Al-Qur’an
merupakan pusat iman dan spiritualitas islam. Al-Qur’an diyakini langsung
berasal dari Allah, tanpa sentuhan tangan-tangan manusia. Apa yang tertulis di
dalamnya, termasuk titik koma, adalah perkataan Allah sendiri. Umat islam
dikatakan beriman bila ia menghidupi dan mengamalkan apa yang tertulis dalam
Al-Qur’an. Sikap dan spirit hidup umat islam mengalir dari sana.
Wahyu
Allah yang terangkum dalam kitab yang bernama Al-Qur’an ini tidak turun
sekaligus, melainkan berangsur-angsur dengan rentang waktu kurang lebih 23
tahun. Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu
Mekkah dan Madinah, yang kemudian melahirkan istilah Surah Makkiyyah dan Surah
Madaniyyah. Surah Makkiyyah adalah surah-surah yang merupakan kumpulan wahyu
Allah, yang turun ketika Muhammad masih berada di Mekkah (sebelum hijrah). Sedangkan Surah Madaniyyah adalah wahyu-wahyu Allah yang turun ketika
Muhammad berada di Madinah (setelah hijrah), yaitu sejak Juni
622 M. Surah an-Nisa, biasa disebut juga
sebagai surah keempat berdasarkan urutannya dalam Al-Qur’an, merupakan wahyu
Allah yang turun di Madinah.
Sebagai
pusat iman dan spiritualitas islam, Al-Qur’an dilihat juga sebagai pedoman yang
menuntun langkah umat islam. Allah telah mewahyukan kehendak-Nya sebagai petunjuk
bagi umat muslim. Karena itu, banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an pedoman hidup
bagi umat islam, termasuk bagaimana bersikap terhadap orang kafir. Dalam
Al-Qur’an, yang dimaksud dengan orang kafir adalah orang kristen, baik itu
katolik, ortodoks maupun protestan, dan juga orang yang bukan islam. Mereka ini
dilabeli “kafir” karena tidak menerima Al-Qur’an sebagai kitab suci dan
Muhammad sebagai nabi. Orang kristen disebut kafir karena iman mereka akan
keallahan Yesus dan juga karena iman mereka akan tritunggal mahakudus.
Bagaimana sikap dan tindakan umat islam terhadap orang kafir? Petunjuk apa yang diminta Allah untuk dilakukan oleh umat-Nya ini?
Ada
beberapa pedoman yang diberikan oleh Allah untuk disikapi oleh umat islam
sebagai ungkapan iman mereka. Beberapa pedoman itu adalah:
1. Memerangi
orang kafir (ay. 76 dan ay. 84)
2. Menawan
dan membunuh orang kafir (ay. 89)
3. Tidak
menjadikan orang kafir sebagai teman (ay. 89)
4. Tidak
menjadikan orang kafir sebagai penolong (ay. 89)
5. Tidak
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (ay. 139 dan ay. 144)
6. Tidak
duduk bersama orang kafir (ay. 140)
Demikianlah
6 sikap umat islam terhadap orang kafir. Jika mau diringkas, keenam sikap itu
akan menjadi sikap memusuhi. Ada gradasi sikap memusuhi ini, dari yang rendah
seperti tidak duduk bersama hingga yang tinggi seperti membunuh. Dari keenam
sikap ini dapatlah disimpulkan bahwa memusuhi orang kafir merupakan sikap utama
umat islam; dan itu merupakan kehendak Allah, karena Allah yang mewahyukan itu.
Menjadi
pertanyaan, kenapa Allah begitu memusuhi orang kafir dan mengajar umat-Nya juga
untuk bermusuhan dengan orang kafir. Tak dapat dipungkiri, dalam sikap memusuhi
itu terdapat sikap kebencian terhadap orang kafir. Rasa benci ini menjadi akar
dari sikap memusuhi. Tak mungkin orang memusuhi orang lain tanpa ada rasa
benci. Sikap permusuhan umat islam terhadap orang kafir mengalir dari mata air
kebencian. Lantas apa penyebab munculnya sikap memusuhi orang kafir ini?
Jika
kita kembali membaca surah an-Nisa, dapat ditemukan adanya semacam “ketakutan” Allah
sehingga melihat orang kafir sebagai musuh yang nyata (ay. 101). Ada beberapa
faktor yang menjadi dasar “ketakutan” Allah itu sehingga menurunkan wahyu
sebagai petunjuk bagi umat-Nya untuk memusuhi orang kafir, atau menganggap
orang kafir sebagai musuh yang nyata. Pertama-tama Allah melihat orang kafir
itu adalah kawan setan (ay. 76). Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa setan itu
bukan saja musuh Allah, tetapi juga akan membawa umat manusia ke neraka (QS
Fatir: 6). Selain itu Allah melihat dan menilai bahwa orang kafir dapat
menghalangi umat islam dari jalan Allah (ay. 167). Dengan kata lain, orang
kafir dinilai akan menjauhkan umat muslim dari jalan Allah. Hal ini mirip juga
dengan “ketakutan” Allah bahwa orang kafir akan mengkafirkan umat islam (ay. 89
dan ay. 140). Dengan menjadi kafir, maka tidak akan ada lagi orang yang mau
mendengarkan nasehat, perintah atau perkataan Allah. Tidak akan ada lagi orang
yang menyembah Allah. Inilah salah satu akar “ketakutan” Allah sehingga
melabeli orang kafir sebagai musuh yang nyata sehingga pantas dan layak untuk
dimusuhi juga.
Demikianlah
seharusnya sikap-sikap umat islam terhadap orang kafir. Sebagai orang yang
beriman, dan jika memang benar-benar beriman, maka seorang muslim harus
menunjukkan sikap tersebut kepada kepada orang kafir “dimana pun mereka kamu
temukan.” (ay. 89). Seorang muslim wajib memusuhi orang kafir, bila perlu
membunuhnya. Ini adalah perintah dan sekaligus kehendak Allah. Jika umat islam
hanya sebatas mengaku beriman tapi tidak melaksanakan perintah dan kehendak
Allah ini, ia tak jauh beda dengan kaum munafik atau kaum fasik. Allah telah
berfirman bahwa orang fasik dan munafik akan mendapat siksa yang keras dan
pedih, dan mereka akan menjadi penghuni neraka (bdk. QS an-Nisa: 138; QS
al-Ahzab: 73; QS al-Fath: 6; QS al-Araf: 165; QS as-Sadjah: 20; QS al-Ahqaf:
35).
Berangkat
dari sikap-sikap tersebut, satu pertanyaan kecil: dapatkah terbangun semangat
toleransi dengan pemeluk agama lain, jika agamanya mengajarkan untuk menghayati
semangat permusuhan dan kebencian? Silahkan jawab sendiri.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar