Dan sungguh,
(Al-Qur’an) itu (disebut) dalam kitab-kitab orang yang terdahulu. (QS 26: 196)
Publik
sudah tahu kalau Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah
satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam. Hal ini disebabkan karena
Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung. Artinya, Allah langsung
berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad kemudian meminta pengikutnya untuk
menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa yang tertulis di
dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Al-Qur’an dikenal juga
sebagai wahyu Allah. Karena Allah itu maha benar, maka benar pula apa yang
tertulis di dalam Al-Qur’an. Selain itu, Al-Qur’an dinilai suci karena Allah
adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qur’an berarti juga penghinaan terhadap
Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberi bentuk hukuman bagi mereka yang menghina Allah (QS al-Maidah: 33).
Al-Qur’an
dikenal juga sebagai kitab atau keterangan yang jelas. Kata “jelas” di sini
dimaknai bahwa apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an harus dimaknai secara
lugas. Dengan kata lain, ketiga Allah berbicara, Allah tidak menggunakan
kata-kata kias. Karena itu, kata “membunuh” harus dipahami dengan tindakan
menghilangkan nyawa seseorang, tidak ada makna lain. Demikian pula dengan kata
“perang” atau “jihad”. Memang tidak semua perkataan Allah itu selalu bermakna
lugas. Ada beberapa yang memiliki makna kias, terlebih kata-kata yang
berkonotasi seksual. Misalnya, kata “bercampur” dimaknai dengan bersetubuh.
Sekalipun memakai makna kias, tetap saja perkataan Allah itu mudah dipahami,
karena Allah sendiri sudah berfirman bahwa diri-Nya telah memudahkan Al-Qur’an
supaya mudah dipahami.
Berangkat dari premis-premis di atas, dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat
Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah yang langsung disampaikan kepada
Muhammad. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa kutipan di atas tidaklah
sepenuhkan merupakan perkataan Allah. Dua kata yang berada di dalam tanda
kurang, yaitu “Al-Qur’an” dan juga “disebut”, harus diakui sebagai tambahan
kemudian yang berasal dari tangan-tangan manusia. Aslinya wahyu Allah ini
berbunyi sebagai berikut: “Dan sungguh, itu dalam
kitab-kitab orang yang terdahulu.”
Ketika wahyu Allah berada dalam bentuk aslinya, maka yang dijumpai adalah ketidak-jelasan makna. Dengan demikian, ia bertentangan dengan wahyu Allah sendiri, yang menyatakan Al-Qur’an adalah kitab atau keterangan yang jelas. Membaca kutipan ayat di atas dalam bentuk aslinya hanya menemui ketidak-jelasan. Apa yang dimaksud dengan “itu” dan siapa yang dimaksud dengan “orang-orang yang terdahulu”. Sungguh tidak jelas. Ketidak-jelasan ini akhirnya melahirkan kebingungan bagi umat islam di kemudian hari. Akhirnya, dengan inisiatif mereka kemudian menambahkan dua kata pada wahyu Allah tersebut, yaitu kata “Al-Qur’an” dan “disebut”. Dengan penambahan itu maka wahyu Allah menjadi mudah dipahami, yakni bahwa Al-Qur’an sungguh disebut dalam kitab-kitab orang yang terdahulu. Tentang frase terakhir, umumnya dipahami sebagai orang Yahudi dan Nasrani, sehingga kitabnya adalah Taurat dan Injil.
Jadi,
dalam ayat 196 ini Allah SWT hendak mengatakan bahwa Al-Qur’an telah disebut
dalam Taurat dan Injil. Menjadi pertanyaan, benarkah demikian. Benarkah Al-Qur’an
telah disebut dalam Taurat dan Injil. Dapatkah Allah dan umat islam menunjukkan
dimana persisnya Al-Qur’an itu disebut?
Membaca
wahyu Allah ini tentulah umat islam percaya begitu saja. Dasarnya karena itu
adalah perkataan Allah, dimana Allah itu diyakini maha benar. Karena itu, jika
Allah mengatakan bahwa Al-Qur’an telah disebut dalam Taurat dan Injil, itu
berarti benar Al-Qur’an telah disebut dalam dua kitab orang Yahudi dan Nasrani
itu. Mana mungkin Allah berbohong. Tidak akan mungkin Allah salah. Namun jika
umat islam diminta untuk membuktikan, dapat dipastikan mereka tidak bisa
menunjukkan dibagian mana dari kitab orang Yahudi dan Nasrani yang menyebutkan
Al-Qur’an. Sementara orang Yahudi dan Nasrani, ketika membaca ayat ini, mereka
hanya tersenyum saja. Bukan tidak mungkin orang Yahudi dan Nasrani sekarang
akan berkata seperti orang Yahudi dan Nasrani dahulu, “Itu hanya mimpi-mimpi
Muhammad” (QS al-Anbiya: 5) atau “Itu adalah kebohongan yang diada-adakan
Muhammad” (QS Saba: 43: QS al-Furqan: 4).
Ketika
membaca kutipan ayat di atas, spontan orang Yahudi dan Nasrani akan meragukan
kalau ayat ini adalah wahyu Allah. Tentu saja orang Yahudi dan Nasrani menolak
kutipan ayat ini, karena kitab suci Yahudi dan Nasrani berisi sejarah
keselamatan bangsa Israel. Dapat dipastikan, baik Taurat maupun Injil, sama
sekali tidak pernah berbicara tentang Al-Qur’an. Dicari sampai matahari terbit di ufuk barat pun tak akan ditemui
pernyataan, baik tersurat maupun tersirat, bahwa Al-Qur’an sudah disebut dalam
kitab orang Yahudi dan Nasrani. Tidak ada nama Al-Qur’an dalam kitab Taurat dan
Injil. Karena itu, patutlah dikatakan bahwa wahyu Allah di atas hanyalah isapan
jempol belaka, alias kebohongan semata.
DEMIKIANLAH
kajian singkat atas surah asy-Syuara ayat 196. Dari telaah singkat ini, dapat
ditemui beberapa poin penting sebagai berikut.
1. Allah
membuat wahyu yang menyatakan bahwa Al-Qur’an tertulis dalam Taurat dan Injil.
Karena Allah itu maha benar, maka benar juga apa yang dikatakan-Nya. Kebenaran
inilah yang kemudian dipaksakan kepada orang Yahudi dan Nasrani. Menjadi
persoalan, orang Yahudi dan Nasrani sama sekali tidak pernah mendengar kata
“Al-Qur’an” dalam kitab sucinya. Karena tetap tidak mengakui, maka biasanya
orang Yahudi dan Nasrani dituding telah menyembunyikan kebenaran tersebut. Dan
tidak hanya sampai di situ saja, ketika orang islam pun tidak menemukannya,
mereka akhirnya menuding Taurat dan Injil sudah dipalsukan.
2.
Kutipan di atas merupakan bentuk fitnah
Allah terhadap orang Yahudi atau juga orang Nasrani. Fitnah bisa dimaknai
sebagai menuduh tanpa bukti. Menjadi menarik, kata “fitnah” ini mempunyai
konotasi negatif sehingga harus dihindari. Tapi, kenapa Allah justru
melakukannya? Pada QS al-Baqarah: 193, Allah ingin agar tidak ada lagi fitnah,
namun fitnah yang hanya ditujukan pada kaum muslim (dan juga Allah) saja. Untuk fitnah kepada orang non
muslim diperbolehkan. Allah macam apa ini?
3.
Dari kutipan wahyu di atas, bisa dikatakan
kalau Allah itu pembohong. Kata “bohong” bisa dimaknai sebagai mengatakan yang
tidak benar. Sama seperti kata “fitnah”, berbohong juga selalu dinilai sebagai
perbuatan yang tidak baik sehingga harus dihindari. Tapi, kenapa Allah justru
melakukannya? Jika menelaah ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan ini, satu
kesimpulan didapat adalah bahwa memang Allah itu pembohong. Allah sendiri
mengakui hal tersebut. QS an-Nisa
ayat 142 berisi pengakuan Allah bahwa diri-Nya adalah penipu. Sungguh
menyedihkan Allah yang demikian.
4.
Kutipan wahyu di atas hendak
menunjukkan superioritas dan arogansi islam atas agama lain. Umat islam
menggunakan wahyu Allah ini, sekalipun itu fitnah, sebagai dasar untuk
mengatakan kitab suci agama lain sudah palsu atau tidak asli lagi. Coba
seandainya fitnah itu ditujukan kepada Al-Qur’an. Sudah dapat dipastikan umat
islam akan marah. Ini mau memperlihatkan tidak adanya toleransi dalam islam.
Superioritas dan arogansi saja sudah bertentangan dengan spirit toleransi.
Karena itu, bila ada umat islam mengatakan agamanya adalah toleran, itu
hanyalah retorika belaka.
5.
Tafsiran atas wahyu di atas
mau menunjukkan bahwa Allah memerlukan dukungan dari agama lain atas Al-Qur’an.
Sepertinya Allah kurang percaya diri kalau Al-Qur’an itu adalah wahyu-Nya.
Allah masih membutuhkan pengakuan dari agama lain, entah itu lewat kitab
sucinya maupun dari mulut umatnya. Sementara orang Yahudi dan Nasrani sudah
punya standar untuk menilai sebuah naskah sebagai kitab suci atau bukan; dan
ketika standar itu dikenakan pada Al-Qur’an, jauh panggang dari api. Al-Qur’an
sama sekali tidak memenuhi kriteria sebagai kitab suci sehingga orang Yahudi
dan Nasrani tidak mengakuinya. Ini kemudian membuat Allah kecewa dan
melontarkan fitnah. Hal ini menimbulkan kesan Allah sibuk mencampuri urusan
orang lain, dan ini seakan menjadi spirit umat islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar