Jumat, 23 Februari 2018

AL-QUR’AN: DARI ALLAH UNTUK SIAPA?

Setiap pemeluk agama, bahkan aliran kepercayaan, pasti mempunyai kitab suci, yang dipakai sebagai pedoman bagi para pemeluknya. Misalnya, umat kristiani memiliki Alkitab, umat Budha punya kitab Tripitaka, orang Hindu punya Weda, Upanishad dan Tantra, agama Konghucu memiliki Kitab Zhong Yong. Sumber utama kitab suci bisa dari mana saja. Untuk umat pemeluk agama Samawi (Yahudi, kristen dan islam) sumber utama kitab sucinya adalah Allah. Ketiga agama ini yakin bahwa kitab suci merupakan wahyu Allah.
Umat islam pastilah sepakat kalau dikatakan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah. Tak diragukan lagi. Dalam arti lain, Al-Qur’an itu berasal dari Allah. Kepastian ini didasarkan pada firman Allah sendiri dalam surah As-Sajdah: 2 dan Az-Zumar: 1 – 2, 41. Al-Qur’an, sebagai sabda Allah, itu diturunkan kepada nabi Muhammad. Kata-kata “kepada nabi Muhammad” mau menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak pernah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Artinya, Al-Qur’an baru turun pada masa Muhammad (570 – 632 M).
Kita sudah mendapat satu kepastian bahwa Al-Qur’an itu berasal dari Allah. Al-Qur’an, sebagai kitab, diyakini berisi kata-kata Allah. Akan tetapi, menjadi pertanyaannya adalah kata-kata Allah itu sebenarnya ditujukan kepada siapa? Apakah kata-kata Allah itu diperuntukkan hanya kepada manusia?
Pada umumnya kitab suci umat beragama diperuntukkan kepada umatnya, malah bisa diberlakukan juga untuk umat lainnya. Misalnya, Alkitab ditujukan kepada umat manusia, secara khusus umat kristiani. Demikian pula dengan kitab weda, tripitaka, dll. Kitab suci tersebut bisa dijadikan pedoman bagi umat manusia dalam menyikapi hidup. Apakah demikian juga dengan Al-Qur’an?
Sekilas, Al-Qur’an tak jauh beda dengan kitab suci agama-agama lain. Dia juga ditujukan langsung kepada umat islam sebagai pedoman hidup; dan hanya umat islam. Karena itu, dalam surah Al-Qiyamah: 18 ditegaskan bahwa umat islam harus ikut apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, harus ikut apa yang tertulis dalam Al-Qur’an tidak lantas hanya berarti Al-Qur’an itu secara langsung ditujukan kepada umat islam.
Ada banyak juga teks Al-Qur’an, yang ternyata ditujukan langsung untuk Nabi Muhammad, namun harus diikuti oleh umat islam. Dalam beberapa kasus yang menimpa Muhammad, sehingga Muhammad membutuhkan pembelaan dari Allah, maka turunlah firman Allah. Jadi, firman Allah itu ditujukan secara langsung kepada Muhammad agar bisa keluar dari masalahnya, karena umat harus mengikutinya. Sebagai contoh, untuk meredam skandal pernikahan Muhammad dengan Zainab, yang adalah menantunya sendiri, Allah menurunkan firman untuk membela perkawinan tersebut (QS Al-Ahzab: 36 – 40). Jadi, hanya gara-gara nabi Muhammad jatuh cinta (atau bernafsu) dengan menantunya, Allah menurunkan firman supaya sang nabi boleh menikahi menantunya; dan umat menerima saja dan mengikutinya.
Contoh lain adalah firman Allah dalam surah At-Tahrim: 1 – 3. Latar belakang surah ini adalah skandal seks (perselingkuhan) Muhammad dengan seorang budak wanita bernama Mariyah Kuptiah di rumah istri Muhammad bernama Hafsa. Skandal tersebut diketahui oleh Hafsa. Karena takut istri-istri yang lain marah, terutama Aisyah, Muhammad bersumpah untuk tidak menyentuh Mariyah dan tidak akan bersetubuh dengan istri-istri lain selama sebulan, asalkan Hafsa tidak melaporkan peristiwa itu. Akan tetapi, Hafsa meneritakan hal itu kepada Aisyah, sehingga membuat Muhammad marah dan menyatakan firman Allah ini untuk membatalkan sumpahnya.
Atau kasus perselingkuhan Aisyah dengan Safwan bin Al-Muattal As-Sulami. Kasus ini benar-benar membawa dilema bagi Muhammad. Dibutuhkan waktu sekitar 1 bulan untuk menyelesaikan persoalan ini dengan turun wahyu Allah dalam surah An-Nur: 4. untuk membebaskan Muhammad dari situasi pelik. Dari tiga kasus ini, terlihat jelas bahwa firman Allah ditujukan langsung kepada Muhammad, tapi harus diikuti oleh umat. Karena umat harus mengikuti, maka Muhammad lepas dari persoalan.
Menjadi persoalan, bisakah ayat-ayat Al-Qur’an yang ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad diterapkan juga kepada umat islam lainnya? Misalnya, jika saat ini ada umat islam menikahi menantunya, apakah dia bisa menggunakan wahyu Allah yang turun untuk membela Muhammad yang menikahi menantunya? Bisakah wahyu Allah yang turun mengatasi masalah perselingkuhan Muhammad dipakai para muslim dewasa ini ketika menghadapi kasus serupa dengan sang nabi? Bisakah para muslim menggunakan wahyu Allah yang turun untuk mengatasi kasus perselingkuhan Aisyah dipakai ketika istri mereka selingkuh? Bisakah wahyu Allah yang membolehkan Muhammad beristri lebih dari 4 orang dijadikan dasar bagi umat islam untuk juga memiliki istri lebih dari 4? Maklum, umat islam juga terpanggil untuk mengikuti teladan sang nabi.
Sampai di sini, bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an, sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad, ditujukan secara langsung kepada umat islam dan nabi Muhammad. Yang langsung ditujukan kepada Muhammad, berarti secara tidak langsung ditujukan juga kepada umat islam. Peruntukkan kepada umat islam, sekalipun sebenarnya langsung ditujukan kepada Nabi Muhammad, bertujuan agar umat bisa memahami situasi sang nabi. Dengan demikian sang nabi bisa keluar dari persoalan yang menjeratnya. Akan tetapi, benarkah Al-Qur’an hanya ditujukan kepada dua pihak tadi (umat islam dan Nabi Muhammad)?
Jika kita membaca teks-teks Al-Qur’an, dapatlah dikatakan bahwa selain untuk umat islam dan nabi Muhammad, Al-Qur’an ini ditujukan khusus untuk Allah. Dari Allah untuk Allah. Dan firman-firman ini sepertinya hanya dikhususkan untuk Allah saja, karena tak ada satu manusia pun tahu maksud Allah, sekalipun dalam surah Al-Qamar: 17 dikatakan bahwa Al-Qur’an mudah dipahami. Mungkin yang ditujukan kepada umat islam saja yang mudah dipahami, sedangkan yang ditujukan kepada Allah sama sekali tidak dipahami.
Berikut ini beberapa teks firman Tuhan yang ada dalam Al-Qur’an, yang sama sekali tidak dipahami.
1.    Alif Lam Mim, yang ada dalam surah-surah seperti Al-Baqarah, Ali Imran, Al-‘Ankabut, dan Ar-Rum, Luqman, dan surah As-Sajdah.
2.    Alif Lam Mim Sad, yang dapat dibaca dalam surah Al-Araf
3.    Alif Lam Ra, yang ada dalam surah-surah seperti Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan surah Al-Hijr
4.    Alif Lam Mim Ra, yang bisa ditemui dalam surah Ar-Rad
5.    Kaf Ha Ya ‘Ain Sad, yang ada dalam surah Maryam
6.    Ta Sin Mim, yang bisa dibaca dalam dua surah, yaitu surah Asy-Syu’ara dan Al-Qasas
7.    Ta Sin, terdapat dalam surah An-Naml
8.    Ha Mim, ada dalam surah-surah seperti Al-Mu’min, Fussilat, Asy-Syura, Az-Zukhruf, Ad-Dukhan, Al-Jasiyah, dan surah Al-Ahqaf
9.    Ain Sin Qaf, yang ada dalam surah Asy-Syura.
Demikianlah 9 “kalimat” dari Allah yang tersebar dalam Al-Qur’an. Kecuali “kalimat” Ain Sin Qaf, yang terdapat dalam surah Asy-Syura ayat 2, “kalimat” yang lain semuanya merupakan ayat pertama dari surah bersangkutan. Masih ada beberapa kata (bukan kalimat, tetapi satu kata, seperti Taha, Sad, Qaf, dll), yang juga tersebar di surah lain, yang tidak termasuk dalam surah-surah di atas.
Kalimat-kalimat atau kata-kata tersebut sama sekali tidak bisa diterjemahkan. Dalam Al-Qur’an terbitan Departemen Agama RI (Revisi Tahun 2006), untuk kalimat Alif Lam Mim, dalam surah Al-Baqarah, diberi catatan kaki sebagai berikut: “Beberapa surah dalam Al-Qur’an dibuka dengan huruf abjad seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, dan sebagainya. Makna huruf-huruf itu hanya Allah yang tahu.....” (huruf tebal dari kami). Jadi, jelas ayat-ayat itu hanya dikhususkan buat Allah. Manusia sama sekali tidak bisa memahaminya, sekalipun dalam QS Al-Qamar dikatakan bahwa Al-Qur’an itu mudah dipahami. Selain itu, manusia sama sekali tidak bisa mengikutinya, sekalipun dalam QS Al-Qiyamah: 18 dikatakan umat islam harus mengikuti apa yang sudah dibacakan. Menjadi persoalan, umat sama sekali tidak mengerti, bagaimana mau mengikuti. Apa yang harus diikuti?
Dari uraian ini dapatlah disimpulkan bahwa Al-Qur’an, sebagai firman Allah, diturunkan melalui nabi Muhammad. Firman Allah itu ditujukan secara langsung kepada umat islam, nabi Muhammad dan Allah sendiri. Jadi, Al-Qur’an tidak sepenuhnya untuk pedoman umat islam, melainkan juga pedoman untuk Allah sendiri. Dengan kata lain, dari Allah untuk Allah. Jika untuk Allah, kenapa harus diturunkan kepada umat-Nya dalam bentuk kitab? Kenapa Allah masih membutuhkan pedoman? Sekali lagi, hanya Allah yang tahu.
Puri Sadhana, 12 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar