“Awas, bohong itu dosa!”
Demikian pengajaran guru sekolah minggu kepada anak-anak sekolah minggu.
Sepertinya ajaran inilah yang paling membekas dalam ingatan anak-anak usia TK
sampai SD kelas empat. Hal ini terbukti dari ucapan anak-anak ini setiap kali
mereka ingin mendapatkan kepastian atau kebenaran, baik dari rekan seusianya
maupun dari orang dewasa. “Awas, ibu bilang bohong itu dosa!”
Bohong atau tipu merupakan
dua hal yang sama. Dari segi psikologis, berbohong atau menipu sering dilihat
sebagai bentuk self-defence atau pertahanan diri. Yang ingin
dipertahankan adalah kepentingan dirinya, yang biasanya adalah harga diri.
Sebab, jika tidak berbohong, alias jujur, maka malu yang
didapat. Dan kalau malu, maka harga diri akan hancur.
Lantas, apakah setiap
berbohong itu adalah wujud self-defence? Apakah bisa dikatakan
juga bahwa menipu itu dosa?
Memang berbohong atau menipu
itu identik dengan menutupi yang buruk menjadi baik. Orang ingin supaya hal
yang buruk dalam dirinya atau kelompoknya tidak tercium atau diketahui orang
lain. Karena itu ia berbohong. Menipu identik dengan membohongi yang salah jadi
benar. Ini membutuhkan keahlian tersendiri bagaimana mengubah kesalahan menjadi
sebuah kebenaran yang diterima dan dipercayai orang. Karena itulah, dalam
tindakan menipu orang melakukan dua hal, yaitu berbohong dan membodohi.
Sekalipun demikian tak
selamanya menipu itu dilihat sebagai bentuk pertahanan diri. Tak selamanya juga
berbohong itu dosa. Ada begitu banyak jenis kegiatan menipu yang berakar dari
motivasinya.
Ada orang menipu
demi kekuasaan. Contoh klasik dapat kita lihat pada kisah Esau
dan Yakob (Kej 27: 1 - 40). Kisah ini merupakan contoh menipu untuk mendapatkan
kekuasaan. Ada juga orang menipu untuk menunjukkan kekuasaannya. Misalnya,
seorang walikelas mau agar idenya yang terlaksana sekalipun mendapat tentangan
dari mayoritas murid. Maka, kepada kepala sekolah ia akan berkata bahwa
anak-anak muridnya setuju dengan gagasannya; dan kepada para muridnya ia
berkata bahwa ini merupakan kehendak kepala sekolah. Terlihat jelas walikelas
ini sudah menipu untuk menunjukkan kekuasaannya. Dia menipu kepala sekolah
dengan mengatas-namakan murid-murid, dan menipu anak-anak dengan menjual nama
kepala sekolah.
Ada orang menipu
demi kepentingan pribadi. Jenis tipuan inilah yang dalam dunia
psikologi dinamakan self-defence. Di sini orang menipu supaya
kepentingan dirinya, biasanya berkaitan dengan kenikmatan dan kemapanan, tidak
terusik. Dewasa kini jenis tipuan ini dapat dijumpai pada kaum agamawan juga
para politikus. Mereka sering mengatas-namakan pelayanan atau rakyat untuk
menutupi maksud tersembunyi, yaitu hormat dan uang. Mereka mau dan rela
berkorban mengadakan pelayanan di mana-mana agar dapat dihormati dan dapat
uang. Contoh lain misalnya ada orang menuding sekelompok orang telah memakan
uang pembangunan gereja. Namun ketika kelompok tertuding menantang untuk
diadakan auditing keuangan, orang yang menuding melontarkan
berbagai alasan yang dibuat-buat. Di sini tampak bahwa yang menuding melakukan
penipuan agar kepentingan pribadinya tidak terusik. Bisa jadi dialah yang makan
uang pembangunan tersebut.
Ada orang menipu
demi kode etik. Artinya ada aturan atau ketentuan yang mengharuskan
seseorang untuk berbohong atau tidak mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Jenis
tipuan ini dapat ditemui pada orang-orang yang memiliki jabatan seperti imam,
konselor (psikolog), dokter, penterjemah, dll. Mereka-mereka ini wajib
menyembunyikan informasi yang mereka dapat. Jika ditanya mereka akan menjawab,
“Tidak tahu” meski mereka sebenarnya tahu. Artinya mereka berbohong.
Jenis tipuan yang terakhir
adalah menipu demi hiburan. Tidak ada asas manfaat dalam jenis
tipuan ini, karena motivasi menipunya hanya untuk hiburan. Orang yang menjadi
sasaran tipuan biasanya sudah mengetahui kalau pernyataan yang disampaikan
kepadanya adalah sebuah tipuan. Misalnya, seseorang mengatakan bahwa dirinya
baru saja ketemu dengan artis terkenal. Lawan bicaranya tentulah langsung
mengenal ini sebuah tipuan karena ia tahu siapa yang bicara dan bagaimana
pengamanan artis terkenal. Karena itu, tidak ada kerugian apapun dalam jenis
tipuan ini. Sekalipun ia percaya, toh ia tidak akan rugi, sama halnya jika ia
tidak percaya. Contoh gamblang untuk jenis tipuan ini adalah para pesulap.
Apakah menipu itu dosa?
Silahkan Anda menilai sendiri, termasuk jenis tipuan apa yang dipakai?
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar