Demi bintang ketika
terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru, dan tidaklah
yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. (QS 53: 1 – 3)
Al-Qur’an
diyakini oleh umat islam merupakan wahyu Allah yang secara langsung disampaikan
kepada Muhammad SAW. Hal ini bisa dipahami sebagai berikut: Allah berbicara
kepada Muhammad, dan Muhammad mendengarnya. Apa yang didengar Muhammad itulah
yang kemudian ditulis dan akhirnya menjadi sebuah kitab yang diberi nama
Al-Qur’an. Dengan perkataan lain, umat islam percaya dan meyakini bahwa apa
yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah kata-kata Allah SWT sendiri. Karena itu,
umat islam menaruh hormat yang tinggi kepada Al-Qur’an. Pelecehan terhadap Al-Qur’an
sama artinya pelecehan kepada Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal itu,
berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an, wajib dibunuh (QS al-Maidah: 33).
Umat
islam menganggap dan menilai Al-Qur’an sebagai keterangan atau kitab yang jelas, karena
memang demikianlah yang dikatakan Allah sendiri. Allah telah memudahkan wahyu-Nya sehingga umat bisa
dengan mudah pula memahaminya. Umumnya para ulama menafsirkan kata
“jelas” di sini dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu
susah-susah menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan kata lain, perkataan Allah
itu sudah jelas makna dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan
pesan Allah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an.
Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan
kehendak Allah sendiri.
Berangkat dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah an-Najm ayat 1 – 3 di atas merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Memang kutipan ayat di atas tidak sepenuhnya murni merupakan perkataan Allah. Tiga kata yang ada dalam tanda kurung, yakni Muhammad, pula dan Al-Qur’an, bisa dipastikan merupakan tambahan kemudian yang berasal dari tangan manusia. Kalimat Allah yang sebenarnya adalah “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu tidak sesat dan tidak keliru, dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keinginannya.” Kalimat inilah yang disampaikan dan didengar oleh Muhammad. Sekilas kalimat Allah ini tidak ada masalah. Akan tetapi, ketika ditelaah dengan akal sehat dan membandingkan tafsir yang ada dengan konteks turunnya wahyu, maka ditemukan 2 persoalan.
Persoalan
pertama, terdapat pada ayat 1, “Demi bintang ketika terbenam,”. Apa maksud dan
makna kalimat Allah pada ayat 1 ini? Jika berdiri sendiri tentulah kalimat
Allah ini tidak mempunyai makna. Namun, jika dikaitkan dengan ayat 2 dan 3,
maka kalimat Allah pada ayat 1 barulah bermakna. Dengan mengaitkan pada ayat 2
dan 3, tampak jelas kalimat Allah pada ayat 1 memiliki makna sebagai sumpah.
Karena konteksnya adalah Allah berfirman kepada Muhammad (diyakini hanya
Muhammad sebagai penerima wahyu Allah), maka haruslah dikatakan bahwa saat itu
Allah bersumpah kepada Muhammad “demi bintang ketika terbenam”. Isi sumpah
Allah ada dalam ayat 2 dan 3. Mengikuti tafsir islam, yang lebih didasarkan
pada selera ketimbang konteks dan logika akal sehat, isi sumpah tersebut adalah
sebagai berikut: “Muhammad tidak sesat dan tidak keliru; yang diucapkan
Muhammad bukan dari keinginannya sendiri.”
Menjadi
pertanyaan, masak Allah yang maha
segalanya harus pakai acara sumpah segala? Kenapa Allah harus bersumpah kepada
Muhammad? Bukankah ini merendahkan derajat Allah di hadapan Muhammad?
Persoalan
kedua terletak pada kata “kawanmu”, yang oleh ulama islam ditafsir sebagai
“Muhammad”. Dengan demikian, kalimat Allah pada ayat 2 ini ditafsirkan sebagai
berikut: “Muhammad tidak sesat dan tidak keliru”. Dapat dipastikan tafsiran ini
hanya berdasarkan selera saja. Mengartikan “kawanmu” dengan “Muhammad” tidak
saja menyalahi logika akal sehat, tetapi juga tidak sesuai dengan konteks
turunnya wahyu.
Harus
dipahami dan disadari hanya Muhammad sebagai penerima wahyu Allah. Konteks
semua ayat Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengar. Dengan kata
lain, Muhammad adalah lawan bicara Allah. Ibaratnya, saya berbicara dengan
Anda, maka Anda adalah lawan bicara saya. Apakah ketika saya katakan “kawanmu”
itu berarti Anda? Tentulah tidak masuk akal. Kata “kawanmu” yang saya ucapkan
kepada Anda artinya adalah kawan Anda, bukan Anda. Dan kawan Anda itu adalah
sosok lain selain Anda dan saya. Demikian halnya dengan kalimat Allah pada ayat
2. Kata “kawanmu” yang Allah katakan kepada Muhammad, karena Muhammad-lah lawan
bicara Allah, artinya adalah kawan Muhammad, bukan Muhammad itu sendiri. Jika
yang dimaksud itu adalah Muhammad, seharusnya Allah berkata, “engkau tidak
sesat dan tidak keliru”, mirip seperti wahyu Allah dalam QS al-Baqarah: 149.
Dengan
demikian tafsir ulama selama ini jelas-jelas keliru, karena tidak sesuai dengan
konteks dan nalar akal sehat. Jadi, bukan Muhammad yang tidak sesat dan tidak
keliru, tetapi kawannya Muhammad. Siapa kawan Muhammad itu? Tidaklah jelas,
sehingga tak satu pun yang tahu pasti. Di sini wahyu Allah bertentangan dengan
dirinya sendiri, karena di beberapa surah dikatakan bahwa wahyu Allah itu jelas
dan mudah untuk dipahami. Dengan ketidak-jelasan dan kebingungan inilah, dengan
tidak mengindahkan konteks dan logika akal sehat, umat islam di kemudian hari
menambahkan kata “Muhammad” dalam tanda kurung sesudah kata “kawanmu”.
Penambahan seperti ini banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, misalnya QS al-Baqarah:
151; QS Ali Imran: 124; QS al-Bayyinah: 2; QS al-Fil: 1; dan kata “Muhammad”
dalam tanda kurung dimaknai sebagai pengganti kata di depannya.
DEMIKIANLAH
persoalan yang ada dalam surah an-Najm ayat 1 – 3. Ada 2 persoalan di sana,
yaitu untuk meyakinkan bahwa kawan Muhammad atau Muhammad sendiri tidak sesat
dan tidak keliru, Allah SWT harus bersumpah segala. Sungguh tindakan
merendahkan derajat Allah yang maha mulia, agung dan luhur. Bukankah ini
melecehkan Allah? Persoalan lain adalah masalah tafsir. Apa yang dipahami umat
islam selama ini sungguh di luar konteks dan tidak sesuai nalar akal sehat.
Dari
kajian logis ini dapatlah ditarik beberapa butir kesimpulan. Pertama, jika QS an-Najm ayat 1 – 3
diyakini sebagai wahyu Allah, maka haruslah dikatakan wahyu Allah ini tidak
jelas. Dengan demikian wahyu Allah ini tidak sesuai dengan pernyataan Allah
bahwa wahyu-Nya itu jelas. Kedua, ketidak-jelasan
dan kekacau-balauan logika menunjukkan bahwa 3 ayat Al-Qur’an di atas tidaklah
sempurna. Padahal Allah sudah berkata dan umat islam sangat yakin Al-Qur’an
adalah kitab yang sempurna (QS al-Anam: 115). Sekali lagi terlihat pertentangan
di dalam dirinya sendiri. Ketiga, jika
3 ayat di atas tidak sempurna, maka haruslah dikatakan Al-Qur’an, atau
setidaknya QS an-Najm: 1 – 3 bukanlah wahyu Allah. Tidaklah mungkin Allah yang
maha sempurna menghasilkan wahyu yang tidak jelas, kacau balau alias tidak
sempurna. Keempat, jika QS an-Najm
ayat 1 – 3 itu bukan wahyu Allah, maka haruslah dikatakan bahwa ketiga ayat
Al-Qur’an ini merupakan kata-kata manusia. Dan manusia yang bertanggung-jawab
di sini adalah Muhammad. Soal Al-Qur’an ini sebenarnya hal ini sudah lama
muncul. Orang kafir pada zaman Muhammad di Mekkah sudah menyatakan bahwa
Al-Qur’an hasil rekayasa Muhammad (QS al-Anbiya: 5). Bukan tidak mungkin, salah
satunya adalah QS an-Najm ayat 1 – 3 ini.
Lingga,
12 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar