Pagi ini saya keluar dari pastoran sekitar jam 07.00. Saya
mau mencari inspirasi buat bahan retret kaum muda-remaja wilayah St. Mikael,
Tanjung Batu. Hari Minggu lalu (7 Juli) setelah misa, dua remaja, Paulina dan
Wiliam, menghampiri saya dan langsung minta diadakan retret untuk mengisi
liburan. Setelah berbagai pertimbangan soal tempat dan waktu dikemukakan,
akhirnya diputuskan retret diadakan pada tanggal 23 – 25 Juli.
Saya menyusuri jalan lingkar, mencari pondok yang bisa dijadikan tempat untuk merenung.
Awalnya saya menemukan “pondok”, yang biasa dipakai untuk memancing, di ujung
aspal jalan lingkar. Saya masuk dan duduk sebentar di situ sambil menikmati
suasana. Baru duduk sekitar 15 menit, cahaya matahari, yang sebelumnya
diselimuti awan sehingga terasa sejuk, mulai menyengat kulit. Saya sedikit
merasa terganggu karena tidak bisa berkonsentrasi. Akhirnya saya memutuskan pindah, mencari
tempat lain.
Kembali saya menyusuri jalan lingkar yang belum beraspal,
menuju arah PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara). Tak jauh dari PLTB ada
sebuah pondok
kecil yang biasa digunakan orang proyek untuk mengawasi proyek penimbunan dan
pembuatan jalan lingkar. Tak ada orang di sana. Situasinya teduh dari sinar
mentari. Karena itu saya ke pondok itu. Di pondok itu ada sebuah kursi dan
meja. Sangat cocok untuk merenung dan menulis. Apalagi pandangannya langsung ke
laut.
Tak lama saya di pondok itu, tiga orang pemuda dengan sebuah
motor bebek menghampiri pondok, tempat saya merenung. Setelah berhenti di depan
pondok, samping motor saya, seorang dari mereka turun dan kemudian dua lainnya
pergi berlalu. Tinggallah kami berdua di pondok itu. Saya memulai pembicaraan
dengan bertanya soal pekerjaannya.
Dari jawabannya itu, pembicaraan meluas ke “mega-proyek”
Karimun ini. Secara tak sengaja, akhirnya saya menemukan jawaban atas satu
keanehan dari mega-proyek ini. Keanehan itu begini: mulai pondok tempat kami
nongkrong, timbunan sudah jauh melewati batas ketentuan. Ini dapat dilihat dari
sisi batu miring di sebelahnya.
Pemuda itu menjelaskan bahwa timbunan lebih ini adalah
proyeknya Pak Umar (bukan nama sebenarnya). Kalau proyek jalan lingkar adalah
proyeknya WASKITA. “Kita juga tak tahu kenapa timbunan bergeser sampai jauh ke
sana. Kita tak tahu juga bagaimana pembagian jatahnya,” jelas pemuda itu. “Ini
bisa terjadi karena ini adalah proyek Pak Umar.”
Menurut pemuda ini ada isu yang mengatakan bahwa areal
timbunan ini hendak dijadikan pelabuhan dan hotel seperti yang di Balai. Apakah
mungkin kawasan polsek dan pelabuhan Balai mau disulap jadi Mega Mall seperti
yang pernah diisukan sekitar dua tahun lalu? Demikian hati kecil saya. Pemuda
ini terus menjelaskan sedikit tentang Pak Umar. Dari mulutnya saya akhirnya
mengetahui siapa Pak Umar ini.
“Dia orang asli sini,” kata pemuda itu. “Orang dekatnya
bupati.”
“Pantesan!” Komentar spontan saya.
Setelah dua temannya datang lagi, saya pamit meninggalkan
pondok dan mereka. Saya mau kembali ke pastoran. Sepanjang perjalanan pulang saya terus
merenungkan isi pembicaraan kami tadi. Yang saya renungkan adalah tentang
kedekatan Pak Umar dengan pimpinan Karimun sehingga pemerintah pun tak
berkutik. Ini artinya, Pak Umar menggunakan kedekatan relasinya dengan pemimpin
daerah ini sehingga dapat melangkahi kewenangan instansi-instansi pemerintah
yang berkaitan dengan urusan proyek ini. Tentulah, di atas semuanya itu,
ujung-ujungnya adalah DUIT.
Karena itu, saya langsung berpikir betapa enaknya mempunyai
relasi dekat dengan pemimpin. Dengan kedekatan ini saya dapat berbuat apa saja
yang saya suka asal tidak bentrok dengan pimpinan. Sekalipun saya bukan bawahan
langsung pemimpin ini, tapi karena kedekatan dengan pemimpin, saya bisa “injak”
kewenangan bawahannya. Bahkan, bukan tidak mungkin saya yang mengatur bawahannya.
Yang penting saya tidak bentrok dengan pimpinan.
Awalnya saya hanya merenung masalah ini pada dunia
pemerintahan saja. Lantas saya langsung bertanya, bagaimana dengan lingkungan
Gereja? Apakah masalah ini ada juga dalam lingkungan Gereja? Saya
jadi teringat akan banyak peristiwa dalam kehidupan di gereja. Ada umat, yang
karena kedekatannya dengan pastor paroki, dengan begitu mudah meminta misa di
rumah tanpa melalui pengurus komunitas, sementara orang lain yang tidak
memiliki kedekatan tak akan pernah mendapatkannya jika tidak melalui mekanisme
yang ada. Ada umat yang sangat dekat dengan pastor paroki, sehingga selalu
lebih dahulu mengetahui informasi paroki daripada umat lain, bahkan pastor
pembantu. Ada pula umat yang memiliki kedekatan dengan pastor paroki dapat
melakukan kebijakan apa saja yang seharusnya merupakan kewenangan seksi atau
orang lainn tanpa harus berkoordinasi dulu dengan mereka yang berwenang.
Tanpa disadari saya sudah sampai di depan rumah dinas bupati.
Maksud hati mencari ide bahan retret, eh
malah dapat gagasan renungan.
TBK, 11 Juli 2013
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar