HUKUM
merupakan salah satu indikasi masyarakat beradab. Tanpa hukum maka manusia
hidup dalam masyarakat barbar. Tidak ada keteraturan dalam tatanan sosial. Karena
itu, pada setiap jenis masyarakat yang beradab selalu mempunyai hukumnya
sendiri. Termasuk juga Gereja Katolik. Hukum dalam Gereja Katolik dikenal
dengan istilah Hukum Kanonik. Sama seperti produk-produk hukum dalam masyarakat
lainnya, siapa saja yang melanggar hukum akan mendapat sanksi hukum.
Sanksi berupa
suspensi dalam KHK 1983
Tentang sanksi dalam Gereja,
dapat ditemukan di Bab VI (kan. 1311-1399 KHK 1983), seperti dicantumkan dalam
kan. 1311: Gereja mempunyai hak asli dan sendiri untuk mengendalikan umat
beriman kristiani yang melakukan tindak kejahatan dengan sanksi hukuman. Sanksi
sanksi hukuman itu terdiri dari: (1) Hukuman-hukuman medisinal atau censura;
(2) hukuman-hukuman silih; (3) hukuman silih lain; (4) dan hukuman remedia
poenale untuk mencegah tindak pidana (bdk Kan.1312).
Ada dua jenis
hukuman dalam KHK
Dua jenis hukuman: Hukuman
biasa atau disebut ferendae sententiae (masih harus diputuskan
dalam hukum proses-acara) dan hukuman luar biasa latae sententiae (tanpa
harus melalui hukum proses melainkan langsung kena hukuman; bdk. kan 1314).
Prinsip hukum gereja dalam mengenakan sanksi terhadap imam atau umat beriman
kristiani adalah hanya sejauh sungguh-sungguh perlu untuk memelihara disiplin
gereja secara lebih baik (bdk. kan 1317). Maka hanya karena perbuatan imam atau
umat beriman melakukan tindak pidana beberapa kali dan amat berat,
hukuman latae setentiae dapat diterapkan oleh legislator
(Uskup).
Siapa saja yang
terkena sanksi (hukuman)
Hukum Gereja menyatakan
bahwa tidak seorangpun dapat dihukum kecuali ada pelanggaran lahiriah atas
suatu undang-undang atau perintah yang dilakukan oleh orang yang dapat
sungguh atas bertanggungjawab atas kesengajaan atau kelalaiannya (bdk. kan
1321). Bagi mereka yang tidak terkena hukuman adalah (1) belum berusia genap 16
tahun; (2) tanpa kesalahan sendiri tidak mengetahui bahwa ia melanggar; (3)
bertindak karena paksaan fisik atau karena kebetulan, yang tidak diprakirakan
sebelumnya atau diprakirakan atau tidak dapat dicegahnya; (4) terpaksa
bertindak karena ketakutan berat meski relatif atau karena keadaan mendesak
atau kerugian besar; (5) bertindak untuk secara legitim membela diri atau orang
lain terhadap penyerangan yang tidak adil; (6) tidak dapat menggunakan akal
budi (karena mabuk, atau gangguan mental); (7) tanpa kesalahan mengira bahwa
terdapat salah satu situasi yang disebut dalam nomor 4 atau 5 (bdk. kan.
1323-1324)
Hukuman dalam
Gereja
•1. Censura:
terdiri dari hukuman ekskomunikasi. Mereka yang terkena
ekskomunikasi dilarang: (1) ambil bagian apapun sebagai pelayan dalam perayaan
ekaristi atau upacara ibadat lainnya manapun; (2) merayakan sakramen-saakramen
atau sakramentali lainnya, dan menyambut sakramen-sakramen; (3) menunaikan
jabatan-jabatan atau pelayanan-pelayanan atau tugas gerejawi manapun, atau
tindakan kepemimpinan. Apabila Imam terkena censura jenis ekskomunikasi segala
perbuatan kepemimpinan sebagai imam tidak sah; tidak boleh menerima kedudukan,
jabatan atau tugas lainnya dalam Gereja; tidak dapat memiliki hasil-hasil
kedudukan jabatan bahkan pensiun yang diperoleh dari Gereja. Jenis kedua
adalah hukuman interdik: terkait dengan larangan pada censura pada
nomor 1-2 (bdk. kan. 1332). Jenis ketiga adalah hukuman Suspensi:
yang hanya dapat terkena pada klerus. Dengan suspensi imam dilarang: (1) semua
atau beberapa perbuatan kuasa tahbisan; (2) semua atau beberapa perbuatan kuasa
kepemimpinan; (3) pelaksanaan semua atau beberapa hak atau tugas yang terkait
pada jabatan. Hukuman suspensi hanya diberikan oleh Uskup (legislator) setempat
dan tidak pernah bagi imam yang tidak berada dibawah kuasa kepemimpinannya.
Putusan suspensi bagi imam dibuat oleh Uskup (legislator) dalam bentuk dekret
(surat keputusan yang menjatuhkan hukuman) (bdk. kan 1333).
•2. Hukuman
silih: hukuman yang dapat mengenai secara tetap atau untuk waktu tertentu
maupun tidak tertentu orang yang melakukan tindak pidana (bdk. kan 1336).
•3. Remedium
Poenale dan Penitensi: orang yang berada dalam kesempatan terdekat
melakukan kejahatan atau telah dicurigai telah melakukan tindak pidana dapat
diberi peringatan oleh Ordinaris secara pribadi atau lewat orang lain.
Ordinaris (Uskup) dapat menegur orang yang tingkah lakunya menimbulkan batu
sandungan atau gangguan berat yang mengacaukan tatanan Gereja. Tentang adanya
teguran haruslah selalu nyata sekurang-kurangnya dari suatu dokumen yang
disimpan dalam arsip rahasia kuria (bdk. kan 1339). Penitensi diberikan untuk
suatu perbuatan keagamaan, kasalehan atau amal kasih yang harus dilaksanakan
(bdk. kan 1340)
Menjatuhkan
hukuman (suspensi pada imam)
Ordinaris mengusahakan
prosedur peradilan (hukum proses-acara: harap baca buku VII, KHK 1983) atau
administratif untuk menjatuhkan hukuman hanya ketika Uskup menilai bahwa baik
peringatan persaudaraan maupun teguran atau sarana keprihatinan pastoral lain tidak
mencukupi lagi untuk memperbaiki sandungan, memulihkan keadilan dan memperbaiki
pelaku pelanggaran dari imam tersebut (bdk. kan 1341). Namun pada kanon 1342
memberi peluang tanpa melalui prosedur hukum proses (acara) yang panjang dan
lama dan ini sering digunakan oleh Uskup. Kanon 1342 menyatakan bahwa setiap
kali terdapat alasan-alasan wajar yang menghalangi untuk membuat proses
peradilan, hukuman dapat dijatuhkan lewat suatu dekret di luar peradilan. Lewat
dekret (surat keputusan Uskup) tidak dapat dijatuhkan hukuman yang bersifat
tetap artinya ada batas waktu tertentu seperti kasus suspensi pada imam. Jika
dalam perjalanan hidup imam tersebut menunjukkan perbuatan baik dan dinilai
bisa dikaryakan kembali setelah selesai masa hukuman, imam tersebut dapat
dikaryakan kembali. Jika imam tidak dijatuhi hukuman suspensi dan dibebaskan
oleh hakim, maka jika perlu dapat diberikan berupa remedium poenale dengan
mengusahakan kebaikan dan kepentingan umum (bdk. kan 1348).
Berhentinya
hukuman
Asalkan tidak direservasi
bagi Takhta Aspotolik, hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang meski
dijatuhkan dapat dihapus oleh Ordinaris yang memprakarsai peradilan dan
ordinaris tempat pelaku berada tetapi setelah berkonsultasi dengan ordinaris
yang memprakarsai peradilan. Kecuali itu dengan alasan keadaan yang luar biasa
(bdk. kan 1355). Ordinaris setempat (Uskup) dapat menghapus hukuman kecuali
perkara itu dirervasi oleh Takhta Apostolik dalam rangka sakramen tobat (bdk
kan 1355). Sebelum diberi penghapusan atas hukuman Hakim perlu mendengarkan
Uskup yang memberi perintah (bdk kan. 1356). Ada macam-macam tindakan yang
terkena hukuman dapat dibaca dalam kanon 1370-1398.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar