Wahai kedua penghuni penjara, “Salah seorang di antara kamu akan bertugas menyediakan minuman khamar bagi tuannya. Adapun yang seorang lagi dia akan disalib, lalu burung memakan sebagian kepalanya. Telah terjawab perkara yang kamu tanyakan (kepadaku).” (QS 12: 41)
Al-Qur’an
diyakini oleh umat islam merupakan wahyu Allah yang secara langsung disampaikan
kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa dipahami sebagai berikut: Allah
berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad mendengarnya. Apa yang didengar
Muhammad itulah yang kemudian ditulis dan akhirnya menjadi sebuah kitab yang diberi
nama Al-Qur’an. Dengan perkataan lain, umat islam percaya dan meyakini bahwa
apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan kata-kata Allah SWT sendiri.
Karena itu, umat islam menaruh hormat yang tinggi kepada Al-Qur’an. Pelecehan
terhadap Al-Qur’an sama artinya pelecehan kepada Allah SWT. Dan orang yang
melakukan hal itu, berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an, wajib dibunuh (QS al-Maidah: 33).
Umat
islam menganggap dan menilai Al-Quran sebagai keterangan dan pelajaran
yang jelas, karena memang demikianlah yang dikatakan Allah sendiri. Allah telah memudahkan wahyu-Nya sehingga umat bisa
dengan mudah pula memahaminya. Sebagai pedoman dan penuntun
jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga
mudah dipahami oleh umat islam. Umumnya
para ulama menafsirkan kata “jelas” di sini
dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah
menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan kata lain, perkataan Allah itu sudah
jelas makna dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah
sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran.
Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan
kehendak Allah sendiri.
Berangkat
dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah Yusuf ayat 41 di atas (kecuali kata yang
berada dalam tanda kurung) merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah
SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana
seperti itu juga yang didengar oleh nabi Muhammad SAW. Dan apa yang disampaikan
Allah ini sudah jelas maknanya. Dengan mudah umat akan memahami bahwa kutipan ayat di
atas merupakan sepenggal kisah tentang Yusuf. Kepastian ini bisa didapat bila
kita mengaitkannya dengan ayat-ayat sebelumnya, terkhusus ayat 37. Bisa juga
kepastian itu diperoleh bila mengaitkan dengan ayat-ayat berikutnya.
Wahyu Allah ini bercerita tentang jawaban Yusuf akan mimpi dua orang yang bersamanya di dalam penjara. Mimpi kedua orang itu bisa dibaca pada ayat 36. Kepada yang bermimpi memeras anggur, Yusuf menyampaikan arti mimpinya itu, yakni bahwa orang tersebut akan bertugas menyediakan minuman khamar bagi tuannya. Sementara yang bermimpi membawa roti di atas kepada tapi burung memakannya, Yusuf menjelasnya maknanya, yaitu orang tersebut akan disalib, lalu burung memakan sebagian kepalanya. Setelah menjawab kedua mimpi itu, Yusuf pun menegaskan bahwa dirinya telah menjawab perkara yang ditanyakan kepadanya.
Sampai di sini wahyu Allah di atas tidak menemukan
masalah. Semuanya berjalan sesuai dengan sabda Allah, yakni jelas. Akan tetapi,
wahyu Allah ini akan menemui satu persoalan bila dikaitkan dengan kebenaran.
Memang Allah sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran yang meyakinkan
(QS al-Haqqah: 51). Dan umat islam percaya bahwa Al-Qur’an adalah kitab
kebenaran. Apa yang tertulis di dalamnya adalah benar; tidak bisa salah atau
keliru. Dasarnya sederhana: sumber dari Al-Qur’an adalah Allah yang diyakini
sebagai maha benar. Namun, ada satu kebenaran dalam kutipan wahyu Allah di atas
yang patut diragukan. Yusuf mengatakan bahwa salah seorang yang pemimpi itu
akan disalibkan. Umumnya, penyaliban merupakan bentuk hukuman. Pertanyaan,
benarkah hukuman salib sudah ada pada masa Yusuf?
Dari penelusuran sejarah penyaliban ditemui bahwa hukuman
salib pertama kali digunakan oleh bangsa Persia pada abad VI Sebelum Masehi.
Dalam Britannica dengan kata kunci pencarian crucifixion (capital punishment) dikatakan bahwa pada
tahun 519 SM Darius I, Raja Persia, menyalibkan
3.000 orang di Babylon. Ini merupakan
catatan sejarah, yang berdasarkan penelitian ilmiah. Dari catatan sejarah ini
bisa disimpulkan bahwa penyaliban terhadap manusia baru terjadi pada tahun 600
– 500 Sebelum Masehi, dan itu pertama kali ada di Persia.
Menjadi
menarik, dalam kutipan wahyu Allah di atas, Yusuf menegaskan bahwa salah
seorang pemimpi akan disalib. Dengan perkataan lain, orang tersebut akan
menjalani hukuman penyaliban. Dengan demikian hukuman salib sudah ada pada masa
Yusuf. Perlu diketahui, secara historis Yusuf
berada di Mesir antara tahun
1900-an Sebelum Masehi. Jadi, bisa dikatakan bahwa hukuman salib sudah ada
sejak tahun 1900-an SM (abad XIX SM).
Ada dua
perbedaan data terkait hukuman salib. Data historis mengatakan hukuman salib
pertama kali dilakukan pada abad VI SM, sementara data Al-Qur’an menyebut abad
XIX SM. Data mana yang benar? Tidak mungkin kedua data ini sama-sama benar.
Haruslah salah satunya salah. Bagi umat islam tentulah data Al-Qur’an yang
benar, sementara data historis salah. Mana mungkin Allah, yang adalah maha
benar, menghasilkan wahyu yang salah atau keliru. Seandainya benar penyaliban pertama
kali baru ada pada abad VI SM, pastilah sudah akan disebut Allah. Bukankah
Allah itu maha mengetahui? Bagi Allah tidak ada sesuatu
pun yang tersembunyi di bumi dan di langit (QS
Ali Imran: 5). Namun, bagi ahli sejarah tentulah mengatakan informasi Al-Qur’an
salah. Mereka lebih percaya pada data historis. Pastilah mereka sudah
mengadakan penyelidikan dan penelitian ke Mesir, namun tidak menemukan adanya
jejak penyaliban di sana. Jejak itu baru ditemukan di Persia, dan baru abad VI
SM.
Perbedaan
data ini juga tampak pada wahyu Allah lainnya, misalnya soal siapa yang mati di
kayu salib. Jika data sejarah mengatakan Yesus, Al-Qur’an bilang bukan Yesus,
tapi orang yang mirip dengan-Nya. Berhadapan dengan perbedaan ini juga sikap
umat islam umumnya sama. Mereka percaya pada Al-Qur’an dari pada data sejarah,
sekalipun data sejarah dibuat oleh saksi langsung, sementara Al-Qur’an baru ada
6 abad setelah kematian Yesus. Dasar kepercayaan umat islam adalah Al-Qur’an
itu adalah wahyu yang langsung dari Allah. Tidak akan mungkin Allah berbohong
atau salah dalam memberi informasi.
Akan
tetapi, semua itu adalah hak umat islam. Dari wahyu Allah ini dapatlah ditarik
satu kesimpulan bahwa kutipan ayat di atas bukanlah wahyu Allah. apa yang
tertulis dalam surah Yusuf ayat 41 bukanlah kata-kata Allah, tetapi hasil
rekayasa manusia. Dan manusia yang bertanggung jawab di sini adalah Muhammad.
Dabo Singkep, 18 Desember 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar