Jokowi ke depan dapat memperbaiki aspek hukum di negara ini. Jokowi tak bisa terus menerus bersembunyi di balik alasan “Tidak boleh intervensi” proses hukum. Lewat kuasa dan kewenangan yang dimilikinya, Presiden dapat menegakkan hukum. Mengalahkan hukum demi kepentingan politik, seperti yang sudah terjadi selama ini, sudah membuktikan kalau Presiden telah menggunakan wewenangnya, namun pada tempat yang salah. Selain itu, terbukti juga adanya intervensi pemerintah, yang selama ini menjadi “tameng Jokowi. Hukum kalah oleh politik.
Inilah cacatan kecil yang harus diperhatikan Presiden Jokowi di periode kedua kepemimpinannya. Semoga berhasil!!!
Dabo Singkep, 19 Oktober 2019
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar