Jumat, 17 Februari 2023

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AN NISA AYAT 144

 


Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)? (QS 4: 144)

Publik sudah tahu kalau dikatakan Al-Qur’an itu merupakan kitab berbahasa Arab yang berisi wahyu Allah SWT, yang dipercaya sebagai kitab suci. Selain sebagai kitab suci, umat islam melihat juga Al-Qur’an sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup. Hal inilah yang membuat Al-Qur’an dilihat sebagai pusat spiritualitas hidup umat islam. Di sana mereka tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan disembah, tetapi juga mendapatkan pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar mereka ke surga. Selain hadis, Al-Qur’an biasa dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap dan bertindak dalam hidup keseharian. Berhubung Al-Qur’an itu berasal dari Allah, maka tuntunan dan pedoman yang diberikan Allah ini wajib ditaati. Allah pernah meminta umat islam (pengikut Muhammad) untuk taat kepada-Nya dan Muhammad jika memang benar mereka beriman (QS al-Fath: 9).

Berangkat dari premis ini, maka dapatlah dikatakan kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah yang berisi nasehat untuk dijadikan pedoman bagi umat islam dalam bersikap dan bertindak. Umat islam percaya bahwa hanya Muhammad saja yang menerima wahyu Allah. Karena itu, kutipan kalimat Allah di atas diterima Muhammad dari Allah. Melihat kalimat pertama wahyu Allah ini haruslah dikatakan bahwa wahyu Allah ini lebih ditujukan kepada para pengikut Muhammad. Frasa “umat yang beriman” selalu dimaknai sebagai umat islam, karena yang beriman itu hanya islam. Allah telah membuat islam sebagai patokan seseorang itu beriman (Bdk. QS al-Maidah: 41). Yang bukan islam dilabeli sebagai kafir. Allah menyampaikan itu melalui Muhammad. Artinya, Muhammad diminta Allah untuk menyampaikan pesan-Nya itu.

Rumusan wahyu Allah ini sedikit aneh. Jika memang tujuan utama wahyu Allah ini adalah umat islam sebagai pengikut Muhammad, seharusnya Allah mengawali perkataannya dengan, “Katakanlah ….” Rumusan seperti ini jamak dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menjadi pertanyaan, kenapa di sini Allah tidak menyertakan frasa “Katakanlah …”? Apakah Allah lupa?

Kalimat berikutnya berisi nasehat yang harus diterapkan dalam kehidupan kaum muslim. Allah SWT memerintahkan umat islam untuk tidak menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Umat islam hanya boleh memilih pemimpin muslim. Sekilas dua kalimat awal wahyu Allah ini mirip seperti yang ada dalam QS al-Maidah: 51. Bedanya dalam wahyu Allah ini Allah tidak menyebutkan alasan kenapa tak boleh memilih orang kafir sebagai pemimpin. Akan tetapi, dengan menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an kita bisa menemukan alasan kenapa Allah melarang umat islam untuk tidak memilih pemimpin kafir. Dalam QS Ali Imran: 149, Allah berkata bahwa orang kafir akan memurtadkan kaum muslim, dan dalam QS an-Nisa: 101 dikatakan bahwa orang kafir adalah musuh yang nyata. Melihat dua alasan ini masuk akal kenapa akhirnya umat islam dilarang memilih orang kafir sebagai pemimpin.

Kalimat berikutnya secara implisit berisi konsekuensi bila umat islam tidak mengikuti nasehat atau perintah Allah ini. Sebenarnya Allah mau mengatakan bahwa umat islam tidak ada alasan untuk tidak mengikuti perintah ini jika tidak mau mendapat hukuman dari Allah. Menjadi pertanyaan adalah apa kira-kira hukuman bagi umat islam yang melanggar perintah Allah ini. Dengan membandingkan wahyu Allah dalam QS al-Maidah: 51, dapatlah dikatakan bahwa umat islam yang memilih orang kafir sebagai pemimpin akan dimasukkan dalam golongan kafir. Dengan kata lain, mereka akan disebut juga sebagai kafir. Lantas apa sikap terhadap orang-orang ini? Dari ayat-ayat Al-Qur’an jamak dijumpai wahyu Allah yang berisi kebencian dan permusuhan terhadap orang kafir. Intinya, orang kafir harus dibenci, dimusuhi, diperangi, dibunuh dan dimusnahkan. Bentuk kebencian dan permusuhan itu terbaca dalam QS at-Taubah: 84, dimana orang ini tidak akan dishalatkan ketika meninggal dunia. Hal ini pernah terjadi pada masa pilkada DKI Jakarta 2017. Selain itu, Allah menyediakan neraka sebagai tempat bagi orang kafir.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam kutipan wahyu Allah di atas terlihat jelas perintah bagi umat islam untuk tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin. Secara sederhana orang kafir itu adalah orang yang bukan islam. Berhubung sumber kutipan di atas dari Allah, maka perintah larangan ini datangnya dari Allah SWT. Allah umat islam tidak menginginkan umat-Nya memilih pemimpin kafir. Jika mereka melanggar perintah Allah ini, pertama-tama mereka akan digolongankan sebagai kaum kafir. Sebagai orang kafir hukuman yang diterima tidak hanya di dunia saja tetapi juga di akhirat. Di dunia ini Allah sudah memerintahkan umat islam untuk memusuhi dan membunuh orang kafir. Di akhirat orang kafir akan ditempatkan di neraka.

Salah satu persoalan dan tantangan wahyu Allah ini adalah penerapannya di tengah kehidupan yang plural. Bagaimana mungkin di tengah masyarakat yang majemuk dapat terbangun kerukunan dan persaudaraan? Dapat dipastikan wahyu Allah ini membuat kaum muslim menjadi terisolasi di tengah kemajemukan suku dan agama. Dapat dikatakan juga bahwa islam bukanlah agama yang toleran, atau Allah islam itu paranoid.

Menghadapi persoalan ini tak sedikit ulama islam mengatakan bahwa wahyu Allah di atas harus dilihat dari konteks waktunya. Artinya, perintah larangan tersebut hanya berlaku pada waktu itu, yaitu saat wahyu ini disampaikan Allah kepada Muhammad di Madinah. Dengan demikian, orang kafir yang tidak boleh dipilih sebagai pemimpin adalah orang kafir yang ada di Madinah pada antara tahun 622 – 632. Artinya, orang kafir saat ini tidak dikenakan perintah larangan tersebut. Sekarang ini orang islam boleh memilih pemimpin kafir.

Dapatlah dikatakan apa yang dikatakan ulama ini hanya sebatas rasionalisasi tanpa dasar. Rasionalisasi ini bukan tanpa konsekuensi. Dengan mengatakan perintah larangan itu hanya berlaku pada zaman nabi di Madinah saja membuat wahyu Allah ini mati. Ia tidak lagi relevan lagi. Tidak ada lagi manfaatnya bagi kaum muslim dewasa ini. Dengan kata lain, wahyu Allah ini tidak kekal. Jika demikian, untuk apa ia ditulis dalam kitab Al-Qur’an. Apakah hanya sekedar untuk memenuh-menuhi kitab Al-Qur’an agar dikatakan tebal? Akan tetapi, rasionalisasi di atas tidak berlaku bagi seluruh ulama, karena terbukti masih ada sikap menolak pemimpin kafir. Saat pilkada DKI Jakarta 2017, tim sukses Anies Baswedan menggunakan ayat Al-Qur’an ini untuk menjegal lawannya, Basuki Tjahaya Purnama, yang adalah seorang kristen.

Dari kajian atas surah an-Nisa ayat 144 dan dengan membandingkan wahyu Allah lainnya, dapatlah ditarik dua kesimpulan yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, Allah islam penuh curiga. Sasaran kecurigaan itu adalah orang kafir. Jika membaca seluruh Al-Qur’an banyak ditemui wahyu Allah yang bernada curiga kepada kafir. Kenapa Allah hanya curiga pada orang kafir? Sikap curiga, yang bisa dikatakan berlebihan ini, mengindikasikan Allah yang paranoid. Kedua, Allah islam penuh kebencian. Membaca kutipan wahyu Allah di atas sangat terasa nada kebencian terhadap orang kafir. Karena kebencian inilah yang membuat akhirnya Allah memerintahkan umat islam untuk tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin. Dengan sikap seperti ini, akankah terbangun kerukunan dan kedamaian di tengah masyarakat yang majemuk.

Dabo, 15 Oktober 2022

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar