ZIARAH KE GOA MARIA SENDANG SRININGSIH
Tanggal 5 Januari, setelah misa, saya berangkat menuju Goa
Maria Sendang Sriningsih. Kemarin, waktu saya ke Dharma Karya (Klaten), dari
jendela bus saya melihat ada papan bertuliskan Goa Maria Sendang Sriningsih. Dalam ingatan saya, lokasinya
tidaklah terlalu jauh dari Prambanan. Karena itu, dengan motor Poldo, saya
segera meluncur ke sana.
Setelah menemukan simpang masuknya, saya menyusuri jalan
menuju lokasi ziarah. Awalnya saya berpikir kalau tempatnya tidak jauh dari
jalan raya. Namun ternyata sangat jauh dan berliku. Saya hanya mengandalkan
keterangan orang yang saya tanya di pinggiran jalan dan mengikti kata hati. Dan
akhirnya saya sampai juga.
Motor saya parkir di tempat yang telah disediakan. Dengan
berjalan kaki, saya menapaki jalan salib menuju lokasi ziarah. Sepanjang jalan
saya dibuat kagum dengan situasi dan keadaan tempat ziarah ini: sungguh alami
dan sejuk. Sepanjang jalan kita dinaungi keteduhan pepohonan. Saya berhenti
sebentar di “Golgota” sebelum akhirnya menuju Goa Maria.
Di sana sudah ada beberapa orang yang sedang berdoa. Ada juga
satu keluarga yang datang berdoa dan berekreasi. Setelah berfoto-foto sebentar,
saya akhirnya berdoa. Sebelum pulang,
saya meminta seorang bapak untuk mengambil
foto diri saya. Tanpa saya duga, bapak ini dapat menebak status saya. Maka,
kami pun larut dalam obrolan.
Derita Murid Kristus
Awalnya bapak itu menanyakan soal toleransi keadaan umat di
wilayah keuskupan, secara khusus dalam kaitannya dengan saudara-saudara muslim.
Saya mengatakan bahwa di tempat saya Gereja mengalami perlakuan diskriminasi.
Saya mengambil contoh soal pembangunan seminari menengah di Pangkalpinang dan
gedung gereja di Tanjung Balai Karimun. Saya juga memaparkan soal masalah yang
sama yang terjadi di Pulau Burung (Kabupaten Indragiri Hilir), salah satu stasi
dari Paroki St. Joseph Tanjung Balai Karimun, serta soal pembangunan gereja
yang disegel di Pekan Baru.
Setelah mendengarkan sharing saya, bapak itu pun bercerita
kisahnya. Ia menceritakan kisahnya dengan mata sedikit berkaca-kaca. Sungguh,
saya dibuat kaget olehnya. Selama ini saya mengira bahwa umat kristiani di
daerah Jawa Tengah mendapatkan perlakuan yang tidak sama dengan
saudara-saudaranya di luar Jawa. Salah satu yang menarik dari cerita bapak itu
adalah soal rumah Romo Greg, yang disegel. Menurut ceritanya, rumah itu sering
digunakan untuk kegiatan rohani. Namun oleh ormas islam, rumah itu disegel.
Kegiatan kerohanian dilarang. Padahal rumah itu rumah pribadi. Selain kisah rumah
Romo Greg, bapak itu juga mengisahkan soal penyegelan tempat ziarah.
Mendengar kisah bapak itu, saya jadi teringat akan kisah Ibu
Sri, umat Katedral Bogor, yang sedang mengunjungi putra-putrinya yang kuliah di
Yogya. Umat kristen, termasuk juga katolik di Keuskupan Bogor mengalami
perlakuan tak adil. Sebenarnya ada banyak gereja mau dibangun; ada banyak
gereja hendak direhab (termasuk gereja katedral). Namun niat itu urung
mengingat akan menghadapi kesulitan nantinya. Pada saat hari raya (Natal dan
Paskah), umat katedral harus benar-benar waspada. Selalu saja ada gangguan
kecil.
Setelah cukup lama kami berbicara, saya akhirnya memohon
diri. Bapak itu kembali kepada keluarganya dan saya menuju parkiran motor. Saya
tiba di rumah sekitar pukul 14.00. Saya langsung istirahat, mengingat besok
saya masih berencana ke Sendangsono.
Jakarta, 21 Januari 2014
by: adrian
Dimana alamat dharm karya klaten?
BalasHapusWaduh, saya minta maaf karena saya tidak tahu alamat persisnya. Waktu itu saya modal nekat saja. Dari Yogya saya naik bus jurusan Klaten. Saya bilang saja ke kondekturnya kalau saya mau turun di Dharma Karya.
BalasHapus