Pada pesta demokrasi PEMILU, selalu saja ada persoalan dengan kebiasaan PEMILU
di tanah Papua. Kebiasaan itu adalah demokrasi noken. Yang dimaksud dengan
demokrasi noken, dalam kaitan dengan PEMILU adalah surat suara, yang semuanya
diwakili oleh Kepala Suku, dimasukkan ke dalam sebuah noken. Gambaran prosesnya
adalah sebagai berikut. Di TPS, tempat diselenggarakannya pemilihan, tidak ada
bilik dan kotak suara sebagaimana lazimnya. Ketika surat suara tiba, semua
surat suara itu, sebanyak jumlah pemilih, diserahkan kepada Kepala Suku untuk
dicoblos. Setelah pencoblosan, semua surat suara itu tidak dimasukkan ke dalam
kotak suara, tapi ke dalam noken yang telah disiapkan.
Beberapa pihak menilai sistem noken tidaklah demokratis. Jika demokrasi
dimaknai one vote one man, maka sistem noken memang tidak demokratis. Akan tetapi,
demokrasi tidak hanya sebatas one vote one man saja. Demokrasi mempunyai banyak
dimensi. Orang yang mengatakan demokrasi noken itu buruk dan tidak demokratis
adalah orang yang tidak memakai kacamata orang Papua dalam melihat makna dan
nilai noken. Pada umumnya orang melihat noken hanyalah sebatas tas keranjang,
tak jauh beda dengan asesoris lainnya. Akan tetapi, jika orang melihat dengan
cara pandang orang Papua, maka akan ditemui sejumlah nilai yang luhur yang
sejalan dengan asas demokrasi.
Noken adalah tas yang terbuat dari anyaman kulit kayu. Awalnya noken ini
hanya “milik” kaum wanita saja, karena dulu bawaan kaum pria adalah busur dan
tombak. Sekarang ini saja kita dapat melihat kaum pria juga membawa noken.
Jika kita perhatikan kehidupan perempuan Papua dulu, baik secara langsung maupun lewat gambar-gambar foto, kita akan dapat melihat seorang perempuan sedang menggendong anak babi di depannya, sedangkan sebuah noken ada di belakangnya, tergantung di kepalanya. Di dalam noken itu ada barang-barang hasil kebun, dan terkadang bisa juga dijumpai anak bayinya. Dapat dikatakan bahwa, anak yang baru lahir selalu berada di noken ketika sang ibu bepergian.
Dari sini, dapat ditemukan sebuah nilai dari noken, yaitu tempat kehidupan.
Bagi seorang anak yang baru lahir, noken itu adalah rahim kedua. Rahim adalah
tempat kehidupan. Sejak pertemuan sel telur dan sperma, selama sembilan bulan
kita ada di rahim ibu hingga kita benar-benar siap untuk kehidupan dunia. Dan
setelah lahir, ternyata anak manusia belum bisa apa-apa. Karena masih dalam
kondisi tak berdaya, seorang bayi Papua biasanya ditempatkan di dalam noken
hingga ia mampu berjalan. Jadi, noken adalah rahim kedua bagi seorang bayi
Papua. Di sini sang bayi mulai sedikit belajar mengenal kehidupan real.
Selain menampung kehidupan anak manusia yang baru dilahirkan, noken juga
menampung barang-barang hasil kebun: petatas, daun singkong, buah merah,
daging, dll. Semua yang berguna untuk kehidupan manusia ditampung di noken.
Benda-benda hasil kebun (bisa juga dari belanjaan di pasar) kemudian akan
diolah di rumah (honai) menjadi bahan makanan untuk kehidupan anggota keluarga.
Dalam pemilu, surat suara merupakan hidup rakyat. Hidup rakyat itu
dipercayakan kepada anggota legislatif (bandingkan lagu Wakil Rakyat, karya
Iwan Fals) dalam pileg, dan juga presiden dalam pilpres. Semua kita tentu
berharap agar ada perubahan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa pasca pemilu.
Kita berharap para wakil rakyat dan juga presiden terpilih mengusahakan
kesejahteraan hidup rakyatnya.
Apa hubungannya dengan noken? Bagaimana nilai ini dikaitkan dengan pemilu?
Nilai dasar sebuah noken adalah penampung kehidupan. Warga sadar bahwa surat
suara adalah hidup mereka. Karena noken merupakan penampung kehidupan, maka
dari itu, surat suara mereka pun dimasukkan ke dalam noken. Warga Papua Tengah
yang memiliki budaya noken menemukan tempat yang pas sebagai sarana menampung
kehidupan mereka. Bagi mereka, kotak suara tidak memiliki makna dan nilai.
Jadi, dalam noken ada kehidupan warga tempat berlangsungnya pemilihan itu.
Kehidupan itu nantinya akan diolah, sebagaimana benda-benda kehidupan dari
kebun yang diolah menjadi hidangan kehidupan bagi anggota keluarga. Artinya,
kehidupan itu nanti akan kembali lagi kepada mereka, baik berupa bantuan
langsung perbaikan taraf kehidupan maupun berupa sistem yang dapat mengangkat
taraf kehidupan mereka.
Melihat nilai dan makna noken yang sangat luhur ini, sangat disayangkan
jika masih ada orang yang mempermasalahkannya. Dapatlah dikatakan bahwa mereka
tidak memahami nilai noken itu sebenarnya. Mereka hanya melihat sebatas hukum
saja. Memang harus diakui bahwa sistem noken menyalahi aturan hukum. Namun
sadarkah kita bahwa saat membuat aturan itu, tak satu pun ahli yang
mempertimbang hal ini. Artinya, produk hukum yang dihasilkan sama sekali tidak
mempertimbangkan nilai-nilai dan kekhasan budaya setempat. Karenanya wajar bila
dikatakan bahwa sistem noken itu salah dari aspek hukum. Namun bukan lantas
berarti sistem noken itu buruk, baik dari aspek hukum apalagi moral.
Demikian pula soal peran Kepala Suku dalam proses pencoblosan. Sistem ini
dilihat melanggar hak asasi manusia. Orang melihat bahwa setiap pemilih
memiliki hak atas dirinya sendiri. Namun orang perlu memahami sistem
kekeluargaan dalam alam budaya Papua. Bukan berarti demokrasi noken tidak
menghargai suara pribadi seorang warga pemilih. Dalam sistem kesukuan di Papua,
peran Kepala Suku bukan hanya sekedar melindungi, memperhatikan kesejahteraan
warga sukunya atau lainnya, melainkan juga berperan sebagai penampung aspirasi
warganya.
Sebelum proses pemilihan berlangsung, Kepala Suku melakukan pembicaraan
dengan warganya berkaitan dengan siapa yang bakal dipilih. Ini menyangkut hidup
mereka bersama. Karena itu, mereka musti satu suara. Suara yang bulat ini dipercayakan
kepada Kepala Suku. Karena itu, waktu pemilihan, semua surat suara diserahkan
kepada Kepala Suku untuk dicoblos, sesudah itu, surat suara dimasukkan ke dalam
noken.
Sama sekali tidak melanggar prinsip demokrasi. Justru dalam demokrasi
noken, kita melihat nilai demokrasi sebenarnya. Yang selama ini terjadi adalah
orang menilai demokrasi noken hanya pada sisi permukaan saja, yaitu pada saat
proses pemilihan. Jika orang melihat lebih ke dalam lagi, maka orang akan
merasa kagum dengan demokrasi noken.
Oleh karenaa itu, sangatlah tidak pantas orang yang tidak paham akan nilai
luhur demokrasi noken, khususnya orang dari luar Papua, mempermasalahkan
demokrasi ini. Orang harus menggunakan kacamata Papua dulu untuk melihat
demokrasi noken ini. Justru kita berharap agar demokrasi noken ini
dilestarikan. Bukan tidak mungkin, ia menjadi daya tarik wisata, saat menjelang
pemilu.
diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar