Samir agak kurang percaya pada cerita-cerita temannya tentang acara
malam keyboard. Memang seperti sudah menjadi kebiasaan di wilayah
Sumatera Utara untuk menyelenggarakan keyboard pada malam
hajatan. Perkawinan, misalnya. Itu Samir sudah lama tahu. Malah ia tahu sejak
kapan kebiasaan keyboard muncul menggantikan seni-seni
tradisional seperti gondang atau musik-musik orkes keliling. Samir
tahu. Tapi kalau sudah menampilkan artis-artis cantik nan sexy dengan
goyang seronok, Samir belum tahu. Itupun
kalau tidak diceritakan rekan-rekannya, ia tetap tidak akan tahu.
“Aduh Bang, gila bener gerakannya,“ jelas Joko sambil
meniru-niru gerakan penyanyi keyboard dua malam lalu di
desa Sigagak.
“Celananya saja kayak celana renang cowok. Ketat. Seketat
baju yang membungkus tubuhnya. Teteknya..., waduh aku jadi mau onani saja.”
Samir senyum-senyum saja. Ia masih belum percaya. Ia hanya curiga, mungkin
itu sekedar khayalan teman-temannya yang sering nonton film-film porno.
Bukankah CD-CD porno agak bebas beredar. Malah di
rental-rental yang ada di kampung-kampung pun sudah bisa kita temui CD blue
film. Tinggal sebut ‘filem Unyil’ saja, petugas rental udah mengerti.
“Kenapa sih Abang nggak percaya?”
“Abang jangan pikir penari-penari telanjang itu cuma
ada di Jakarta. Mentang-mentang abang lama di Jakarta...”
“Iya nih! Sekarang kan jaman
globalisasi. Jadi, apa yang ada di sana, ada juga di sini. Cuma bedanya, di
sana kan untuk kalangan berduit, orang-orang kaya.
Penari-penarinya mau sampai bugil. Di sini kan masih tingkat
kampungan. Cukuplah sebatas paha dan dada.”
"Itupun sudah membuat penonton jadi bernafsu.”
Samir memang pernah tinggal cukup lama di Jakarta. Dan
dia tahu adanya pertunjukan tarian bugil. Streaptease, istilahnya.
Malah ia pernah baca di sebuah majalah cukup terkenal. Kalau tidak salah namanya Matre, atau mungkin juga Pop
Ular. Di situ diberitakan adanya fenomena lain streaptease.
Sebelum-sebelumnya acara ini selalu menampilkan kaum wanita. Kini yang menari-nari sampai buka-bukaan itu dilakukan
kaum pria. Umumnya mereka mahasiswa dan ber-body atletis. Dan sudah
pasti penontonnya bukan bapak-bapak direktur perusahaan ini itu, pengusaha itu
ini. Penontonnya adalah wanita-wanita karier sukses, direktris atau wanita muda
pengusaha. Merekalah yang nonton cowok-cowok muda atletis itu meliuk-liuk di
pentas membangkitkan gairah manstrubasi mereka. Acara khusus siang hari. Beda
dengan acara selera kaum pria yang dilaksanakan malam hari. Mungkin untuk
bagi-bagi tugas jaga rumah. Bisa jadi suami istri sama-sama pengusaha dan
sama-sama punya hobi menghamburkan uang untuk hiburan tersebut.
Samir tahu semua itu. Ia tahu pertunjukan itu spesial
kaum berduit, seperti kata Totok. Untuk kaum pinggiran paling dengan
film-film blue yang bisa sewa dengan uang 2.500 atau kalau mau
beli cukup dengan 10.000. Itupun nontonnya
pakai sembunyi-sembunyi. Paling cuma 4-5 orang teman dekat. Tapi ini, keyboard,
ditampilkan di panggung terbuka. Untuk umum pula. Anak-anak pun bebas nonton,
malah mereka berada di barisan depan. Apa nggak gila? Batin Samir.
“Minggu lalu abang tidak nonton keyboard yang
di simpang Koper?”
“Iya.”
“Kenapa rupanya?”
“Ceweknya menari-nari dengan ular. Goyangannya sungguh panas. Ia seperti bercumbu dengan ular. Ular itu
dijepit di sela kedua pahanya yang mulus. Kemudian ia menggoyang-goyangkan
pinggulnya. Erotis benar!”
“Persis penari telanjang di film-film yang menggesek-gesekkan anunya ke
tiang besi.”
“Iya.”
“Edan!” Samir cuma berguman.
“Itulah hiburan kelas pinggiran, Bang.”
Itulah hiburan kelas pinggiran, Samir bertanya-tanya dalam hati. Ia tak
habis pikir. Sudah seburuk itukah moral bangsa? Atau mungkin itu yang memang
dicari-cari orang saat ini. Akibat modernisasi? Samir pernah membaca buku Erich
Fromm. Judulnya Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak
Manusia. Memang buku itu lebih mengulas soal kekerasan, tapi ada
tesis yang cocok untuk masalah ini. Dalam buku itu, Erich Fromm menyatakan
bahwa perkembangan peradaban manusia berpengaruh pada peningkatan kebiadaban
manusia. Semakin meningkat
peradaban manusia, semakin biadab pula manusia. Semakin tidak beradab. Bisa
juga dibilang tidak bermoral.
Adakah kaitannya? Samir terus mencari-cari jawabannya.
Setidak-tidaknya itulah fakta yang ada dewasa ini. Bukankah seni-seni
tradisional, orkes-orkes kampung jalanan sudah diganti dengan keyboard sejalan
dengan perkembangan peradaban manusia? Bisa dipastikan anak-anak sekarang sudah
tidak tahu lagi apa itu seni wayang atau gondang. Mereka pasti
tidak suka lagi pada musik-musik orkes. Tidak menarik. Juga tidak seru.
Modernitas telah menghapus seni-seni tradisional rakyat dan mengucapkan selamat
datang pada musik keyboard yang menyentak keras. Dan
supaya lebih seru, ditampilkanlah gadis-gadis sexy dengan
goyangan sensual menggoda menggantikan wanita-wanita ayu dengan gerak tari
langgam Jawa atau tarian tradisional rakyat Batak: Tor-Tor.
***
Seorang gadis cantik mengenakan sepatu tinggi dan kakinya yang langsing
berbalut stocking. Ia menggebrak di atas panggung. Lagu dangdut
yang panas dengan irama house music menghentak. Sepasang kaki
menari-nari. Pinggulnya bergoyang-goyang. Gadis itu cuma mengenakan kaos ketat
model tank top, yang kini lagi digandrungi
remaja-remaja ABG dan ibu-ibu muda. Seperti
biasa pusarnya kelihatan. Celananya pun ekstra ketat dan minim, memamerkan
kemulusan pahanya yang tak terbalut stocking. Ia terus menari
sambil bernyanyi dengan suara yang jauh dari merdu.
Penonton bersorak-sorak. Entah apa yang mereka
sorakkan. Apa lantaran suaranya yang jelek atau karena penampilannya yang
merangsang.
Di kegelapan malam, Samir berdiri terpaku. Ia berdiri
di antara kerumunan warga kampung Inpres yang juga lagi nonton keyboard di
pesta pernikahan anak salah seorang warga kampung itu. Mata Samir tetap tertuju
pada penyanyi itu. Bibirnya yang merah setengah terbuka seperti selalu minta
dicium. Musik makin menggila dan tariannya pun semakin panas. Gadis itu
bergerak mendekati tiang penyangga keyboard. Ia seakan-akan
menyetubuhi tiang itu. Pemain keyboard-nya senyum-senyum
saja. Anak-anak di barisan depan berteriak-teriak. Tak
ketinggalan anak-anak mudanya.
“Betul kan, Bang,” jelas Joko yang berdiri di sampingnya.
“Erotis banget.”
Samir tidak memberi tanggapan. Ia terus memperhatikan gadis itu.
Pantatnya bergoyang-goyang. Ke
kiri dan ke kanan. Sesekali ke depan. Sangat erotis. Persis gerakan orang bersenggama yang ada di film-film blue.
Para pemuda semakin tergila-gila. Rambutnya yang dibiar tergerai sebatas bahu
ikut bergoyang seiring gerakan kepalanya dan hentakan musik panas. Tiba-tiba
gadis itu menunduk ke arah penonton. Mata Samir terbelalak melihat belahan
dadanya yang montok.
“Duh, nyaris keluar teteknya, “ komentar seorang penonton disambut
tawa girang penonton lain.
“Gadis itu sepertinya nggak pake BH,” ujar Joko. “Tu, pentilnya saja kelihatan menonjol di
kaosnya.”
“Wus! Kedengaran anak-anak.”
“Ala Bang. Urusan kayak gitu,
anak kecil saja tau.”
Samir tidak mau berkomentar lagi. Ia kembali menatap ke arah panggung. Gadis itu terus mendendangkan lagu-lagu dangdut yang lagi populer di
masyarakat. Tak peduli komentar orang atas suaranya. Badannya yang lentur
menggeliat. Sesekali ia melompat berjingkrak-jingkrak sehingga buah dadanya
yang besar montok ikut bergoyang. Para
penonton di luar semakin penasaran.
Sekejap mata Samir menangkap sekelabat bayangan hitam
di kegelapan malam. Dua anak manusia berjalan meninggalkan keramaian pesta
menuju kegelapan sunyi. Mata Samir terus memperhatikannya. Seorang pemuda dan
seorang pemudi. Mereka berjalan cepat menuju belakang sekolah. Samir curiga.
Selang beberapa menit Samir pergi meninggalkan Joko
yang masih lagi terpukau. Ia berjalan menuju belakang sekolah itu. Dari jarak
dekat ia sudah bisa mendengar suara desahan-desahan dua anak manusia dalam irama
kenikmatan. Samir makin tambah curiga. Ia terus
mendekat.
Dalam remang-remang cahaya rembulan, sepasang remaja lagi asyik berdekapan.
Tubuh-tubuh mereka menyatu. Dan pinggul-pinggul mereka saling beradu-temu dalam
goyangan-goyangan kenikmatan nafsu birahi.
Bulan mengintip dari balik awan-awan.
Samir
cuma menggelengkan kepala. Itukah hiburan kelas pinggiran, hatinya
bertanya. Atau inikah akibat moderinitas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar