Natal sebagai Peristiwa Iman
Natal merupakan peristiwa iman. Pusat imannya adalah Yesus Kristus. Yesus,
yang adalah Allah, turun ke dunia menjadi manusia. Yohanes, dalam Injilnya,
berkata, “Firman telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita.” (Yoh 1:
14). Inilah yang dikenal dengan istilah inkarnasi. Jadi, inti iman dalam peristiwa
natal adalah inkarnasi.
Kenapa peristiwa inkarnasi, bagi umat kristiani, disebut sebagai peristiwa
iman? Orang Kristen percaya bahwa Allah itu mahakasih dan mahakuasa. Karena
kasih-Nya, Allah ingin menyelamatkan manusia. Allah menyelamatkan manusia melalui
cara Allah, yaitu menjadi manusia dan tinggal di antara manusia.
Banyak orang tidak bisa menerima fakta, yang bagi kaum nasrani dikenal
sebagai kebenaran iman, bahwa Allah menjadi manusia. Fakta ini tidak bisa
dimengerti oleh akal budi manusia. Bagaimana mungkin Allah yang mahakudus hadir
dalam diri manusia yang lemah dan penuh cacat cela? Bagi mereka, yang ilahi
tidak bisa bersatu dengan yang fana dan duniawi. Karena itulah, banyak orang
menolak kebenaran iman ini. Malah mereka menilai bahwa hal tersebut – Allah
menjadi manusia – adalah dosa (menyekutukan Allah). Terlihat jelas bahwa mereka
menolak hanya karena otak mereka tidak sanggup memahaminya.
Berbeda dengan orang kristen. Para pengikut Kristus ini tidak melihat
peristiwa inkarnasi sebagai peristiwa akali semata, melainkan lebih pada
peristiwa iman. Bagi orang kristiani otak manusia itu sangatlah terbatas.
Sehebat dan segenius apapun manusia, otaknya memiliki keterbatasan. Ia tidak
mampu memahami segala-galanya, apalagi Allah yang mahakuasa. Keterbatasan otak
inilah yang akhirnya diimbangi dengan iman. Maka, di saat budi tak mampu
memahami, iman berperan. Dengan iman ini orang berkata, "Aku percaya
sekalipun aku tidak tahu apa-apa."
Bagi umat nasrani, dalam peristiwa natal (kelahiran Yesus) terlihat bukan saja Allah mengasihi umat manusia, melainkan juga Allah yang mahakuasa. Karena Allah itu mahakuasa, ia dapat mengatur rencana penyelamatan-Nya sesuai kehendak-Nya. Karena kemahakuasaan-Nya, Allah bisa menjadi apa dan siapa saja menurut yang dimaui-Nya. Paulus, dalam suratnya yang pertama kepada umat di Korintus, menulis, “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasehati Dia?” (ay. 16). Tidak ada satu manusia di dunia ini yang mengetahui jalan pikiran Allah sehingga bisa mengatur-atur rencana Allah.
Jadi, jika Allah mau menjadi manusia, itu adalah HAK Allah. Dia mahakuasa.
Dengan kemahakuasaan-Nya, Allah bisa menjadi apa dan siapa saja sesuai
kemauan-Nya. Manusia, dengan segala keterbatasannya, hanya bisa menerima
rencana Allah bagi hidupnya. Masak manusia yang mengatur bahwa
Allah harus begini dan begitu, tidak boleh begini dan begitu. Jika manusia
sudah mengatur-atur demikian, maka hilanglah kemahakuasaan Allah; bukan lagi
Allah yang maha kuasa, melainkan manusianya.
Karena itu, benar apa yang diungkapkan Paulus: “Oh, alangkah dalamnya
kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki
keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya. Sebab,
siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi
penasehat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya,
sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan
oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dia-lah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rom
11: 33 – 36).
Natal sebagai Peristiwa Syukur
Selain sebagai peristiwa iman, natal juga dilihat sebagai peristiwa syukur.
Jika dalam peristiwa iman, kita diajak untuk beriman, maka dalam peristiwa
syukur ini kita diajak untuk bersyukur atau hidup dengan rasa syukur. Kita
dapat menimba teladan syukur dari tokoh-tokoh utama dalam peristiwa natal ini.
Salah satunya adalah Bunda Maria.
Maria tahu benar bahwa janin yang ada dalam rahimnya adalah Anak Allah yang
mahatinggi. Maria sadar betul kalau anak yang ada dalam kandungannya adalah
Putera Raja Daud. Puteranya akan menduduki takhta Daud. Kesadaran ini
didasarkan pada pernyataan Malaikat Gabriel kepada Maria. Gabriel berkata,
“Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki
dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Dia akan menjadi besar dan akan disebut
Anak Allah yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya
takhta Daud, bapa leluhurnya, dan Ia akan menjadi raja …" (Luk 1: 31 –
33).
Sebagai manusia, tentulah Maria sangat bergembira dengan kabar ini. Anaknya
akan menjadi raja. Ibu mana yang tidak bangga bila mengetahui bahwa puteranya
bakal menjadi presiden, menteri atau penjabat tinggi lainnya? Namun, apa yang
terjadi? Maria melahirkan di kandang hewan. Itulah natal. Tidak ada sambutan
meriah sebagaimana yang biasa dibayangkan. Semuanya serba sederhana, jauh dari
kesan glamour untuk ukuran putera raja; bahkan untuk ukuran manusia biasa
sekalipun.
Sebagai manusia biasa, tentulah Maria sangat kecewa dan marah. Apa yang
dibayangkan, yaitu bakal ada sambutan meriah karena melahirkan putera raja dan
Anak Allah, hilang sirna. Yang terjadi justru jauh sebaliknya. Kalau kita
bayangkan, tentulah Maria merasa sakit hati.
Akan tetapi Maria tidak menunjukkan perasaan itu. Maria malah bersyukur.
Maria tetap menghidupi spiritualitas hidupnya, yaitu “Terjadilah padaku menurut
kehendak-Mu!” Sekalipun yang terjadi sangat jauh dari harapannya, Maria tetap
bersyukur. Ia tetap menjalani hidupnya, menjadi ibu bagi Yesus, karena itu
merupakan bagian dari rencana Allah. Rasa syukur yang dihidupi Maria membuat
hidupnya menjadi indah dan bahagia.
Itulah teladan syukur dari Maria. Di sini kita disadarkan bahwa bersyukur bukan
hanya dilakukan saat kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan atau harapkan.
Bersyukur dapat pula dilakukan di saat kita belum mendapatkan apa yang
diinginkan atau diharapkan. Dengan kata lain, kita bersyukur atas apa saja yang
terjadi dalam hidup kita, entah itu positif maupun negatif.
Kita mungkin pernah mendengar kisah raja yang kehilangan jari kelingkingnya
akibat berburu. Ketika ia minta pendapat penasehatnya tentang peristiwa yang
dia alami dan tentang hilangnya jari kelingkingnya itu, si penasehat justru
mengajaknya bersyukur. Nasehat itu sangat menyakitkan hati raja sehingga ia
memenjarakan penasehatnya itu.
Ketika sembuh, raja pergi lagi berburu bersama 3 orang pengawalnya,
termasuk penasehat barunya. Tiba-tiba mereka disergap suku liar. Mereka
dijadikan korban bagi dewa suku itu. Tetapi raja itu tak jadi karena
jari-jarinya tidak utuh. Salah satu syarat korban adalah korban harus sempurna.
Karena tidak menjadi korban bagi dewa, akhirnya raja dibuang ke hutan.
Dengan susah payah, raja akhirnya dapat kembali ke istana. Ia langsung ke
penjara menjumpai penasehatnya. Ia menghaturkan terima kasih kepadanya. Dengan
tenang penasehatnya itu berkata, “Tuan, saya juga bersyukur karena tuan
memenjarakan saya. Jika tidak, pastilah saya menjadi korban bagi dewa suku liar
itu.”
Bersyukur Bagian dari Iman
Bersyukur merupakan ungkapan iman. Orang yang beriman senantiasa memenuhi
hidupnya dengan bersyukur. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, ia akan
bersyukur, karena ia melihat ada rencana Tuhan di balik semua peristiwa
hidupnya. Ia tidak melihat suatu peristiwa sebagai suatu kebetulan. Itulah
iman.
Natal adalah peristiwa iman dan syukur. Dalam pesta natal ini, umat
kristiani bersyukur karena Allah yang mahakuasa mau mengasihi manusia dan
menyelamatkannya dengan menjadi manusia. Umat kristiani menerima saja apa yang
direncanakan Allah, termasuk menjadi manusia. Mereka tidak memaksakan
kehendaknya supaya Allah hadir dengan segala keperkasaan dan kemahakuasaan-Nya.
Justru dengan menjadi manusia, karena itu sesuai dengan kehendak-Nya, orang
kristen tetap melihat Allah itu mahakuasa. Dan untuk tindakan Allah itu, orang
kristen bersyukur.
Oleh karena itu, pesta kelahiran Yesus Kristus, atau biasa disebut natal,
mengajak kita untuk menumbuhkan rasa syukur dalam hidup. Orang yang tahu
bersyukur adalah orang yang beriman, karena ia bisa melihat dan menemukan
rencana Tuhan di balik setiap peristiwa hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar