Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai
pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang
jelas bagi Allah (untuk menghukummu)? (QS 4: 144)
Publik
sudah tahu kalau dikatakan Al-Qur’an itu merupakan kitab berbahasa Arab yang
berisi wahyu Allah SWT, yang dipercaya sebagai kitab suci. Selain
sebagai kitab suci, umat islam melihat juga Al-Qur’an sebagai pedoman dan penuntun jalan
hidup. Hal inilah yang membuat Al-Qur’an dilihat
sebagai pusat spiritualitas hidup umat islam. Di sana
mereka tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan disembah, tetapi juga
mendapatkan pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar mereka ke surga. Selain hadis, Al-Qur’an biasa dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap dan
bertindak dalam hidup keseharian. Berhubung Al-Qur’an itu berasal dari Allah,
maka tuntunan dan pedoman yang diberikan Allah ini wajib ditaati. Allah pernah meminta umat islam (pengikut
Muhammad) untuk taat kepada-Nya dan Muhammad jika memang benar mereka beriman
(QS al-Fath: 9).
Berangkat dari premis ini, maka dapatlah dikatakan kutipan ayat
Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah yang berisi nasehat untuk dijadikan
pedoman bagi umat islam dalam bersikap dan bertindak. Umat islam percaya bahwa hanya Muhammad
saja yang menerima wahyu Allah. Karena itu, kutipan kalimat Allah di atas
diterima Muhammad dari Allah. Melihat kalimat pertama wahyu Allah ini haruslah
dikatakan bahwa wahyu Allah ini lebih ditujukan kepada para pengikut Muhammad.
Frasa “umat yang beriman” selalu dimaknai sebagai umat islam, karena yang
beriman itu hanya islam. Allah telah membuat islam
sebagai patokan seseorang itu beriman (Bdk. QS
al-Maidah: 41). Yang bukan islam dilabeli sebagai
kafir. Allah menyampaikan itu melalui Muhammad.
Artinya, Muhammad diminta Allah untuk menyampaikan pesan-Nya itu.
Rumusan wahyu Allah ini sedikit aneh. Jika memang tujuan utama
wahyu Allah ini adalah umat islam sebagai pengikut Muhammad, seharusnya Allah
mengawali perkataannya dengan, “Katakanlah ….” Rumusan seperti ini jamak
dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menjadi pertanyaan, kenapa di sini Allah
tidak menyertakan frasa “Katakanlah …”? Apakah Allah lupa?
Kalimat berikutnya berisi nasehat yang harus diterapkan dalam
kehidupan kaum muslim. Allah SWT memerintahkan umat islam untuk tidak
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Umat islam hanya boleh
memilih pemimpin muslim. Sekilas dua kalimat awal wahyu Allah ini mirip seperti
yang ada dalam QS al-Maidah: 51. Bedanya dalam wahyu Allah ini Allah tidak menyebutkan alasan kenapa tak boleh memilih orang kafir sebagai
pemimpin. Akan tetapi, dengan menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an kita bisa
menemukan alasan kenapa Allah melarang umat islam untuk tidak memilih pemimpin
kafir. Dalam QS Ali
Imran: 149, Allah berkata bahwa orang kafir akan memurtadkan kaum muslim, dan dalam QS an-Nisa: 101 dikatakan bahwa
orang kafir adalah musuh yang nyata. Melihat dua alasan ini masuk akal kenapa
akhirnya umat islam dilarang memilih orang kafir sebagai pemimpin.
Kalimat berikutnya secara implisit berisi konsekuensi bila umat islam tidak mengikuti nasehat atau perintah Allah ini. Sebenarnya Allah mau mengatakan bahwa umat islam tidak ada alasan untuk tidak mengikuti perintah ini jika tidak mau mendapat hukuman dari Allah. Menjadi pertanyaan adalah apa kira-kira hukuman bagi umat islam yang melanggar perintah Allah ini. Dengan membandingkan wahyu Allah dalam QS al-Maidah: 51, dapatlah dikatakan bahwa umat islam yang memilih orang kafir sebagai pemimpin akan dimasukkan dalam golongan kafir. Dengan kata lain, mereka akan disebut juga sebagai kafir. Lantas apa sikap terhadap orang-orang ini? Dari ayat-ayat Al-Qur’an jamak dijumpai wahyu Allah yang berisi kebencian dan permusuhan terhadap orang kafir. Intinya, orang kafir harus dibenci, dimusuhi, diperangi, dibunuh dan dimusnahkan. Bentuk kebencian dan permusuhan itu terbaca dalam QS at-Taubah: 84, dimana orang ini tidak akan dishalatkan ketika meninggal dunia. Hal ini pernah terjadi pada masa pilkada DKI Jakarta 2017. Selain itu, Allah menyediakan neraka sebagai tempat bagi orang kafir.
Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam kutipan wahyu Allah di atas terlihat
jelas perintah bagi umat islam untuk tidak memilih
orang kafir sebagai pemimpin. Secara sederhana orang kafir itu adalah orang yang bukan
islam. Berhubung sumber kutipan di atas dari
Allah, maka perintah larangan ini datangnya dari Allah SWT. Allah umat islam
tidak menginginkan umat-Nya memilih pemimpin
kafir. Jika mereka melanggar perintah Allah ini, pertama-tama mereka akan
digolongankan sebagai kaum kafir.
Sebagai orang kafir hukuman yang diterima tidak hanya di dunia saja tetapi juga
di akhirat. Di dunia ini Allah sudah memerintahkan umat islam untuk memusuhi
dan membunuh orang kafir. Di akhirat orang kafir akan ditempatkan di neraka.
Salah
satu persoalan dan tantangan wahyu Allah ini adalah penerapannya di tengah
kehidupan yang plural. Bagaimana mungkin di tengah masyarakat yang majemuk
dapat terbangun kerukunan dan persaudaraan? Dapat dipastikan wahyu Allah ini
membuat kaum muslim menjadi terisolasi di tengah kemajemukan suku dan agama.
Dapat dikatakan juga bahwa islam bukanlah agama yang toleran, atau Allah islam
itu paranoid.
Menghadapi
persoalan ini tak sedikit ulama islam mengatakan bahwa wahyu Allah di atas
harus dilihat dari konteks waktunya. Artinya, perintah larangan tersebut hanya berlaku pada waktu
itu, yaitu saat wahyu ini disampaikan
Allah kepada Muhammad di Madinah.
Dengan demikian, orang kafir
yang tidak boleh dipilih sebagai pemimpin
adalah orang kafir
yang ada di Madinah pada antara tahun 622 – 632. Artinya, orang kafir saat ini tidak dikenakan
perintah larangan tersebut. Sekarang ini orang islam boleh memilih pemimpin kafir.
Dapatlah
dikatakan apa yang dikatakan ulama ini hanya sebatas rasionalisasi tanpa dasar.
Rasionalisasi ini bukan tanpa konsekuensi. Dengan mengatakan perintah larangan
itu hanya berlaku pada zaman nabi di Madinah saja membuat wahyu Allah ini mati.
Ia tidak lagi relevan lagi. Tidak ada lagi manfaatnya bagi kaum muslim dewasa
ini. Dengan kata lain, wahyu Allah ini tidak kekal. Jika demikian, untuk apa ia
ditulis dalam kitab Al-Qur’an. Apakah hanya sekedar untuk memenuh-menuhi kitab
Al-Qur’an agar dikatakan tebal? Akan tetapi, rasionalisasi di atas tidak
berlaku bagi seluruh ulama, karena terbukti masih ada
sikap menolak pemimpin kafir. Saat pilkada DKI Jakarta 2017, tim sukses Anies Baswedan
menggunakan ayat Al-Qur’an ini untuk menjegal lawannya, Basuki Tjahaya Purnama,
yang adalah seorang kristen.
Dari
kajian atas surah an-Nisa
ayat 144 dan dengan membandingkan
wahyu Allah lainnya, dapatlah ditarik dua kesimpulan yang saling berkaitan satu
sama lain. Pertama, Allah islam penuh curiga. Sasaran kecurigaan itu
adalah orang kafir.
Jika membaca seluruh Al-Qur’an banyak ditemui wahyu Allah yang bernada curiga
kepada kafir. Kenapa Allah hanya curiga
pada orang kafir?
Sikap curiga, yang bisa dikatakan berlebihan ini, mengindikasikan Allah yang paranoid.
Kedua, Allah islam penuh kebencian. Membaca kutipan wahyu Allah di atas
sangat terasa nada kebencian terhadap orang kafir.
Karena kebencian inilah yang membuat akhirnya Allah memerintahkan umat islam
untuk tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin. Dengan sikap seperti ini, akankah terbangun kerukunan
dan kedamaian di tengah masyarakat yang majemuk.
Dabo, 15 Oktober 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar