Kehidupan
manusia tak pernah berjalan mulus; pasti selalu ada gelombang dalam hidup.
Misalnya dalam dunia perdagangan. Kadang situasi dagang sedang bagus sehingga
mendatangkan keuntungan yang banyak; dan hal ini tentu membawa sukaacita dan
kebahagiaan. Namun kadang situasi dagang sedang sepi dan lesu sehingga
keuntungan sedikit, malah justru rugi; dan hal ini akan membawa kedukaan dan
stres.
Fenomena
ini tak jauh beda dengan diri Petrus dan kawan-kawannya sebagaimana dikisahkan
dalam Lukas 5: 1 – 11. Dalam teks tersebut digambarkan bahwa Petrus, Yohanes
dan Yakobus adalah orang dengan profesi nelayan. Dikatakan bahwa saat itu
perahu mereka kosong. Mereka sudah bekerja semalam-malaman, tapi tak
mendapatkan ikan. Tentulah hal ini mendatangkan kelesuan, kedukaan dan
frustasi.
Akan
tetapi, akhir cerita kisah Petrus dan kawan-kawannya adalah sukacita. Perahu
mereka yang awalnya kosong, kini penuh berlimpah, bahkan perahu mereka nyaris
tenggelam (ay. 7). Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Memang hal tersebut tak
bisa dilepaskan dari mukjizat. Namun ada beberapa faktor yang menunjang
terjadinya mukjizat tersebut.
Pertama, membiarkan Yesus masuk ke dalam perahu kosong. Dan Yesus tetap berada di dalam perahu itu hingga perahu itu penuh dengan ikan. Kedua, melakukan sesuatu yang baru. Setelah selesai mengajar, Yesus meminta Petrus untuk bertolak ke tempat yang dalam. “Bertolaklah ke tempat yang dalam, dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” (ay. 4). Semalaman Petrus dan kawan-kawannya sudah mencari ikan, namun tidak mendapatkan hasil. Mereka pulang dengan perahu kosong. Mungkin karena mereka tidak bergerak ke tempat yang dalam, atau mereka hanya berdasarkan kebiasaan saja. Ketiga, melakukan sesuai dengan kehendak Yesus. Petrus adalah seorang nelayan. Sudah bertahun-tahun ia menggeluti profesi itu. Jadi, dari segi pengalaman, Petrus jauh lebih tahu soal danau dan ikan daripada Yesus. Namun, karena Yesus memintanya, Petrus mengikuti saja. “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” (ay. 5).
Tiga
hal itulah yang dilakukan Petrus: membiarkan Yesus masuk, melakukan sesuatu
yang baru dan melakukan sesuai kehendak Yesus. Dengan tiga perbuatan tersebut,
perahu kosong berubah menjadi penuh berlimpah. Tiga perbuatan itulah yang
menjadi faktor penyebab terjadinya mukjizat.
Menjalani
tugas imamat memang tak selamanya diliputi dengan sukacita dan tawa. Jalan
imamat tak selalu mulus. Jalan itu ibarat gelombang laut; ada naik ada turun.
Saat naik adalah saat bahagia, dan saat turun adalah saat sedih, sepi dan
stres.
Masa-masa
imamat terkadang dipenuhi dengan kekosongan. Kekosongan itu bisa karena
kegagalan dalam karya pastoral atau kekeringan dalam hidup rohani atau juga
jenuh dengan rutinitas baku. Semua ini bisa membawa seorang imam masuk ke dalam
situasi sepi, sedih, frustasi dan stres hingga ingin “melarikan” diri. Hal ini
tak jauh beda dengan perahu kosong yang dialami oleh Petrus dan kawan-kawannya.
Mereka juga pernah mengalami kegagalan dan kesedihan karena perahunya kosong.
Namun,
pengalaman Petrus dapat menjadi pelajaran bagi para imam. Para imam dapat
mengubah kekosongan hidup imamatnya menjadi kepenuhan sukacita, sebagaimana
perahu kosong Petrus yang penuh dengan ikan. Kekosongan dalam hidup imamat bisa
disebabkan karena para imam tidak mengikutsertakan Yesus dalam karya
pastoralnya. Dalam berpastoral, para imam lebih mengandalkan kemampuan dirinya
sendiri. Kekosongan juga bisa disebabkan karena para imam sudah merasa mapan
dengan pola pastoral yang sudah ada. Usia imamat yang tua, pengalaman
berpastoral yang lama, dan gelar akademi yang dimiliki sering membuat seorang
imam cinta kemapanan. Di balik kemapanan ini ada harga diri yang ingin
dipertahankan, sehingga perubahan dianggap merusak harga diri. Selain itu,
kekosongan juga bisa terjadi karena para imam lebih mengutamakan kehendak pribadi
daripada kehendak Allah.
Untuk
itu, para imam harus membiarkan Yesus masuk ke dalam hatinya. Sering kali
terjadi, dalam berkarya imam hanya membawa dirinya sendiri; sekalipun Yesus
Kristus yang diwartakan, namun selalu “ada udang di balik batu” dalam pewartaan
itu. Ketika umat tidak menganggapnya atau mengabaikannya, ia mulai merasa
kurang dihargai. Ketika karya pastoral gagal, ia mulai kecewa, sedih, frustasi
dan stres. Perasaan ini membuat ia galau dan akhirnya hidup dipenuhi
kemurungan. Karena itu, biarkanlah Yesus masuk dalam hati dan biarkanlah Yesus
tetap di hati selama berkarya.
Para
imam juga terkadang perlu mencoba sesuatu hal yang baru. Pola kemapanan dapat
membawa seseorang masuk ke dalam situasi jenuh dan juga rentan akan kritik yang
menawarkan perubahan. Segala usul saran yang berusaha mengubah kebiasaan,
sekalipun usul saran itu baik dan berguna, akan dinilai sebagai kritik yang
mengancam dirinya. Petrus tidak merasa diri lebih hebat daripada Yesus,
sekalipun secara teori Petrus tahu banyak soal profesinya. Usul saran Yesus
diterima dengan lapang hati, bukan menilainya sebagai kritik yang mengancam
harkat dan harga dirinya. Karena itu, jika ada usul saran dari umat atau dari
rekan imam, sekalipun imam itu belum punya pengalaman, sejauh usul itu baik dan
berguna, hendaknya diterima demi sebuah perubahan.
Terakhir,
para imam harus mendahulukan kehendak Allah daripada kehendak pribadi. Petrus
berkata, “Karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.”
Mendahulukan kehendak Allah yang terjadi merupakan sikap iman. Hal ini pernah
terjadi pada diri Bunda Maria, ketika menerima kabar gembira dari Malaikat
Gabriel. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” (Lukas
1: 38). Yesus juga pernah menunjukkan sikap ini ketika sedang berdoa kepada
Allah Bapa di Taman Getsemani. “Bukan kehendak-Ku yang terjadi, melainkan
kehendak-Mulah yang terjadi.” (Lukas 22: 42). Karena itu, dalam melaksanakan
karya pastoral, para imam harus mengutamakan kehendak Allah yang terjadi.
Dengan
ketiga sikap tersebut, bukan tidak mungkin kekosongan dalam hidup imamat dapat
diubah menjadi kelimpahan yang mendatangkan sukacita. Namun perlu diingat juga
supaya sukacita itu tidak hanya dinikmati sendiri. Petrus, setelah tahu bahwa
perahunya berkelimpahan, membagi kelimpahan itu kepada perahu-perahu
teman-temannya yang lain (ay. 7). Karena itu, sukacita karena kelimpahan dalam
hidup imamat hendaknya dibagikan juga kepada rekan-rekan imam lainnya.
Diambil dari tulisan 6 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar