Sejak
kasus Ahok, persoalan tentang ujaran kebencian menjadi topik hangat. Terakhir
korbannya Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi. Memang kasus tersebut
kemudian oleh pihak kepolisian dihentikan. Namun penghentian itu bukan lantas
berarti masalahnya selesai. Tentulah pihak pelapor dan mereka yang membenci
Jokowi akan menilai bahwa kepolisian berada di bawah tekanan presiden.
Benarkah
penghentian itu karena sosok presiden? Jika mencermati permasalahan laporan
Muhammad Hidayat, dimana kata yang dipersoalkan adalah ndeso, sama
sekali tidak ditemukan adanya unsur ujaran kebencian atau penghinaan.
Pernyataan Kaesang sama sekali bukan bertujuan menghina atau merendahkan
martabat orang desa. Kata itu sama seperti kata kampungan, yang
ditujukan kepada orang yang berpikiran kolot, sempit dan picik. Orang yang
berpikiran demikian dapat menghambat perkembangan, baik itu diri sendiri maupun
umum. Kata ”kampungan” sama sekali tidak merendahkan martabat orang kampung,
karena tidak semua orang kampung itu kampungan.
Kata ndeso atau kampungan bukanlah
kata baru dalam khasana bahasa Indonesia. Tapi, mengapa sekarang orang sangat
mudah tersinggung dengan kata tersebut? Atau kenapa umumnya sekarang kita mudah
sekali merasa tersinggung? Kenapa Muhammad Hidayat melaporkan Kaesang hanya
lantaran kata ndeso tapi tak melaporkan begitu banyak orang
yang meneriakkan kata kafir? Akarnya adalah kebencian. Rasa benci
itu ditujukan pada sosok Jokowi. Kebencian pada seseorang membuat kita tidak
bisa melihat hal baik dan positip pada orang lain; yang dilihat adalah
keburukan. Itulah yang terjadi pada putra bungsu Jokowi. Sasaran sebenarnya
adalah Jokowi, namun batu loncatannya adalah putranya.
Hal
ini terjadi pula pada Basuki Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok.
Kebencian pada sosok Ahok membuat orang tidak bisa melihat hal baik dan positip
pada dirinya. Apa yang keluar dari dirinya adalah buruk dan jahat, bahkan
mengancam islam. Dan sebagaimana yang sudah diketahui, Ahok hanyanya sasaran
antara. Sasaran utamanya adalah Jokowi.
Masalah
ujaran kebencian memang sudah diatur dalam undang-undang. Bahkan pihak
kepolisian menambah dengan surat edaran no. SE/06/X/2015 tentang Penanganan
Ujaran Kebencian. Dalam surat edaran itu, disebutkan tujuan dari peraturan ini.
Salah satunya adalah demi terpeliharanya kerukunan hidup berbangsa dan
bernegara yang berbhineka tunggal ika serta melindungi keragaman kelompok dalam
bangsa.
Akan
tetapi, bisakah masalah ujaran kebencian ini ditangani secara baik dan benar?
Ada satu topik ujaran kebencian yang penanganannya akan menemukan kesulitan,
yaitu ceramah keagamaan.
Pada
poin 2 (g) surat edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian dikatakan
bahwa ujaran kebencian itu bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap
orang dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan beberapa aspek, salah satunya
adalah agama. Dan poin 2 (h) dijelaskan cara penyampaian ujaran kebencian itu,
yang di antaranya adalah ceramah keagamaan. Jadi, ujaran kebencian itu bisa
terjadi lewat ceramah keagamaan yang menyulut rasa benci kepada sekelompok agama
tertentu.
Menjadi
persoalan adalah apakah ceramah keagamaan yang menyampaikan ajaran agama bisa
dimasukkan dalam kasus ujaran kebencian atau penistaan? Ada banyak ajaran
islam, yang ada dalam Al-Quran bersinggungan dengan agama lain, yang jika
dilihat dari sudut pandang tertentu akan dinilai melakukan penistaan.
Misalnya,
ketika membahas surah An-Nisa: 157, mau tidak mau ustad atau si penceramah akan
mengatakan bahwa Yesus itu tidak pernah disalibkan di kayu salib. Yang mati di
kayu salib itu adalah orang yang menyerupai Yesus. Jika orang kristen memakai
cara berpikir MUI yang memfatwa Ahok telah melakukan penistaan agama dan ulama,
maka hal demikian pula seharusnya terjadi. Menjadi persoalannya, bisakah ustad
atau penceramahnya dijerat dengan kasus penistaan agama? Tentu tidak mungkin,
karena si ustad atau penceramah tengah menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat
ustad atau penceramah dengan jerat ujaran kebencian sama saja berarti penjerat
ajaran agamanya. Apakah ini bukan merupakan penistaan terhadap agama islam.
Atau
ketika membahas surah Al-Maidah: 41, mau tak mau penceramah akan mengatakan
bahwa Alkitab sudah dipalsukan. Bukan tidak mungkin penceramah juga akan
mengutip surah Al-Baqarah: 75 untuk semakin menguatkan argumennya. Jika orang
kristen memakai cara berpikir MUI yang memfatwa Ahok telah melakukan penistaan
agama dan ulama, maka orang kristen juga bisa menjerat si penceramah telah
melakukan penistaan agama. Menjadi persoalannya, bisakah penceramahnya dijerat
dengan kasus penistaan agama? Tentu tidak mungkin, karena si penceramah
menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat penceramah dengan jerat ujaran kebencian
sama saja dengan penjerat ajaran agamanya. Apakah ini bukan merupakan penistaan
terhadap agama islam.
Inilah
contoh betapa peliknya menangani kasus ujaran kebencian, apalagi yang berbasis
agama. Bagaimana mungkin menjerat seseorang dengan pasal ujaran kebencian,
padahal orang itu sedang menyampaikan pengajaran agamanya dalam sebuah ceramah
keagamaan. Seorang tokoh agama punya kewajiban untuk menyampaikan ajaran
agamanya, karena itu sudah merupakan perintah Allah. Nah, apakah karena
penyampaian dalam ceramah itu dia harus ditangkap dan diproses hukum?
Diambil dari tulisan 6 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar