Kata adalah kumpulan huruf yang memiliki
makna. Misalnya kata “kursi” mengacu pada sebuah tempat duduk yang memiliki
empat tiang penyanggah. Ada banyak jenis kata dalam sebuah tata bahasa. Ada
kata benda, kata kerja, kata sifat dan kata sandang dan masih banyak jenis kata
lainnya.
Dalam tulisan ini kita akan melihat kata
moral. Memang istilah ini tidak terdapat dalam tata bahasa. Yang dimaksud
dengan kata moral adalah kata yang mempunyai nilai-nilai moral. Penilaian moral
itu menyangkut baik dan buruk; baik dan jahat. Karena itu, dalam kata-kata
moral itu ada penilaian baik atau jahat. Beberapa kata-kata moral adalah
seperti: sederhana, dermawan, menolong, membunuh, korupsi, fitnah, dengki,
dendam, murah hati, mengampuni, kasih, benci, iri hati, dll.
Selain terletak pada kata itu, nilai moral
juga terletak pada sesuatu yang kepadanya diarahkan kata-kata itu. Misalnya,
kata “pencuri”. Di dalam kata itu terkandung nilai jahat. Namun, jika kata itu
ditujukan kepada seseorang, misalnya “Umar pencuri”, maka nilai jahat itu
melekat juga pada diri si Umar. Contoh lain misalnya, kata “murah hati”, yang
secara moral memiliki nilai baik, jika dikenakan pada “Si Amir”, maka itu
berarti si Amir itu orang baik, atau memiliki nilai kebaikan.
Akan tetapi, ada beberapa kata moral yang
sedikit bermasalah karena membingungkan. Kebingungan itu bukan terletak pada
penilaiannya, karena soal nilainya sudah jelas. Kebingungan itu timbul dari
efek penggunaannya, dan itu terfokus pada orang yang menyandang atau kepadanya
kata itu dilekatkan. Ada dua kata moral yang dimaksud, yaitu iri hati dan
menghina. Dua kata ini mempunyai nilai buruk atau jahat. Dan orang yang
menyandangnya, atau kepadanya dikenakan kata ini, berarti yang bersangkutan itu
buruk secara moral.
Agama mengajarkan agar umatnya tidak iri hati dan menghina sesama. Namun, kenapa dua kata ini membingungkan? Mari kita lihat satu per satu. Agar jelasnya, saya akan menunjukkannya langsung dalam contoh.
1. Iri
Hati
Kata “iri hati” ini sering disejajarkan
dengan kata “cemburu”. Jadi, orang yang iri hati sama saja dengan orang yang
cemburu. Tak jarang pula kata ini disamakan dengan kata “dengki”. Kata ini
masuk kategori membingungkan.
Kita ambil contoh cerita SMK Fatamorgana tentang
sdr. Atikus. Dalam cerita itu dikatakan bahwa guru-guru berpandangan negatif
kepada sdr. Atikus yang sering pergi ke luar kota dengan boss. Para guru merasa
aneh dengan kebiasaan itu. Keanehan itu dilihat dari keuangan, tugas dan
urgensitasnya. Soal uang orang bertanya, biaya perjalanan itu dari mana? Satu
masalah kecil, tak satu orang pun yang bisa mengetahui laporan keuangan kecuali
boss dan sdr. Atikus. Soal tugas orang bertanya, apa hubungan kepergian itu
dengan tugas sdr. Atikus? Satu masalah kecil, tugas sdr. Atikus sendiri memang
kurang jelas. Soal urgensitas orang bertanya, apa kepentingannya sehingga sdr.
Atikus pergi ke luar kota bersama boss? Bukankah kepergiannya itu mengganggu
efektifitas kerjanya?
Terhadap keanehan-keanehan yang dilontarkan
para guru itu, sdr. Atikus menanggapinya dengan sederhana. Ia mengatakan kalau
pernyataan guru-guru itu lahir dari rasa iri hati. Mereka tidak senang
melihatnya bahagia bisa bepergian dengan boss. Mereka cemburu karena mereka
tidak mengalami nasib seperti dirinya atau tidak punya kesempatan seperti
dirinya. Jadi, sebenarnya ada keinginan di hati para guru untuk bepergian ke
luar kota bersama boss, namun tidak mendapat kesempatan.
Sdr. Atikus meletakkan kata moral “iri
hati” dan “cemburu” kepada guru-guru yang menilai aneh kebiasaannya bepergian
dengan boss ke luar kota. Pernyataan sdr. Atikus ini menempatkan para guru itu
sebagai orang yang buruk secara moral. Mereka, dalam kacamata agama, masuk ke
dalam golongan orang berdosa. Orang lain yang berada di luar pusaran ini,
setelah mendengar penjelasan dari sdr. Atikus, juga menilai guru-guru tersebut
sebagai jahat.
Namun, benarkah mereka itu jahat secara
moral? Inilah yang membingungkan. Memang kedua kata itu (iri hati dan cemburu)
memiliki nilai buruk; dan guru yang dikenakan kata itu, mau tidak mau, dinilai
sebagai buruk. Akan tetapi, jika ditelaah dengan baik belumlah tentu demikian.
Para guru itu sebenarnya mau bersikap kritis karena melihat adanya keanehan.
Salahkah orang bersikap kritis?
2. Menghina
Kata “menghina” ini sering disejajarkan
dengan frase mencemarkan nama baik atau menjelek-jelekkan. Jadi, menghina
seseorang sama artinya mencemarkan nama baik seseorang atau
menjelek-jelekkannya. Tak jarang pula kata ini disepadankan dengan kata
“memfitnah”. Orang yang menghina selalu dituding sebagai pemfitnah. Namun, kata
ini masuk kategori membingungkan. Mari kita lihat dalam dua contoh berikut.
Pada jaman ORBA ada humor seperti ini.
Pada sebuah aksi demostrasi, seorang mahasiswa berteriak, “Suharto membangun
ekonomi bangsa ini di atas utang luar negeri. Memang terlihat derap
pembangunan, namun ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat, karena rakyat harus
membayar utang itu.” Karena pernyataannya, mahasiswa itu ditangkap dan dijatuhi
hukuman. Dalam pengadilan terungkap kesalahan mahasiswa itu, yaitu menghina
kepala negara (Suharto) dan membongkar rahasia negara.
Kita kembali ke kisah SMK Fatamorgana dan
kita tinggalkan dulu sdr. Atikus. Kita melihat tokoh yang lain, yaitu Ibu
Julia. Ibu Julia melihat ada yang aneh soal keuangan di sekolah. Ia mencurigai
kepala sekolah bermain dengan uang sekolah. Ia punya alasan untuk curiga. Pertama,
kenapa ketika ia menggunakan komputer bendaha dilarang kepala sekolah,
sementara yang lain tidak. Kedua, kenapa laporan keuangan hanya
diketahui oleh kepala sekolah dan bedahara sekolah? Ketiga, kenapa
ketika ia mengusulkan transparansi keuangan,
kepala sekolah kelihatan gugup? Dan masih banyak lagi kecurigaan lain yang ia
sendiri tak bisa menjawabnya.
Akan tetapi, seorang guru senior
menasehati dia agar jangan menjelek-jelekkan orang. “Tidak baik menghina!”
demikian nasehatnya. Agama melarang kita menghina sesama. Itu dosa. Kita
harus positive thinking,
demikian ia mengakhiri nasehatnya.
Karena kecurigaannya, ibu Julia dicap
telah menghina atau menjelek-jelekkan orang lain, dalam hal ini kepala sekolah.
Demikian pula dengan pernyataan mahasiswa dalam cerita humor di atas. Hal ini
menempatkan ibu Julia dan mahasiswa itu sebagai orang jahat atau buruk secara
moral. Akan tetapi, benarkah mereka ini jahat? Bukankah mereka mau menyampaikan
sebuah kebenaran?
Memang kebenaran itu harus dibuktikan.
Namun, mengungkap kebenaran di jaman ORBA itu ibarat mendirikan benang basah.
Hal yang sama juga dalam kasus ibu Julia. Bagaimana mungkin kebenaran bisa
terungkap jika laporan keuangan hanya kepala sekolah dan bendahara saja yang
tahu; jika kepala sekolah menolak transparansi keuangan. Kebenaran bisa
diungkap jika ada iklim demokrasi, bukan otoriterisme (kasus mahasiswa) atau
jika ada transparansi
keuangan (kasus ibu Julia).
Di sini terlihat pertentangan antara
menghina dengan menyuarakan kebenaran. Agama melarang umatnya untuk menghina,
tapi agama menganjurkan umatnya untuk menyatakan kebenaran. Di saat orang
menyatakan sebuah kebenaran, ia dikenakan dakwaan menghina, yang secara
otomatis menempatkan dia pada posisi sebagai orang jahat. Apakah kebenaran yang
berdampak pada terbongkarnya kejelekan seseorang itu dikatakan menghina?
Yang sering menjadi permasalahan adalah
orang lebih suka mendukung pada korban. Maka ketika ada orang yang terkena
dampak kebenaran, orang lantas bersimpati padanya dan mendukungnya serta
menilai mereka yang telah menyatakan kebenaran itu sebagai penghina atau
pencemar nama baik. Mereka itu dinilai jahat.
Jelas hal ini sangat membingungkan!
Demikianlah dua kata moral yang sering
membuat orang bingung. Maksud hati baik (bersikap kritis dan mengungkap
kebenaran) namun akhirnya dituding jahat. Tentu tidak ada orang yang dari
awalnya ingin mendapat gelar jahat. Namun efek jahat yang akan dikenakan sebagai
dampak dari niat baik itu membuat orang sering mengurung niatnya. Akhirnya
kejahatan tetap terlestari.
Nah, bikin galau kan?
diolah dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar