Banyak
orangtua mengeluh soal anak yang tidak patuh, bahkan melawan. Masalahnya,
keluhan itu jarang menyentuh pada detail substansi masalah. Para orangtua umumnya
hanya melihat masalahnya dari satu sisi, yaitu anak tidak patuh. Kenapa anak
tidak patuh dan dalam hal apa anak tidak patuh, adalah bagian yang sangat
jarang dieksplorasi. Selain itu juga, banyak orangtua tidak mau koreksi atau refleksi diri.
Anak-anak
yang patuh adalah harapan orangtua. Sebab utamanya adalah hal itu membuat
nyaman. Orangtua cukup mengatakan satu hal sekali, anak menurut. Tidak diperlukan
banyak energi untuk melaksanakan sesuatu. Tapi ingat, ada sisi lain. Anak adalah
suatu individu juga, yang secara alami memiliki kehendak dan inisiatif sendiri.
Bila anak hanya patuh saja, boleh jadi ia akan tumbuh jadi anak yang tak punya
inisiatif dan kemauan.
Peran
orangtua dalam pendidikan anak persis sama seperti saat ia mengajari anaknya
naik sepeda. Di saat awal, orangtua harus memegangi sepeda anak agar ia tak
jatuh. Tapi pada saat yang sama orangtua harus mendorong inisiatif dan
keberanian anak. Bahkan anak harus didorong untuk mengambil resiko, mencoba
sendiri meski akibatnya ia jatuh dan terluka. Yang terpenting adalah pada
akhirnya anak harus dilepas untuk mengayuh sepedanya sendiri, menentukan arah
jalannya.
Banyak
orangtua yang gagal memahami soal yang paling fundamental dalam pendidikan anak
itu. Mereka bersikap seperti komandan yang ingin semua perintahnya dipatuhi. Bahkan
saat anak memilih jodoh, sebuah pilihan yang seharusnya dilakukan oleh orang
dewasa, orangtua masih ingin bertengger di pundak anaknya, memegang kendali. Orangtua
seperti inilah yang banyak mengeluh soal anaknya yang tidak patuh.
Tak selamanya
orangtua harus dipatuhi. Yang patut dipatuhi adalah nilai-nilai yang mengatur
tata cara hidup. Nilai itu berupa nilai agama, aturan hukum, tata krama sosial
dan nalar. Bahkan orangtua terikat dan wajib juga mematuhi nilai-nilai itu. Mendidik
anak pada dasarnya adalah mengajak anak untuk patuh pada nilai itu. Ketika anak
patuh pada orangtua, pada dasarnya itu adalah bagian dari kepatuhan pada
nilai-nilai tadi.
Konsekuensi
dari prinsip ini adalah fondasi dari hubungan antara orangtua dan anak adalah
nilai. Bila orangtua menyuruh anak dalam koridor yang dibenarkan oleh nilai,
maka anak wajib patuh. Bila tidak, maka tidak perlu patuh. Orangtua yang
memaksakan kepatuhan tidak berbasis nilai adalah orangtua yang zalim atau otoriter.
Orangtua
sering mengeluh anaknya suka menjawab. Lagi-lagi keluhannya tidak menyentuh substansi.
Anak yang menjawab atau ngeyel tidak
otomatis buruk. Kemampuan untuk menjawab atau berargumen adalah kemampuan yang
sangat penting bagi seorang manusia dewasa. Anak justru harus dilatih untuk
punya kemampuan itu. Jadi, jangan bungkam anak yang suka menjawab.
Coba
telusuri, apa duduk masalahnya. Kenapa anak menjawab? Apa isi jawabannya? Biarkan
anak mengeluarkan pendapatnya. Latih dia untuk menjabarkan pendapatnya dengan
cara yang mudah dipahami orang. Latih dia untuk berargumen dengan benar. Luruskan
bila argumentasinya salah.
Akan
tetapi semua itu punya konsekuensi bahwa orangtua harus adil. Orangtua bukan
penguasa di hadapan anak. Orangtua dan anak adalah dua pihak yang tunduk pada
nilai. Kalau anak benar berdasarkan nilai, maka orangtua harus mengakuinya; dan kalau orangtua salah berdasarkan nilai, maka orangtua harus berani minta maaf. Masalahnya,
orangtua sering berdiri di depan anak dengan ego tinggi. Jawaban anak sering
diterima sebagai serangan terhadap ego orangtua. Dalam hal ini orangtua berdiri
pada posisi kanak-kanak, bukan orang dewasa yang mendidik.
Tentu
saja ada banyak kasus dimana anak melawan karena enggan diarahkan. Anak punya
kehendak dan tidak semua kehendak itu harus dituruti. Maka sekali lagi,
penting bagi orangtua untuk menetapkan sejumlah aturan berbasis nilai. Sejak kecil
anak harus dibiasakan berkehendak dalam koridor aturan tersebut. Yang di luar
itu harus dikoreksi. Maka ketika anak melawan dalam konteks di luar koridor
tadi, anak harus diluruskan.
Yang
tak kalah penting adalah kendali emosi. Orangtua cenderung menjadi emosional
secara tak terkendali saat anak melawan. Alih-alih melaksanakan tugas sebagai
pengarah sehingga anak bisa berargumen, orangtua sering terjebak menjadi lawan
anak bertengkar. Hasilnya adalah konflik yang melukai kedua pihak. Untuk menghindarinya,
orangtua mutlak harus mengendalikan emosinya.
sumber:
KOMPAS Edukasi
Baca juga tulisan
lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar