“Jadi,
sekalipun ada niat dari Jepang untuk menghadiahkan kemerdekaan kepada
Indonesia, proklamasi kemerdekaan merupakan perjuangan rakyat Indonesia. Bukan
pemberian gratis atau bersyarat seperti negara Malaysia.” Demikian penjelasan
Pak Priyatno, guru sejarah SMU St. Yusuf. “Dan harus diingat, proklamasi kita
tak bisa dipisahkan dari peran kaum muda. Merekalah yang menggerakkan
proklamasi itu.”
“Tanya
dikit, pak!” Sebuah tangan dari barisan tengah bangku ruang kelas XIIB
menjulang ke atas.
“Ya,
Rolan Gultom!” Pak Pri langsung mengenali subyek penanya. “Jangan kau tanya
leluhurmu P Gultom itu, ya?!” Pak Pri tersenyum diikuti murid lainnya.
Maklum,
dalam penjelasan tadi ada nama P. Gultom pada kelompok kaum muda radikal.
Kelompok inilah yang memaksakan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia
secepatnya. Dan memang ketika ada disebut marga Gultom, Parolan sedikit
sumringah.
“Tak
sia-sia aku terlahir dengan marga Gultom,” ujar Parolan yang langsung disambut
teriakan “huuuuu...!” Parolan hanya tertawa. Pak Pri juga. Tapi pak Pri segera
menenangkan ruang kelas untuk memberi kesempatan Parolan bertanya.
“Selama
ini kita tahu bahwa proklamasi itu terjadi pada tahun 1945. Kalau disingkat
menjadi ’45. Tapi kenapa pada teks proklamasi, baik yang tulisan tangan maupun
yang diketik Sayuti Melik, tertulis ’05?”
“Bagus!”
Puji pak Pri, membuat Parolan langsung menegakkan kepalanya dan menoleh ke kiri
dan ke kanan. Murid lain hanya tersenyum melihat ulahnya. Tapi ada juga yang
mencibir.
“Tahun
yang dipakai bukan tahun internasional, melainkan tahun Jepang. Tanggal dan
bulannya sama. Tahunnya beda. Pada waktu itu tahun Jepangnya adalah 2605.”
Kring! Kring! Kring! Bel sekolah berbunyi pertanda pelajaran usai. Para murid segera mengemas buku-bukunya.
“Anak-anak,
tanggal 14 nanti kita ulangan.”
“Ha?!
Apa?!” Beberapa murid spontan kebingungan.
“Cepat
kali, pak.” Celetuk Magda. “Kita baru bahas satu materi.”
“Bapak
punya maksud. Memang materinya sedikit. Sejarah menjelang dan saat proklamasi
kemerdekaan. Dengan kalian mempelajari materi itu, bapak berharap kalian nanti
semakin menghayati upacara proklamasi 17 Agustus. Adalah keprihatinan bapak
bahwa anak-anak muda sekarang kurang memaknai upacara proklamasi. Kelihatannya
setiap upacara proklamasi 17 Agustus orang jatuh pada seremonial belaka. Ini
mungkin disebabkan generasi sekarang tidak tahu sejarah proklamasi itu.”
***
Parolan
memarkirkan Mega Pro-nya di samping rumah. Ia baru pulang dari gereja,
mengikuti pertemuan OMK (Orang Muda Katolik) membahas kegiatan OMK menyambut
HUT Proklamasi. Sebenarnya pertemuan itu hanya untuk memfinalkan program acara.
Untuk
menyambut HUT Proklamasi Republik Indonesia, OMK Paroki St. Yosep menggelar
beberapa kegiatan. Hari Sabtu, 14 Agustus, ada kegiatan donor darah. Hari
Minggu, setelah misa, ada bakti sosial membersihkan pantai Jalan Lingkar Timur;
malam harinya ada sarasehan. Senin malam ada perayaan ekaristi menyambut
proklamasi di halaman Grotto Maria Guadalupe, Sei Bati.
Romo
Sensi, selaku moderator OMK paroki, mengungkapkan kepuasan hatinya dengan
kegiatan tersebut. “Dengan kegiatan ini kalian bukan hanya mewujudkan visi
keuskupan, tetapi juga mewujudkan mimpi Mgr. Soegijapranata: menjadi Indonesia
100 persen dan menjadi katolik 100 persen,” ungkap Rm. Sensi menutup pertemuan.
Parolan
masuk ke dalam rumah. Dilihat ibunya, dibantu Rolina, adiknya, sedang menyortir
sawi dan kacang panjang yang mau dijual ke pasar besok pagi.”
“Sudah
makan kau, Lan?”
“Masih
kenyang, mak. Tadi waktu pertemuan ada makan kue.”
“Pasti
abang makan banyak,” sambung Rolina yang disambut mata besar Parolan. Rolina
hanya tersenyum saja, karena ia tahu abangnya hanya bercanda. Sebagai
satu-satunya anak dan adik perempuan di rumah, Rolina selalu mendapat perhatian
dari semua anggota keluarga.
“Kalau
gitu, kau ambil dulu keranjang sayur di belakang biar langsung kau masukkan
sayur ini.”
“Ramses
mana, mak?” Tanya Parolan sambil melirik jam di dinding. 19.20. Ramses adalah
adik Parolan. Siswa SMP St. Yusuf kelas VIII. Mereka semua ada tiga bersaudara.
Parolan anak sulung dan Rolina si bungsu, duduk di kelas V SD St. Yusuf.
“Ke
rumah temannya. Kerja tugas.”
“Mak,
malam ini aku tak bisa bantu. Aku mau belajar. Besok ada ulangan.”
“Ya
sudah. Nanti aku minta Ramses yang beresin. Tapi besok pagi kau yang antar ke
pasar.”
“Iya
mak!” Sahut Parolan sambil berlalu ke kamarnya. Langsung diambilnya buku
sejarah dan ia mulai membaca.
***
Ruangan
Lembaga Bakteriologi, Jln Pegangsaan Timur, jam 20.00. Sekelompok pemuda
berkumpul. Parolan hadir di sana. Dia asyik berdiskusi dengan Wikana soal
berita bom di Hirosima dan Nagasaki serta soal kekalahan Jepang.
“Saudara-saudara,”
tiba-tiba Chairul Saleh berbicara membuka pertemuan. “Sebagaimana yang kita
ketahui dari berita radio bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Karena itu
kemerdekaan sudah di depan mata. Tinggal kita raih saja.”
Beberapa
pemuda lain ikut berbicara. Ada yang dengan tegas bahwa kemerdekaan Indonesia
harus segera diumumkan, tanpa harus menunda-nunda. Melanjuti ini seorang pemuda
menyampaikan bahwa siang tadi Bung Karno dan Bung Hatta sudah tiba di Jakarta.
Mereka bersama dr. Radjiman Wediodiningrat baru pulang dari Dalat, Vietnam
Selatan. Menurut informasi yang diterima, pertemuan di Dalat itu membicarakan
soal pemberian kemerdekaan kepada Indonesia.
Mendengar
berita itu Darwis menjadi emosional. “Kemerdekaan itu bukan hadiah, tapi
perjuangan.”
“Jika
kita menerima sebagai hadiah, kita tidak menghargai perjuangan dan pengorbanan
saudara-saudara kita sebangsa setanah air.” Tambah Parolan. “Di antara mereka
ada yang sudah gugur.”
Harsono,
yang selalu mengenakan batik, angkat bicara. “Tantangan kita ada di Bung Karno
dan Bung Hatta. Mereka adalah tokoh kunci di PPKI. Dan karena PPKI itu adalah
bentukan Jepang, maka proklamasi pun harus ikut mekanismenya.”
Akhirnya
pertemuan menghasilkan dua keputusan. Pertama,
kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak
bergantung pada orang, lembaga dan negara lain. Segala keputusan tentang
proklamasi harus mengikutsertakan golongan muda. Kedua, mengutus Wikana dan Darwis untuk menyampaikan hasil
pertemuan kepada Bung Karno.
Jam
21.50 Wikana dan Darwis meninggalkan ruang pertemuan. Dengan sepeda onthelnya
mereka menuju ke rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur 56. Para pemuda lainnya
masih menunggu di gedung Lembaga Bakteriologi.
Sekitar
jam 23. 15 Wikana dan Darwis kembali ke ruang pertemuan. Raut wajah mereka
menggambarkan kejengkelan, kekesalan dan kemarahan.
“Tampaknya
misi kita gagal,” bisik Sutomo kepada Parolan.
“Bagaimana
hasilnya?” Tanya Chairul to the point.
Setelah
semua duduk, Wikana mulai menjelaskan bahwa misi telah gagal. Wikana
mengungkapkan bahwa di rumah Bung Karno ada juga Bung Hatta, dr. Buntara, dr.
Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri. Di hadapan orang-orang itu
Bung Karno dan Bung Hatta menolak gagasan kaum muda.
“Sekalipun
saya mengancam akan terjadi pertumpahan darah, Bung Karno malah balik
menantang. Dia bilang ‘Ini leher saya, potonglah sekarang juga! Jangan tunggu
sampai besok!’ Bung Karno, sebagai ketua PPKI, harus mengikuti mekanisme yang
ada. Besok ia akan tanya ke anggota PPKI lainnya.”
“Kenapa
harus tunggu besok? Kan di situ ada wakil ketua dan penasehat PPKI. Anggotanya
juga ada.” Ungkap Parolan.
“Bung
Hatta pun menolak,” jelas Darwis. “Dia bilang agar kita jangan memaksa-maksa
mereka. Malah seperti Bung Karno, Bung Hatta menantang kita untuk
memproklamasikan kemerdekaan jika sanggup.”
Suasana
sidang jadi ramai. Aura kemarahan dan kejengkelan sangat begitu terasa. Karena
misi gagal, Chairul Saleh akhirnya membubarkan pertemuan sambil melihat
perkembangan besok setelah pertemuan PPKI. Para peserta pertemuan terlihat
gusar. Mereka meninggalkan ruang pertemuan sambil mengumpat-umpat.
“Dasar
pengecut!”
“Boneka
Jepang!”
Parolan
melihat Chairul dan beberapa pemuda masih terlihat ngobrol serius di halaman
Lembaga Bakteriologi. Ia menghampiri mereka.
“Kita
bicarakan di asrama.”
Yang
lain mengangguk setuju. Langsung mereka mengayuh sepedanya ke Jalan Cikini 71,
asrama Baperpi.
“Saudara-saudara,
kita tidak bisa tinggal diam dalam amarah,” Chairul angkat bicara setelah tiba
di serambi asrama. “Kita harus melakukan sesuatu!”
Suasana
rapat menjadi tenang. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Ada yang saling
berdiskusi dengan teman di sampingnya.
“Kita
singkirkan saja Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang.” Setelah sekian
lama bermenung diri, Parolan memecahkan kesunyian malam.
“Kita
culik mereka.”
“Saya
setuju,” tegas Chairul. “Kita singkirkan mereka ke Rengasdengklok. Di sana kita
paksa mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”
Maka
mulailah para pemuda ini berembug membagi tugas. Ada yang menghubungi Cudanco Subeno, komandan kompi tentara
PETA Rengasdengklok, untuk mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta. Ada yang bertugas
menculik Bung karno dan Bung Hatta dari rumah mereka masing-masing. Ada yang
bertanggung jawab soal kendaraan. Shudanco
Singgih dipercayakan untuk melakukan aksi penculikan ini.
Aksi
menculik Bung Karno tidak mendapat banyak kesulitan karena sebelumnya Wikana
sudah menghubungi S. Suhud, komadan dan pengawal rumah Bung Karno. Sedikit
kesulitan muncul ketika istri Bung Karno, Ibu Fatmawati, memaksa diri untuk
ikut bersama bayinya, Guntur, yang waktu itu berumur 9 bulan.
Akhirnya
sekitar jam 04.00, para pemuda membawa Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta ke
tempat yang sudah ditentukan. Di sana mereka langsung diterima dan diamankan Subeno.
Sementara
yang lain ke Rengasdengklok, Wikana, Sudiro dan Jusuf Kunto tetap berada di
Jakarta. Mereka ditugaskan untuk melaporkan hasil pertemuan PPKI hari itu. Akan
tetapi rapatnya batal sebab ketua dan wakilnya tidak ada.
Pada
sore hari, sekitar jam 17.30, rombongan Ahmad Subardjo dengan ditemani Jusuf
Kunto dan Sudiro, tiba di lokasi pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta. Ia
terharu dengan aksi heroik para pemuda dan sedih melihat Bung Karno sekeluarga.
Karena itu ia berjanji akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan besok tanggal 17
Agustus sebelum jam 12.00.
“Apa
jaminan atas ucapan Bapak?” Tanya Parolan.
“Nyawa
saya!”
“Baiklah,
kami akan melepaskan kalian,” ujar Subeno. “Tapi beberapa anggota kami akan
mengikuti kalian.”
“Silahkan!
Kalianlah yang akan mengawasi dan menjaga kami saat penyusunan proklamasi.”
Subeno
memandang Chairul dan Wikana. Chairul hanya menganggukkan kepalanya. Ketegangan
pun mereda. Maka segera mereka berkemas untuk kembali ke Jakarta. Beberapa
pemuda ikut dalam rombongan.
Sekitar
jam 23.00 mereka tiba di Jakarta. Atas permintaan Bung Karno, rombongan
langsung menemui Mayjend Nishimura untuk menjajagi sikapnya soal proklamasi
kemerdekaan. Sudiro awalnya hendak protes, namun Chairul segera menghalangi
niatnya.
Setiba
di rumah Nishimura, Bung Karno dan Bung Hatta turun dan berjalan menuju ke
dalam rumah. Rombongan lainnya tetap di dalam mobil. Tak lama kemudian kedua
tokoh PPKI keluar dari dalam rumah dengan muka merah. Mereka berjalan menuju
rombongan dengan muka tertunduk.
“Tanda
buruk,” bisik Parolan dalam hati.
“Bagaimana?”
Mereka
menolak. Mereka tidak mau mengubah status
quo sampai nanti sekutu tiba,” jelas Bung Hatta.
“Nah
kan,” celetuk Parolan. “Kami sudah bilang, kemerdekaan itu harus kita rebut.
Kita tidak bisa tunggu diberi Jepang. Malah, kalau tunggu sekutu, itu namanya
peralihan penjajah saja.”
“Maafkan
kami,” suara Bung Karno terdengar berat. “Kalian benar!”
“Sekarang
kita ke mana?” Tanya sopir rombongan.
“Ke
rumah Laksamana Muda Maeda.” Jawab Ahmad Subardjo.
“Bukankah
dia itu orang Jepang?”
“Tidak
semua orang Jepang itu jahat. Saya kerja di kantor dia,” jelas Subardjo. “Dia
akan menjamin keselamatan kita. Dan yang terpenting, dia mendukung kemerdekaan
kita.”
Rombongan
tiba di rumah Maeda sekitar jam 24.00. Laksamana Maeda menyambut mereka dengan
ramah. Ia menunjukkan ruang makan sebagai tempat penyusunan teks proklamasi,
sedangkan rombongan lainnya menunggu di serambi muka. Maeda meminta pelayannya
untuk membuatkan kopi untuk para tamu.
Mobil
yang mengantar mereka sudah kembali pergi ke rumah Bung Karno untuk mengantar
Ibu Fatmawati dan Guntur.
Pada
jam 04.00 Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo keluar menemui rombongan di
serambi muka.
“Kami
sudah selesai menyusun teks proklamasi,” ujar Bung Hatta yang kemudian
mempersilahkan Bung Karno membacakan konsepnya perlahan-lahan.
Setelah
membacakannya, Bung Karno meminta usulan dan tanda tangan dari para hadirin
sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia.
“Saya
tidak setuju!” Tegas Sukarni. “Yang menandatangani naskah proklamasi cukup Bung
Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.”
“Saya
setuju dengan Sukarni,” sambung Parolan. “Selain itu saya usul sedikit
perubahan kecil dalam teks tersebut.”
Akhirnya
disepakati tiga perubahan, yaitu menghilangkan huruf ‘h’ pada kata ‘tempoh’;
menggantikan frase ‘wakil-wakil bangsa
Indonesia’ dengan ‘Atas nama bangsa
Indonesia’; penulisan ‘Djakarta,
17-8-05’ diubah menjadi ‘Djakarta,
hari 17 boelan 8 tahoen ‘05’. Teks proklamasi dengan segala perubahannya
diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.
Sementara
Sayuti Melik mengetik teks proklamasi, rombongan melanjutkan pembicaraan
membahas soal waktu dan tempat pembacaan proklamasi.
“Saya
mengusulkan Lapangan Ikada.” Sukarni bersuara.
Bung
Karno menolak usulan Sukarni, karena lokasi tersebut dapat menimbulkan
bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang.
“Saya
sepakat dengan Bung Karno,” ungkap Shudanco
Singgih dari Daidan PETA Jakarta. ”Jika
terjadi konflik, kami yang terjepit.”
“Kita
selenggarakan saja di rumah Bung Karno,” celetuk Parolan.
“Baiklah
saudara-saudara. Waktu kita sudah mepet. Sekarang jam 04.20,” ujar Ahmad
Subardjo sambil melihat arlojinya. “Kita berkumpul lagi nanti di rumah Bung
Karno. Pembacaan teks proklamasi pada jam 10.00.”
Selesai
berbicara, Sayuti Melik muncul dengan membawa naskah proklamasi. BM Diah
meminta supaya teks proklamasi diperbanyak untuk disiarkan melalui radio dan
surat kabar.
Pagi
hari itu, jam 08.30, rumah Sukarno sudah dipadati massa pemuda. Parolan melihat
Cudanco Latief Hendraningrat sibuk memerintahkan anak buahnya untuk
berjaga-jaga di sekitar rumah Bung Karno. Mr. Wilopo dan Nyonopranowo sibuk
mempersiapkan pengeras suara.
Parolan
menghampiri Chairul dan Adam Malik menanyakan susunan acara nanti. Bertiga
mereka masuk ke rumah Bung Karno. Di sana sudah ada dr. Muwardi dan Walikota
Suwirjo.
“Selamat
pagi, Pak!” Sapa Parolan. “Kami mau tanya susunan acara nanti.”
“Gimana
menurut kalian?” Tanya Bung Karno.
“Kita
langsung aja pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera.” Adam Malik menjawab.
“Benderanya
apa dan di mana?” Bung Karno kembali bertanya.
“Ini.”
Tiba-tiba Ibu Fatmawati muncul dengan membawa sehelai kain warna merah putih.
“Sepulang dari Rengasdengklok saya langsung menjahitnya. Saya memilih warna
merah dan putih. Merah sebagai lambang keberanian dan kemartiran pejuang kita,
sedangkan putih simbol kesucian perjuangan kita.”
Bung
Karno menghampiri istrinya, mengambil bendera itu dan mencium kening Ibu
Fatmawati sambil berbisik, “Terima kasih!”
“Mungkin
setelah pengibaran, kita beri kesempatan Bapak Suwirjo dan Bapak Muwardi
memberi sambutan.” Chairul memecah keharuan.
Jam
09.55 Mohammad Hatta datang dan langsung menemui Bung Karno. Segara Latief
memerintah seluruh barisan untuk berdiri dengan sikap sempurna. Kemudian dengan
hormat Latief mempersilahkan Bung Karno dan Bung hatta membacakan proklamasi
kemerdekaan.
Diawali
dengan pidato singkat, Bung Karno lalu membacakan proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Sesudah itu Bung Karno langsung berteriak “merdeka!” yang langsung disambut peserta lainnya.
S.
Suhud dibantu Latief Hendraningrat mengibarkan bendera merah putih. Tanpa ada
komando peserta langsung menyanyikan lagu Indonsia Raya mengiringi penaikan
bendera.
Saat
Walikota Suwirjo memberi kata sambutannya, BM. Diah mendekati Parolan. “Tolong
berikan teks ini ke Waidan B Palenewen agar dibacakan.”
Tanpa
membuang waktu lagi, Parolan meninggalkan lokasi upacara. Dengan sepedanya ia
menuju ke kantor Berita Domei, menemui Kepala Bagian Radio. Segera Parolan
menemui Pak Waidan dan menyampaikan teks yang diberikan BM Diah.
“Apa?!”
Pak Waidan setengah berteriak. “Kita sudah merdeka?” Segera Pak Waidan
menyerahkan teks itu kepada F Wuz untuk diwartakan.
“Kalau
saudara tak sibuk, kami mau sedikit mewawancarai kamu seputar peristiwa tadi.”
“Dengan
senang hati, Pak.”
“Ikutlah
dengan saudara Wuz.”
Baru
dua kali F. Wuz menyiarkan berita proklamasi dan belum mewawancarai Parolan,
masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah mereka
menggedor-gedor pintu agar dibuka.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu diketuk berkali-kali. Tidak ada reaksi dari dalam ruangan. F. Wuz
terus sibuk dengan siarannya, sedangkan Parolan sedikit kebingungan. Pintu
kembali digedor. Kali ini lebih kencang. Akhirnya Parolan membuka pintu.
“Emak?!”
Teriak Parolan sedikit kaget. “Ngapain mamak di sini?”
“Kau
kenapa, Lan?” Tanya ibunya kebingungan sambil menepuk jidat putranya. “Kamu
pasti lagi bermimpi. Sudah, cuci muka sana dan tolong antar sayur ke pasar.”
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar