Mobil antar jemput anak sekolah berhenti di depan rumah keluarga Yohanes
Firmansyah Angsana. Pintu samping mobil terbuka, dan keluarlah gadis cilik
dengan tas ransel di punggungnya. Dialah Theresia Putri Angsana, yang biasa
disapa Tere, siswi SD St. Agustinus kelas 5.
“Terima kasih, Om Andre,” ucap Tere kepada sopir mobil itu sebelum menutup
kembali pintu mobil. Diangkatnya tangannya untuk membalas lambaian tangan
teman-temannya dari dalam mobil.
Setelah mobil hilang dari pandangannya, ia membalik badan menuju rumahnya.
Di teras rumah ibunya, Maria Handayani Putri, sudah berdiri menanti.
Direntangkan tangan menyambut putri bungsunya dalam pelukan. Sebuah kecupan
mendarat di kening Tere. Kemudian keduanya memasuki rumah.
“Tere ada peer?”
“Ada, Ma.”
“Ya uda, Tere bawa dulu tasnya ke kamar, ganti baju baru maem. Jangan lupa
cuci tangannya.”
Sambil mengiyakan perintah mamanya, Tere berlari kecil menuju kamarnya.
Sementara itu Maria menyiapkan makan siang. Tak lama kemudian Tere muncul dan
makan siang bersama mamanya.
“Ma, kenapa sih Bang Agus mau ke seminari?” Sambil menikmati makannya, Tere
bertanya perihal abangnya yang memutuskan masuk seminari menengah.
“Kan abang mau jadi romo. Kalau mau jadi romo, ya musti masuk seminari.”
“Kayaknya abang betah di sana. Gak pulang-pulang. Gak telponan.”
“Kalau masuk seminari ya harus gitu. Dulu, waktu paman Markus masuk seminari juga gak pulang-pulang. Paling liburan semester aja.” Kisah Maria tentang abangnya.
Tere menghabiskan sisa terakhir makan siangnya dari piringnya. Maria
tersenyum puas melihat putrinya menikmati makanannya. Setelah berdoa, Tere
membawa piring dan gelas kotor ke dapur. Maria mengembalikan sisa makanan ke
dalam lemari makanan.
“Habis ini Tere bobo siang, ya!” Ujar Maria tanpa menyadari Tere sudah di
sampingnya.
“Ma, kalau Tere jadi suster boleh gak?”
Maria menatap wajah putrinya. Ia berlulut di hadapan Theresia dan memegang
bahunya. “Kalau itu cita-cita Tere, mama setuju. Mama senang.”
“Tapi, nanti mama sendirian di rumah.”
Maria memeluk putrinya. Dibelainya kepala Tere dengan lembut. Ia merasa
terharu dengan kepedulian putri bungsunya itu. Yah, sejak suaminya pergi
meninggalkannya dan anak-anak 5 tahun lalu, Maria hidup sendiri bersama kedua
anaknya. Ia menghidupi keluarganya dengan bisnis kecil-kecilan.
“Mama tetap mendukung,” bisiknya di telinga Tere. “Sekarang Tere bobo dulu
ya. Mama mau siap-siap bahan untuk jualan besok.”
“Peernya?”
“Oya. Peer apa sih?”
“Bahasa Indonesia. Bikin cerita tentang anggota keluarga.”
“Maksudnya?”
“Ya bikin cerita tentang anggota keluarga gitu.”
“Kayak hidupnya, gitu?”
Tere mengangguk.
“Semua anggota keluarga atau satu saja?”
“Satu aja. Tere mau cerita tentang kakek. Kan mama suka banggain kakek.”
Maria tersenyum. “Kapan dikumpulin?”
“Ini hari Rabu. Besok…. ,” Tere berpikir sejenak. “Hari Jumat, Ma.”
“Yah uda, ganti dongeng malam ini, mama akan cerita tentang kakek. Besok
Tere kembali tulis di buku tugasnya ya.”
Tere menganggukkan kepala lalu pergi menuju kamarnya. Maria termenung
sejenak. Ia berpikir rangkaian cerita tentang ayahnya sebagai bahan cerita
untuk Tere nanti malam. Apa yang mau kuceritakan tentang ayah, batin Maria.
Namun akhirnya Maria menemukan satu topik menarik. Dengan langkah ringan ia
berjalan menuju dapur.
***
Di atas tempat tidur, Tere bersandar di dada Maria yang terus bercerita.
Maria menceritakan perjuangan ayahnya menghidupi dan membesarkan ketiga anaknya
seorang diri setelah istriya meninggal. Istrinya, yang adalah ibunya Maria,
meninggal ketika Maria baru mau masuk sekolah; abang Maria yang pertama saat
itu baru kelas 7 dan yang kedua kelas 4. Kematian ibu sangat mendadak. Padahal
umur ibu saat itu baru 36 tahun.
Ayah hanya menggunakan jasa pembantu hingga Maria kelas 4 SD. Selebihnya
ayah sendiri yang merawat anak-anaknya. Maria adalah anak putri satu-satunya.
Kedua saudaranya sangat menyayanginya. Merekalah yang ganti menjaga dan
mengurus Maria ketika ayahnya tidak di rumah.
Ayah tak mau mencari wanita lain sebagai ganti ibu bagi anak-anak, demi
cintanya kepada istrinya. Para saudara ayah sudah mengusulkan hal itu. Malah
ada yang menawarkan calon. Akan tetapi semuanya ditolak ayah dengan halus.
Perjuangan ayah tidaklah sia-sia. Ketiga anaknya terbilang sukses (mungkin
kecuali Maria yang gagal dalam keluarga). Putra sulungnya menjadi imam
misionaris. Mungkin karena dia, maka Agus, putra Maria, pun mau masuk seminari.
Dia pernah bilang pengen seperti paman. Yang kedua tukang servis komputer.
Sudah berkeluarga dengan 3 anak. Mereka tinggal di Bandung.
Ayah meninggal tak lama setelah Maria memperkenalkan pacarnya Firmansyah
Angsana. Berbeda dengan kedua saudaranya, pernikahan Maria tidak dihadiri oleh
orang tuanya.
“Kenapa kakek gak mau menikah lagi?”
“Kakek sangat mencintai nenek. Ketika menikah, cinta kakek hanya kepada
nenek. Bahkan maut pun tidak memisahkan mereka.”
“Apa mama sangat mencintai papa sehingga mama gak mau menikah lagi?”
Maria kaget dengan pertanyaan Tere, tapi segera menyembunyikan
kekagetannya. “Tere bobo aja ya. Uda malam. Lagian matanya uda ngantuk.”
Setelah berdoa bersama, Maria membuat tanda salib di dahi Tere dan kemudian
mengecup keningnya. Ia meninggalkan Tere berbaring di ranjangnya. Maria
berjalan menuju dapur. Pertanyaan Tere masih mengiang di telinganya. Pertanyaan
itu pernah juga dilontarkan Agus sebelum masuk ke seminari.
“Mama masih mencintai papa kalian walau papa meninggalkan kita,” ujarnya.
“Kalau papa kembali lagi, mama terima?”
“Ketika mengucapkan janji nikah, mama akan menerima papa dalam suka maupun
duka, untung dan malang. Hanya kematian saja yang dapat memisahkan. Apapun
keadaan papa, mama harus terima. Kita tak boleh membenci papa, meski papa sudah
berbuat demikian. Kita musti tetap mencintainya.”
Agus memeluk mamanya.
***
Ruang kelas 5, SD St. Agustinus, hari Jumat, pelajaran bahasa Indonesia.
Tere sedang membacakan tugas bahasa Indonesianya. Cerita tentang kakek. Guru
dan teman-teman pada serius mendengar. Suasana kelas senyap.
“Jadi, maut pun tidak dapat memisahkan cinta kakek pada nenek. Karena
besarnya cinta kakek pada nenek, kakek tidak kawin lagi dan sendirian mengurus
mama dan pamanku. Selesai.”
Ada jedah beberapa detik sebelum tepuk tangan menyambut cerita Tere. Mereka
merasa terharu. Tere tersenyum. Dia merasa senang menerima pujian. Aku akan
cerita ke mama, batinnya.
Wisma Unio, 27 Oktober 2014
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar