Setiap
manusia pasti mempunyai bayang-bayang. Gak siang gak malam, asal ada cahaya
benderang, bayangan selalu muncul. Bayangan adalah diri kita dalam bentuk yang
lain. Dan ia selalu menyerupai kita atau mengikuti gerakan diri. Kita membungkuk,
dia pun membungkuk. Satu tangan kita angkat, bayangan pun mengangkat tangannya.
Persis tangan mana yang kita angkat. Dan bentuknya pun sama. Hanya warnanya
saja yang berbeda.
Aku
tak tahu kenapa bayangan-bayangan selalu mengikuti diriku. Kenapa manusia
mempunyai bayangan? Pertanyaan ini sampai pada pertanyaan yang tertuju kepada
Tuhan. Kenapa Tuhan menciptakan bayangan? Pertanyaan ini pernah aku tanyakan
kepada guru agama kami, waktu SMP dulu. Bukannya menjawab, dia malah
mempertanyakan pertanyaanku.
“Apakah
bayangan itu menganggumu?” Demikian tanyanya.
“Nggak
sih, Bu.”
“Lalu,
kenapa kamu pertanyakan?”
Nah
loh, jadi bingung sendiri. Jawab ya,
pasti ditanya. Jawab tidak juga, ditanya. Dan semuanya sama bingungnya.
Sebenarnya aku ingin menjawab ya. Ya, bayangan itu mengganggu diriku. Sungguh mengganggu. Ia selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Waktu SD, aku dan teman-teman merokok di WC sekolah, bayangan hadir di sana. Waktu aku SMP, ketika menyontek saat ujian, bayanganku ada juga di sana. Bahkan ketika aku mencuri uang OSIS, yang dipercayakan kepadaku, bayanganku persis di sampingku. Aku merasa mereka seperti melihatku, menegurku.
Karena
selalu mengawasiku, bayangan membuat aku risih. Ia telah membatasi kebebasanku.
Aku seakan seperti anak kecil saja. Karena itulah, aku sangat membenci
bayangan.
Bukan
bayanganku saja yang kubenci. Bayangan orang lain juga. Ia mengingatkanku akan
kejahatan-kejahatan yang pernah kulakukan, yang dihadiri oleh bayanganku. Aku berpikir
bahwa mereka sama saja. Mereka pasti akan mengawasiku, sekalipun mereka
mengikuti tuannya.
“Kenapa
tidak kau bunuh saja bayangan itu?” Sebuah nasehat keluar dari mulut temanku, orang
yang pertama kali memperkenalkan narkoba kepadaku.
“Bayangan
siapa yang musti kubunuh?”
“Ya
bayanganmu sendiri lah!”
“Kalau
kubunuh, apa aku gak ikut mati?”
Spontan
temanku itu tertawa. Tapi ada tergambar ekspresi gemas di wajahnya. Mungkin
terkait dengan jawabanku yang terkesan konyol.
“Dasar
bodoh! Mana mungkin kau mati,” ujarnya singkat. “Bayangan memang diri kita yang
lain, tapi bukanlah kita. Membunuhnya bukan berarti membunuh diri kita sendiri.
Namun lain halnya kalau kita membunuh diri kita. Bayangan kita ikut mati. Ingat,
bayangan yang ikut kita, bukan kita yang ikut bayangan.
Hei,
kau lihat aku. Apa ada bayanganku?” Temanku ini berdiri dari duduknya. Ia
berjalan hilir mudik di hadapanku.
Sungguh,
aku kaget dibuatnya. Temanku tak mempunyai bayangan. Sementara bayanganku masih
ada. Di sana, sambil melihat aku mengisap lintingan ganja. Akh, malu aku melihatnya,
karena ia berusaha mengingatkanku bahwa apa yang kulakukan adalah jahat.
Mungkin
selama ini aku terlalu fokus pada bayanganku saja sehingga tak memperhatikan
bayangan temanku. Mungkin juga aku sudah dipengaruhi pendapat umum bahwa setiap
orang memiliki bayangan.
“Dewasa
ini banyak orang yang sudah kehilangan bayangannya. Mereka membunuhnya.”
Keesokan
harinya aku berjalan-jalan di kota. Dan benar. Banyak orang tak memiliki
bayangan. Di jalanan aku lihat orang-orang tanpa bayangan membakar seorang pemuda
yang kedapatan mencuri. Di sebuah kantin, ketika aku duduk minum, aku lihat
sepasang remaja duduk bermesraan sambil berpangkuan. Mereka tak mempunyai
bayangan. Tangan si cowok sibuk menggeranyangi payudara si cewek, sementara si
cewek diam menikmati. Ketika aku ke gedung KPK, seorang tersangka korupsi baru
keluar dari gedung; dan aku tak melihat bayangannya. Bahkan banyak tokoh agama
yang aku jumpai tak memiliki bayangan.
Di
hari yang lainnya, aku melihat seorang gadis membuang janin hasil hubungan gelapnya
ke selokan. Gadis itu tak mempunyai bayangan, sementara aku melihat bayangan
janin itu. Di sebuah rumah kosong yang tak beratap, aku melihat sekelompok
remaja berjumlah enam orang lagi asyik nyabu. Lima di antara mereka berseragam
sekolah. Satunya tidak. Mereka memanggilku. Aku pun bergabung dengan mereka. Tak
kulihat bayangan mereka di sana. Sementara bayanganku ada.
Ternyata
benar apa yang dikatakan temanku, orang yang pertama kali memperkenalkan
narkoba kepadaku. Banyak orang telah membunuh bayangannya. Mereka hidup tanpa
bayangan. Tapi, bagaimana bisa membunuh bayangan?
“Bayangan
adalah gambar yang diperoleh dari pantulan,” demikian jelas guru Fisika waktu
SMA dulu. “Bayangan baru muncul jika ada cahaya terang.”
“Bayangan
disebabkan oleh terang. Apakah bayangan itu identik dengan terang?” Tanya teman
semejaku yang memang suka ilmu-ilmu alam.
“Mirip
tapi tak sama. Sekalipun ia muncul karena terang, dia bukanlah terang itu.”
“Kenapa
dalam gelap, bayangan tak kelihatan?”
“Apa
warna bayangan?”
“Hitam.”
Aku menjawab.
“Apa
warna gelap?”
“Hitam.”
Jawabku lagi.
“Nah,
itulah jawabannya. Tadi saya sudah katakan bahwa bayangan dan terang itu mirip
tapi tak sama. Bayangan itu hitam, namun ia muncul karena terang. Tapi bayangan
bukanlah terang. Sedangkan gelap merupakan ketiadaan terang. Jadi, ketiadaan
terang menyebabkan hilangnya bayangan.”
Eureka!
Aku tersadarkan kini. Bayangan dapat dibunuh dengan meniadakan terang. Atau
dengan kata lain, kita musti menimbulkan gelap. Kita harus mencintai kegelapan
dan membenci terang. Wah, ternyata selama ini aku agak keliru. Selama ini aku
hanya membenci bayangan saja, tapi masih tetap mencintai sumbernya. Padahal,
jika aku membenci sumbernya, maka dengan sendirinya bayangan itu ikut terbenci.
Dan bukan tidak mungkin, kebencian yang mendalam kepada terang membuat bayangan
itu hilang.
Maka,
sejak saat itu aku mulai membenci terang dan mencintai gelap. Aku mulai
menggelapkan diriku. Aku mulai menggelapkan hidupku. Dan lihat, perlahan-lahan bayanganku
hilang. Dan akhirnya aku tak punya bayangan lagi. Aku hidup seperti kebanyakan
orang yang telah membunuh bayang-bayangnya. Kebanyakan orang yang hidup tanpa
bayangan.
Dan
hidup dalam gelap tanpa bayangan, membuat kegelapan itu menjadi biasa.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar