UMAR
bin Al-Khattab adalah kekalifahan kedua dalam sejarah Islam pasca nabi Muhammad
meninggal tahun 632. Dia menggantikan Abu Bakar, yang dipilih sebagai kalifah
pertama (632 – 634). Masa kekuasaannya berlangsung 10 tahun. Sama seperti Abu
Bakar, akhir hidup Umar juga tragis, yaitu dibunuh oleh mereka yang ingin
membalas dendam atas kebiadaban Umar dan tentara islam. Nasib kedua sahabat
nabi ini tak jauh beda dengan sang teladan mereka, yakni Nabi Muhammad. Hanya
Muhammad bernasib sedikit lebih baik. Sebagaimana diketahui, nabi Muhammad pun
nyaris mati dibunuh oleh isteri Yahudinya, yang semua anggota keluarga,
termasuk suaminya dibunuh oleh pasukan Muhammad. Jadi, pembunuhan ini terjadi
sebagai aksi balas dendam. Adanya dendam karena adanya kejahatan. Tak mungkin
orang menaruh dendam kepada kebaikan.
Ketika
nabi Muhammad masih hidup, Umar merupakan salah seorang yang berani melawan
perkataan nabi. Sebagaimana dikisahkan hadis sahih Muslim, saat nabi hampir
meninggal, nabi meminta alat tulis. Saat itu Muhammad sedang dikelilingi para
sahabatnya. Nabi ingin menulis sesuatu sebagai pegangan terakhir umat islam
yang akan ditinggalkannya supaya tidak sesat. Namun Umar menolak keinginan
Muhammad. Dia berkata, “Sudah jelas Rasul Allah sangat terganggu karena sakit.
Kalian sudah punya Quran. Buku Allah itu sudah cukup bagi kita.” Pernyataan
Umar ini menimbulkan pertengkaran di antara para sahabat nabi, sehingga
Muhammad mengusir mereka semua.
Pernyataan
Umar tersebut kontras dengan sikapnya terhadap nikah muta’a (nikah sementara
atau sekedar senang-senang saja). Pada masa kekuasaannya Umar melarang umat
islam melakukan nikah muta’a. Bahkan Umar mengancam akan menghukum siapapun
yang berani melakukan hal ini. Padahal Alquran mengizinkan orang mempraktekkan
nikah muta’a (bdk. QS an-Nisa: 24).
Pada
masa kekalifahannya Umar dikenal sebagai hakim yang bijak karena menyelesaikan
persoalan dengan adil dan arif. Karena itulah dia dijuluki ‘Umar al Faruq’, yang
berarti Umar yang bijak. Dalam dunia islam, pemimpin adalah juga sekaligus
hakim. Berikut ini satu contoh kasus bagaimana Umar menyelesaikan kasus tuduhan
perzinahan yang terjadi pada tahun 17 Hijriah (638 Masehi).
Suatu
hari dibawa ke hadapan Umar sepasang anak manusia, al-Mughirah ibn Shu’bah dan
Um Jamil, yang kedapatan berbuat zinah. Tiga sahabat nabi, yakni Abi Bikra,
Nafi ‘a bin al-Harith dan Shibal bin Ma’abad mengaku telah menyaksikan kedua
orang tersebut berzinah. Ketika sahabat nabi yang keempat (Zaiad ibn Shamalah)
muncul, Umar meyakinkannya bahwa dia tidak akan mengecewakan al-Mughirah ibn
Shu’bah. Umar menanyakan apa yang dilihat Zaiad.
Zaiad
menjawab: “Aku melihat mereka, dan mendengar dengusan nafas yang kuat, dan
kulihat dia telungkup di atas perut dan payudara Um Jamil.”
Umar:
“Apakah kau melihat dia memasuk-keluarkan penisnya saat al-Mail masul ke dalam
al-Mukahal?”
(mungkin
Umar mau mendapatkan kepastian apakah sungguh-sungguh terjadi persetubuhan;
karena ada kesan gambaran yang diberikan Zaiad belum masuk kategori persetubuhan).
Zaiad
menjawab: “Tidak. Tapi aku melihat dia mengangkat kedua kaki Um Jamil dan
tubuhnya naik turun di antara kedua kaki Um Jamil. Dan aku melihat dia
melakukannya dengan sepenuh tenaga dan aku mendengar dengusan nafas yang
keras.”
Umar
kembali bertanya: “Apakah kau melihat dia memasuk-keluarkan penisnya saat
al-Mail masuk ke dalam al-Mukahal?”
Dengan
tegas Zaiad menjawab, “Tidak.”
Sontak
Umar berkata, “Allahu Akbar. Panggil al-Mughirah ibn Shu’bah kemari dan beri
ketiga saksi delapan puluh cambukan.”
Demikianlah
cara Umar menyelesaikan kasus perzinahan. Konsep perzinahan dalam pemikiran
Umar adalah telah terjadinya persenggamaan, dimana penis sudah masuk ke dalam
liang vagina. Dan orang yang menuduh harus benar-benar melihat penis masuk ke
dalam vagina. Kalau hanya sekedar gerakan, posisi atau desahan suara, meski
kedua pelaku sudah telanjang, belum memberi jaminan sudah terjadi perzinahan.
Penuduh yang tak bisa memberikan bukti valid (penis masuk ke vagina) akan
dikenai saksi memberi tuduhan palsu. Justru mereka inilah yang akan dihukum,
sebagaimana dialami oleh tiga sahabat nabi di atas.
Itulah
salah satu gambaran bijaknya Kalifah Umar dalam bertindak sebagai hakim.
Mungkin maksud Umar adalah agar orang jangan sembarangan menuduh orang lain
berbuat zinah.
Dabo Singkep, 1 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar