Ayat-ayat tauhid ini tersebar dalam kedua kelompok surah Al-Qur’an. Berdasarkan tangkapan
mata manusiawi ada sekitar 35 surah yang memuat ayat-ayat tauhid, sebagaimana
yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Kelompok
Surah |
Surah
dan Ayat |
Surah
Makkiyyah |
QS
1:
5; QS 6: 19, 102, 106, 151; QS 7: 59, 73, 85, 158; QS 11: 2, 14, 50, 61; QS 12: 39, 40; QS 13: 16, 30, 36; QS 14:
52; QS 16: 2, 22, 51, 74, QS 17: 22, 23, 39; QS 18: 110; QS 20: 8, 14, 98; QS 21:
25, 108; QS 23: 23, 32, 116; QS 26: 213; QS 27: 26; QS 28: 70,
88; QS 37: 4; QS 38: 65; QS 39: 6,
66; QS 40: 3, 62, 65, 66; QS 41: 6; QS 42: 11; QS 44: 8; QS 46: 21; QS 51: 51; QS 72: 20; QS 73: 9; QS 112: 1, 4 |
Surah
Madaniyyah |
QS
2:
163, 256; QS 3: 2, 6, 18, 62, 64; QS 4: 36; QS 9: 31, 129; QS 22:
34; QS 47: 19; QS 64: 13; |
Pada prinsipnya kata tauhid itu dimaknai sebagai “Allah itu Tuhan Yang Maha Esa, tiada tuhan selain Dia, dan hanya kepada-Nya umat menyembah.” Akan tetapi kalimat ini, sebagai satu kesatuan utuh, akan sulit ditemukan dalam Al-Qur’an. Bahkan bisa dipastikan tidak ada. Dalam Al-Qur’an kata “tauhid” terpecah-pecah dalam beberapa kalimat seperti:
1. Allah
itu esa
2. Tiada
tuhan selain Allah
3. Hanya
Allah yang disembah
Sebelum kita meninjau ayat-ayat tauhid
secara linguistik, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa apa yang tertulis dalam
Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah yang kemudian ditulis oleh manusia. Dengan
kata lain, ayat-ayat tauhid yang akan ditinjau nanti merupakan perkataan
langsung dari Allah; atau Allah sendiri yang mengucapkannya.
Dalam tinjauan ini kita tidak akan
mengulas semua ayat tauhid (79 ayat), melainkan akan dipilih beberapa saja,
yang setidak-tidaknya mewakili ketiga kalimat kunci di atas.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
mohon pertolongan. (QS al-Fatihah: 5)
Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan
selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (QS al-Baqarah: 163)
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia;
(demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak
ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Maha-bijaksana. (QS Ali Imran: 18)
Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (QS Taha: 14)
Dan Kami tidak mengutus
seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya,
bahwa tidak ada tuhan (yang
berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (QS al-Anbiya: 25)
Demikianlah 5 kutipan wahyu
Allah berisi ajaran tauhid. Sekilas tidak ada yang aneh dengan kelima kutipan
di atas. Namun, jika ditelaah dengan tinjauan linguistik, barulah ditemukan
keanehan-keanehan.
1. Kelima kutipan di atas harus dipahami sebagai wahyu
langsung dari Allah (kecuali kutipan sumber wahyu). Secara linguistik hanya ada
1 wahyu yang benar menurut tata bahasa, yaitu QS Taha: 14. Jika kita membaca
kutipan ini dengan pemahaman bahwa kutipan tersebut adalah perkataan Allah,
maka bisa dikatakan bahwa waktu itu Allah berkata, “Sungguh,
Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku .....”
Di sini Allah yang sedang
berbicara hendak menegaskan bahwa diri-Nya adalah Allah yang harus disembah.
Kegiatan shalat yang dilakukan oleh umat islam adalah untuk mengingat Dia.
Jadi, tidak ada yang aneh dan salah dengan kutipan wahyu ini.
2. Keanehan baru ditemui pada kutipan-kutipan wahyu lainnya.
Yang langsung dirasakan aneh secara linguistik adalah QS Ali Imran: 18. Jika
dipahami bahwa kutipan ini merupakan perkataan Allah, maka bisa dikatakan bahwa
waktu itu Allah berkata, “Allah menyatakan bahwa tidak
ada tuhan selain Dia.....” Pertanyaannya,
siapa Allah, yang disebut Allah ketika Dia berbicara? Apakah Allah yang disebut
itu adalah Allah yang sedang berbicara atau ada Allah yang lain? Jika Allah
yang dimaksud itu adalah Allah yang sedang berbicara, kalimatnya menyalahi tata
bahasa. Di sini terjadi pendobelan. Seharusnya waktu itu Allah berkata, “Tidak
ada tuhan selain Dia.....”, tak perlu lagi
mengulang “Allah menyatakan bahwa,”.
Akan tetapi, ini pun tidak
menyelesaikan persoalan bila dihubungkan dengan kata “Dia”. Problem ini juga
yang dihadapi dengan wahyu Allah kedua, yakni QS al-Baqarah: 163. Penggunaan
kata ganti “Dia”, yang bisa ditafsir sebagai Allah (terlihat penggunaan huruf
kapital), bisa dimaknai bahwa Allah yang berbicara saat itu sedang menyebut
adanya sosok Allah yang lain. Jika memang benar “Dia” ini adalah Allah yang
lain, maka kedua wahyu ini, yakni QS Ali Imran: 18 dan QS al-Baqarah: 163, bisa
dipahami bahwa Allah yang sedang berbicara BUKANLAH Tuhan, karena “tidak ada
tuhan selain Dia”.
3. Kutipan wahyu Allah dalam QS al-Fatihah: 5 juga terbilang aneh dan lucu. Saat itu Allah berkata, “Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan.” Dapar dipastikan kata “Engkau”
dalam wahyu ini (2 kali disebut) merujuk pada sosok Allah. setidaknya ada 2
alasan, yaitu (1) dalam penulisannya digunakan huruf
kapital dan (2) subyek Engkau ini disembah dan dimintai pertolongan. Dalam
Al-Qur’an banyak pernyataan bahwa hanya Allah yang disembah dan hanya Allah
penolong bagi manusia.
Allah yang berbicara
menyebut Allah yang lain dengan sebutan ENGKAU. Secara linguistik, sosok
“Engkau” yang disebut dalam wahyu itu berbeda dengan sosok yang sedang
berbicara. Jika memang benar bahwa yang berbicara adalah Allah, maka wahyu ini
bisa dipahami ada 2 Allah, yaitu Allah yang sedang berbicara dan Allah yang
disembah dan dimintai pertolongan. Hal ini tentu berdampak pada iman islam,
yang memegang teguh paham tauhid.
Akan tetapi, rasanya yang
berbicara bukanlah Allah. Hal ini dapat dimengerti bila mengaitkan dengan kata
ganti “kami” dalam wahyu tersebut. Dalam wahyu itu, 2 kali kata ganti “kami”
ini disebut. Menurut ilmu tata bahasa, kata ganti “kami” ini bisa merujuk pada
sosok yang yang sedang berbicara. Agak aneh dan lucu kalau tetap memaksakan
bahwa yang berbicara adalah juga sosok Allah, karena mana mungkin Allah
menyembah Allah dan minta pertolongan kepada Allah. Ini ibarat “jeruk makan
jeruk”. Akan masuk akal bila yang berbicara adalah manusia; dan manusia itulah
yang menyembah dan meminta pertolongan kepada Allah.
4. Keanehan wahyu Allah dalam QS al-Anbiya: 25 tampak pada penggunaan kata ganti untuk Allah. Dari
kutipan wahyu di atas ada 2 kata ganti untuk Allah, yaitu “Kami” dan “Aku”,
dimana masing-masing disebut 2 kali. Menurut lunguisti, kata ganti “Kami” dan
“Aku” ini merujuk pada sosok yang sedang berbicara. Pertanyaan yang patut
diajukan adalah apakah sosok KAMI dan AKU ini merupakan sosok yang sama dan
satu? Hal ini menimbulkan problem. Jika
itu merujuk pada sosok yang sama dan satu, kenapa tidak menggunakan 1
kata ganti saja, entah itu “Kami” atau “Aku”. Penggunaan yang berbeda-beda ini
akan menimbulkan persepsi bahwa Allah yang sedang berbicara tidak konsisten.
Secara ilmu tata bahasa kata
ganti “kami” berbeda dengan kata ganti “aku” meski sama-sama merujuk pada orang
yang sedang berbicara, hanya jumlahnya berbeda. Memang keduanya merupakan kata
ganti untuk orang pertama, tapi kata “Kami” mempunyai makna jamak, sedangkan kata “Aku” mempunyai
makna tunggal. Ada 2 jenis kata
ganti orang pertama jamak, yaitu “kami” dan “kita”. Kata ganti “Kami” bersifat
eksklusif, karena tidak melibatkan orang yang diajak berbicara, sementara
“kita” bersifat inklusif, karena melibatkan orang yang diajak berbicara. Kata
“kami” bisa juga bermakna tunggal apabila menunjukkan kehormatan si pembicara.
Berangkat dari penjelasan ini,
maka kita dapat mengatakan bahwa penggunaan kata “Kami” dalam kutipan wahyu di
atas sama sekali tidak sedang menunjukkan kehormatan si pembicara, karena masih
ada penggunaan kata ganti “Aku”. Kata ganti “Aku” memang merujuk pada Allah
yang sedang berbicara, namun kata ganti “Kami” menunjukkan adanya Allah yang
lain. Jika kita kaitkan dengan ayat 22 dan ayat 23, maka dalam kata “Kami”
terkandung “Aku”, yang adalah Allah yang sedang berbicara dan ‘Dia”, yaitu
Allah yang mempunyai ‘Arsy.
DEMIKIANLAH tinjauan
linguistik atas 5 kutipan ayat tauhid dalam Al-Qur’an. Dari tinjauan ini
terlihat jelas keanehan wahyu Allah tersebut. Dari 4 poin tinjauan ini, kita
dapat menarik 2 kemungkinan sebagai kesimpulan. Pertama, jika kita tetap menganggap Al-Qur’an sebagai wahyu yang
langsung dari Allah, maka kita dapat mengatakan bahwa islam mempunyai DUA
Allah. Tentulah kesimpulan bertentangan dengan paham tauhid. Kedua, jika kita tetap berpegang teguh
pada konsep tauhid bahwa Allah itu hanya SATU, maka kita dapat mengatakan
Al-Qur’an bukan wahyu yang langsung dari Allah. Bukan tidak mustahil tudingan
orang-orang jaman Muhammad bahwa Al-Qur’an adalah rekayasa atau karangan
Muhammad adalah benar. Tentulah kesimpulan ini juga bertentangan dengan ajaran
islam.
Lantas mana yang benar?
Silahkan jawab sendiri.
Dabo Singkep, 12
Maret 2021
by: adrian
mantap ka e
BalasHapus