Dan sungguh, Kami telah memberikan Kitab (Taurat) kepada Musa, lalu
diperselisihkannya. Dan kalau tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Tuhanmu,
niscaya telah dilaksanakan hukuman di antara mereka. Sungguh, mereka (orang
kafir Mekkah) benar-benar dalam kebimbangan dan keraguan terhadapnya
(Al-Qur’an) [QS 11: 110]
Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas
dan dasar iman bagi hidupnya. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an datang langsung
dari Allah. Ada dua versi pemaknaan dari kata
“langsung” ini. Versi pertama memahami Al-Qur’an, sebagai sebuah kitab yang
utuh diberikan langsung kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini didasarkan pada kisah
malaikat yang menampakkan diri kepada Muhammad, yang waktu itu sedang bersemedi
di gua Hira. Saat itu malaikat memberi perintah singkat: Bacalah! Tentulah waktu itu sudah ada kitab, yang belakangan dikenal dengan
nama Al-Qur’an, sehingga malaikat menyuruh Muhammad untuk membacanya. Versi
lain memahami bahwa wahyu Allah SWT diturunkan secara bertahap dalam kurun
waktu 23 tahun. Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu Mekkah dan Madinah (jaraknya kurang lebih 450 km). Makna “langsung” di sini Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada
Muhammad, dan kemudian ditulis. Kumpulan tulisan wahyu Allah ini kemudian
dikumpulkan, dan jadilah Al-Qur’an.
Ada banyak paham tentang
Al-Qur’an ini, yang semuanya berasal dari perkataan Allah sendiri. Ada wahyu
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah keterangan yang jelas (QS Ali Imran:
138) ada juga yang mengatakannya sebagai penjelasan yang sempurna (QS Ibrahim:
52). Terkait dua wahyu ini, tak sedikit ulama islam memaknai Al-Qur’an sebagai
kitab yang sudah terang benderang, sehingga tak perlu lagi penafsiran. Arti dan
makna wahyu Allah seperti apa yang tertulis.
Berangkat dari premis-premis di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas adalah perkataan Allah sendiri (kecuali kata-kata yang ada dalam tanda kurung). Apa yang dikatakan Allah itu sudah jelas arti dan maknanya. Karena itulah, tulisan ini lebih pada pengkajian atas wahyu Allah tersebut, bukan berusaha menangkap pesannya. Penelaahan atau kajian atas wahyu Allah ini akan bisa mengungkap seberapa jelas wahyu Allah tersebut.
Sepintas sudah terlihat
bahwa wahyu Allah di atas terdiri dari 3 kalimat. Pertama-tama kita akan
melihat kata ganti orang yang ada pada ketiga kalimat tersebut. Setidaknya ada
4 kata ganti, yaitu
1. Kami. Kata ini terdapat pada kalimat pertama. Penggunaan huruf kapital
menunjukkan bahwa kata ganti “kami” ini merujuk pada Allah yang sedang
berbicara. Allah ini juga yang memberikan
Kitab Taurat kepada Musa. Jadi, Allah yang berbicara dan Allah yang memberikan Kitab Taurat kepada Musa
adalah Allah yang satu dan sama.
2. –nya.
Ini adalah kata ganti orang ketiga kepunyaan tunggal (jamak: mereka). Ada dua
kata ganti “-nya”, yang terdapat pada 2 kalimat, yaitu kalimat pertama (diperselisihkannya) dan kalimat ketiga
(terhadapnya). Untuk kata ganti “-nya” pada kalimat ketiga sudah jelas
maksudnya, karena sudah diberi keterangan tambahan dalam tanda kurung. Kata itu
dimaksudkan sebagai Al-Qur’an. Akan tetapi, keterangan tambahan kemudian, yang
bisa dipastikan berasal dari manusia, tentulah sedikit membingungkan. Kenapa
kata “-nya” pada kalimat ketiga ini dimaknai sebagai Al-Qur’an, sedangkan yang
lain tidak. Apakah kata ganti “-nya” pada kalimat pertama juga mempunyai makna
yang sama seperti pada kalimat ketiga? Tentu saja tidak. Akan tetapi, maksud
atau makna kata ganti “-nya” pada kalimat pertama tidak jelas. Apakah mengacu
pada Kitab Taurat atau orang-orang yang memperselisihkan kitab tersebut? Jika
yang dimaksud adalah orang-orang yang memperselisihkan, maka berdasarkan ilmu
linguistik seharusnya digunakan kata ganti “mereka”. Akan tetapi, jika mengacu
pada Kitab Taurat, maka pertanyaannya siapa yang memperselisihkannya? Jadi, di
sini terdapat dua ketidak-jelasan, yaitu siapa memperselisihkan apa?
Ketidak-jelasan ini tentulah membuat paham Al-Qur’an sebagai kitab atau
keterangan yang jelas menjadi tidak jelas. Artinya, Al-Qur’an sebagai kitab
atau keterangan yang jelas hanya sebagai slogan saja.
3. –mu.
Seperti yang di atas, ini adalah kata ganti orang pertama kepunyaan tunggal
(jamak: kalian). Siapa yang dimaksud “-mu” dalam kata “Tuhanmu” itu? Kalau
menggunakan ilmu linguistik, dalam konteks komunikasi, dapatlah dipastikan kata
“-mu” merujuk kepada Muhammad. Jadi, kata “Tuhanmu” adalah Tuhannya Muhammad.
Yang membuat kalimat kedua ini menarik adalah Allah yang berbicara menyebut
Tuhannya Muhammad. Ini ada dua kemungkinan. Pertama,
Tuhannya Muhammad yang disebut itu berbeda dengan Tuhan yang sedang
berbicara kepada Muhammad. Dengan kata lain, ada dua Tuhan. Jika memang
Tuhannya Muhammad itu adalah Tuhan yang sedang berbicara, maka seharusnya dia
menggunakan kata ganti “kami” seperti pada kalimat pertama. Kedua, Tuhannya Muhammad yang disebut
itu adalah Tuhan yang sedang berbicara. Namun, hal ini sebenarnya masih sangat
lemah. Seharusnya, antara kata “dari” dan “Tuhanmu” harus disisipi kata ganti
“kami”. Dengan demikian kata “Tuhanmu” hendak menjelaskan kata “kami”.
4. Mereka.
Ini adalah kata ganti orang ketiga jamak. Ada dua kata ganti “mereka”, yang
terdapat pada 2 kalimat, yaitu kalimat kedua dan kalimat ketiga. Pada kalimat
ketiga sudah jelas maksudnya, karena sudah diberi keterangan tambahan dalam
tanda kurung. Kata itu dimaksudkan sebagai orang kafir Mekkah. Apakah kata ganti “mereka”
pada kalimat kedua juga mempunyai makna yang sama seperti pada kalimat ketiga? Agak
sulit untuk dipastikan, sama sulitnya menentukan siapa yang dimaksud dengan “orang kafir Mekkah”. Sebagaimana diketahui,
Mekkah merupakan lokasi awal karya perutusan Muhammad. Di Mekkah sudah ada
pemeluk agama lain, selain orang Arab, sesama suku bangsa Muhammad. Di sana ada
orang Yahudi dan Nasrani. Pada awal penampilannya, Muhammad memang terlihat
toleran, menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. Orang Yahudi dan
Nasrani dikenal sebagai kaum ahlul kitab. Orang kafir hanya ditujukan kepada
orang Arab.
Jika dikaitkan dengan kalimat pertama,
kata “mereka” pada kalimat kedua bisa ditafsirkan sebagai orang-orang yang
memperselisihkan Kitab Taurat. Orang-orang inilah yang akan dihukum. Akan
tetapi, tetap saja tidak dapat diketahui dengan pasti apa yang diperselisihkan,
sekalipun sudah dinyatakan Al-Qur'an adalah keterangan yang jelas. Yang membuat
menarik adalah pada kalimat ketiga tiba-tiba muncul kata ganti “mereka” yang
sama sekali tidak ada kaitan dengan kata “mereka” sebelumnya. Namun, hal ini
masih bisa didiskusikan, karena keterangan dari kata “mereka” pada kalimat
ketiga bukan merupakan perkataan Allah, melainkan tambahan kemudian oleh
manusia. Karena itu, bisa saja kata “mereka” pada kalimat ketiga ini sama
dengan kata “mereka” pada kalimat kedua. Jika memang kata “mereka” itu, pada
kalimat kedua dan ketiga, merujuk pada kelompok orang yang sama, maka patut
diduga pada kata tersebut mengacu pada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka inilah
yang menerima Kitab Taurat, dan kemungkinan terlibat dalam perselisihan,
sehingga mereka dihukum. Mereka juga yang meragukan Al-Qur’an.
DEMIKIANLAH kajian atas wahyu Allah
dengan berpusat pada kata ganti yang ada di dalamnya. Dari penelaahan ini
tampak jelas bahwa jalan pikiran Allah yang menyampaikan firman sangat kacau,
karena ada begitu banyak kekacauan dan ketidak-jelasan informasi. Padahal, Allah
sendiri sudah menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab atau keterangan yang
jelas. Mungkin banyaknya kekacauan dan ketidak-jelasan wahyu Allah ini membuat
orang kafir Mekkah berada dalam
kebimbangan dan keraguan. Maklum, karena dalam wahyu Allah itu tidak
dijelaskan sejelas-jelasnya kenapa dan apa yang membuat orang kafir Mekkah
berada dalam kebimbangan dan
keraguan.
Melihat banyaknya kekacauan dan
ketidak-jelasan informasi ini, dapatlah diajukan satu pertanyaan, benarkah
Al-Qur’an atau kutipan ayat di atas merupakan perkataan Allah? Bagi orang yang
mempunyai akal sehat, pastilah akan mengatakan bahwa kutipan ayat itu bukan
dari Allah, karena Allah itu maha sempurna, mahatahu dan maha benar. Tentulah
pendapat ini hendak menyelamatkan Al-Qur’an sebagai kitab yang jelas. Akan
tetapi, pendapat ini bukan tanpa konsekuensi. Jika kutipan itu bukan dari
Allah, maka haruslah dikatakan bahwa kutipan itu bukan ayat Al-Qur’an.
Menjadi persoalan, ada banyak ayat dalam
Al-Qur’an yang berisi kekacauan dan ketidak-jelasan informasi. Hal ini membuat
orang langsung meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Dapat dipastikan
Al-Qur’an hanyalah karangan manusia. Keterbatasan manusiawinya itu membuat
banyak kekacauan dan ketidak-jelasan informasi di dalamnya. Karena itu, tak
heran bila JK. Sheindlin menyimpulkan bahwa Al-Qur’an “adalah pikiran orang
bingung yang ditulis di atas kertas.” Dan orang yang bertanggung jawab itu
bernama Muhammad.
Lingga, 6 November 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar