Pada
1 – 5 November 2000, bertempat di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, Gereja
Katolik Indonesia menyelenggarakan sidang agung dengan tema “Memberdayakan
Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru”. Sejak itu, Komunitas Basis Gerejawi
(KBG) menjadi salah satu cara hidup dan model menggereja. Semangat KBG ini
ternyata tidak hanya populer dalam Gereja Katolik saja, melainkan juga Gereja
Protestan. Ini terlihat dalam tulisan Rionaldo Sianturi, “Pengembangan Jemaat Melalui Komunitas Basis”.
Salah
satu keuskupan di Indonesia, dalam sinode keuskupannya, memutuskan bahwa
Komunitas Basis Gerejawi menjadi satu-satunya misi untuk mewujudkan visi
keuskupan, yaitu Menjadi Gereja Partisipasi. Komunitas Basis Gerejawi (KBG) merupakan
cara hidup menggereja, yang mengacu pada jemaat perdana (Kis 2: 41 – 47). Oleh
sinode, KBG dijadikan locus dan mode
pastoral di keuskupan tersebut.
Akan
tetapi, hingga kini konsep KBG selalu berbeda dari satu Gereja ke Gereja yang
lain, dari satu keuskupan ke keuskupan lain. Bahkan dalam satu keuskupan pun
terjadi perbedaan dalam aplikasi atau penerapan KBG-nya. Perbedaan-perbedaan
ini bukannya menjadi kekayaan, melainkan justru menjadi konflik. Menjadi
pertanyaan, apakah KBG itu karya Allah atau iblis.
Perbedaan
adalah sebuah keniscayaan. Perbedaan sendiri bukanlah sesuatu yang buruk,
melainkan sesuatu yang netral. Baik dan buruknya perbedaan tergantung pada
nilai yang terkandung di dalamnya. Perbedaan menjadi baik jika itu melahirkan
kekayaan, sedangkan buruk jika ia melahirkan konflik. Jika perbedaan itu
menjadi kekayaan, maka di sana ada kasih, karena kasih itu menghargai dan
menghormati perbedaan. Konflik dalam perbedaan menunjukkan tidak adanya kasih,
karena yang ada adalah kepentingan dan kesombongan (bdk. 1Kor 13: 4 – 5).
Dan
itulah yang terjadi. Ada sekelompok orang merasa hanya KBG-nya yang paling
benar dan paling baik serta sesuai pedoman keuskupan. Kelompok ini malah
menyerang kelompok lain. Malah, segelintir umat menyerang imam yang KBG-nya tidak
sepaham dengan mereka.
Terlihat
jelas ada kesombongan di sana. Mereka menganggap diri lebih unggul daripada
orang lain, sehingga menghina atau memandang rendah orang lain. Hal ini mirip
seperti sikap orang Farisi dalam perumpamaan Yesus tentang orang Farisi dan
pemungut cukai (Lukas 18: 10 – 14). Santo Gregorius Agung mengkategorikan
kesombongan menjadi 4 jenis, yaitu:
1. Merasa
bahwa kebaikannya berasal dari dirinya sendiri
2. Merasa
bahwa kebaikannya berasal dari Tuhan dan karena jasanya
3. Membanggakan
sesuatu yang tidak dimilikinya
4. Memandang
rendah orang lain dan merasa sebagai satu-satunya pemilik dari apa yang
dimilikinya
Dalam
KGK no. 1866, kesombongan merupakan salah satu dari 7 dosa pokok. Kitab Suci
menyebutkan bahwa dosa manusia pertama adalah dosa kesombongan (bdk. Sir 10: 13
– 15, Rom 5: 12 – 19, Tob 4: 14). Manusia pertama ingin lebih hebat daripada
Allah, sehingga ia akhirnya melanggar perintah Allah dengan memetik buah
terlarang (Kej 3: 1 – 7).
Dosa
adalah karya iblis/setan. Iblis tidak ingin manusia hidup dalam kasih Allah.
Karena itu, dia berusaha agar manusia jauh dari kasih Allah. Karena itu, iblis
menggoda manusia supaya berdosa. Kitab Kebijaksanaan menulis, “Karena dengki
setan maka maut masuk ke dalam dunia, dan yang menjadi milik setan mencari maut
itu.” (Keb 2: 23 – 24).
Yohanes
dalam suratnya mengatakan bahwa “Allah adalah kasih, barangsiapa tetap berada
di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1Yoh
4: 16). Artinya, jika umat hidup dalam kasih, maka Allah hadir di tengah
mereka. Saling menghujat, mencela, menjatuhkan dan menghina orang lain yang
berbeda dengan diri atau kelompoknya membuktikan bahwa di sana tidak ada Allah.
Nah,
kalau begitu apakah KBG itu buah karya Allah atau setan? Kita semua pasti tahu
jawabannya. Menjadi persoalannya, apakah kita memang menghendaki karya Allah
yang terjadi atau karya setan.
Koba,
26 Maret 2017
by: adrian
Sumber:
Baca juga tulisan
lain:
This is such an interesting and deep topic! I appreciate how you’ve explored the complex themes surrounding good and evil in the context of creation. It really makes one reflect on the nature of faith and how we interpret the world around us. The way you’ve presented different perspectives is thought-provoking and encourages readers to think critically. Thank you for sharing this insightful piece—definitely gives a lot to ponder
BalasHapusEpicforce Tech