Menikah
dan hidup berkeluarga merupakan kerinduan setiap manusia. Agama menghendaki
agar pria dan wanita saling mencintai dan hidup bersama dalam satu rumah tangga
menjadi suami dan isteri. Tentulah harapan setiap orang yang mau menikah adalah
kebahagiaan bersama, suami dan isteri. Kebahagiaan itu tidak harus ditentukan
dari banyaknya harga kekayaan atau suksesnya karier pekerjaan.
Dalam
banyak budaya, sering terlihat bahwa isteri masih menduduki kelas dua dalam
keluarga. Tidak ada kesetaraan antara suami dan isteri. Hal-hal ini kerap
berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Bagaimana sebenarnya pandangan
islam tentang isteri?
Ada
2 sumber utama ajaran islam. Yang pertama adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an diyakini
umat islam langsung berasal dari Allah SWT. Kata-kata yang tertulis dalam kitab
itu adalah kata-kata Allah sendiri. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan
Allah SWT, yang dapat dibaca dalam QS As-Sajdah: 2, dan QS Az-Zumar: 1 – 2, 41.
Perlu diketahui bahwa Allah SWT sudah berfirman bahwa Al-Qur’an adalah kitab
yang mudah dan jelas (QS Al-Qamar: 17). Artinya, apa yang tertulis, itulah
maknanya; tidak perlu tafsiran lagi. Sepertinya hal ini memang disengaja Allah
SWT agar dikemudian hari tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam.
Karena Allah SWT pernah berfirman, “Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” (QS An-Nisa: 59). Allah SWT sadar
bahwa suatu saat sang Rasul, yakni Muhammad, akan meninggal. Jika Muhammad
mati, bagaimana menyelesaikan perbedaan pendapat? Karena itulah, Al-Qur’an
dibuat mudah dan jelas sehingga siapa pun dapat memahaminya.
Sumber
yang kedua adalah hadis. Umumnya orang memandang hadis sebagai kumpulan
perkataan, sikap dan perbuatan Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah ajaran. Jadi,
perkataan-perkataan nabi semasa hidupnya, perbuatan dan juga sikapnya menjadi
pengajaran bagi umat islam. Karena Al-Qur’an sudah menyebut Muhammad sebagai
teladan tingkah laku yang sempurna (QS Al-Ahzab: 21; QS Al-Qalam: 4), maka umat
islam wajib mengikuti setiap perkataan, sikap dan perbuatannya. Dalam QS
An-Nisa: 80 Allah berfirman, “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya
ia telah mentaati Allah.” Dan dalam ayat 59 dari surah An-Nisa ada perintah
Allah kepada umat beriman untuk mentaati Muhammad SAW.
Nah,
bagaimana kedua sumber utama islam ini mengajarkan tentang kaum isteri? Apa
yang dikatakan Allah SWT, dan apa yang diteladankan Nabi tentang isteri?
Pertama-tama
kita buka dan baca QS Al-Baqarah: 223. Dalam Quran Kemenag tertulis: “Isteri-isterimu adalah ladang bagimu, maka
datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah
(yang baik) untuk dirimu.” Sedangkan dalam IndoQuran tertulis, “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu.” Dari dua
sumber ini terlihat adanya perbedaan redaksi. Kita tak tahu apakah perbedaan
ini karena kesalahan terjemahan, atau teks aslinya berbeda, atau karena
sumbernya memang berbeda. Akan tetapi, yang hendak dibahas di sini adalah soal
ajaran islam tentang isteri, bukan masalah perbedaan redaksi.
Sekalipun
ada perbedaan redaksi, namun kita bisa melihat adanya kesamaan, yaitu bagaimana
sikap suami terhadap isteri atau seperti apa isteri itu di mata suami. Kutipan
surah Al-Baqarah di atas hendak mengatakan bahwa isteri hanya sebatas ladang
yang bisa dipakai suami untuk menanamkan benih spermanya. Dengan kata lain, istri
dilihat sebatas pemuas kebutuhan seksual suami. Yang diutamakan adalah kepuasan
suami (perhatikan terjemahan Quran Kemenag: “Dan utamakanlah (yang baik) untuk
dirimu.”). Jadi, kapan saja suami mau menyalurkan syahwatnya, isteri siap
melayani. Bahkan dengan cara apa saja yang disukai suami.
Apa
yang diwahyukan Allah dalam surah Al-Baqarah di atas, didukung oleh hadis-hadis.
Dalam hadis Bukhari, Nabi Muhammad berkata, “Jika seorang suami mengajak
istrinya ke tempat tidur, lalu istrinya menolaknya sehingga dia melalui malam
itu dalam keadaan marah, maka malaikat melaknat istrinya itu hingga subuh.” (HS Bukhari Vol.4, Bk. 54, No. 460; bdk. HS Muslim Bk 8, No. 3366 – 3368). Hadis
Muslim juga menegaskan bahwa Allah tidak senang ketika isteri menolak ajakan
suami ke ranjang. Artinya, Allah senang kalau isteri melayani syahwat suaminya saat
dibutuhkan. Jadi, isteri wajib melayani hasrat seksual suami, apapun keadaannya. Bahkan ketika isteri haid pun, jika suami ingin melampiaskan nafsu seksualnya, isteri harus taat. Hadis Bukhari Volume 1, buku 6 berbicara soal menstruasi atau haid. Dalam beberapa nomor dikisahkan tentang Nabi Muhammad yang berhubungan seksual dengan Aisah, yang saat itu sedang haid.
Hadis
Bukhari dan Muslim merupakan dua hadis yang terpercaya. Pernyataan Nabi
Muhammad tentang istri yang wajib melayani hasrat seksual suami bila dibutuhkan,
yang ada dalam dua hadis terpercaya ini, ditegaskan juga dalam Hadis Tirmidzi.
Di sini dikatakan bahwa Muhammad SAW berkata, “Jika seorang lelaki mengajak
istrinya untuk memenuhi hasratnya, maka hendaknya dia mendatanginya, walau dia
sedang berada di dapur.” (Hadis Tirmidzi no. 1080). Sedang datang bulan saja harus tetap melayani syahwat suami, apalagi cuma sedang berada di dapur.
Dari
wahyu Allah dalam surah Al-Baqarah, dan dari hadis Bukhari, Muslim dan Tirmidzi
terlihat jelas bahwa isteri itu wajib melayani syahwat suami kapan pun dibutuhkan.
Seorang pria menikahi seorang wanita agar dapat menyalurkan syahwatnya secara
sah, dan tugas isteri adalah memenuhinya. Seorang isteri yang ingin
menyenangkan Allah SWT haruslah melayani nafsu seksual suaminya bila diminta;
kapan sama dan dengan cara apa saja. Tak peduli apakah isteri suka atau tidak
suka. Dalam soal hubungan seksual, prioritas utama adalah kepuasan suami, bukan
isteri. Hasrat seksual suami yang terpuaskan oleh isteri adalah kesenangan
Allah SWT.
Isteri
harus taat pada permintaan suami, khususnya dalam pemenuhan hasrat seksualnya. Bagaimana
jika isteri menolak? Dalam dua hadis terpercaya, Bukhari dan Muslim, sudah
dikatakan bahwa isteri akan dikutuk atau dilaknati oleh malaikat. Sanksi ini
memang terkesan lunak secara manusiawi. Sanksi tegas datang dari Allah SWT.
Dalam QS An-Nisa: 34 Allah mengizinkan suami untuk memukul isterinya jika isteri
protes atau menolak untuk berhubungan seksual. Soal memukul isteri, Nabi
Muhammad SAW sudah memberikan teladan. Isteri favoritnya, Siti Aisha, pernah
dipukul sang nabi di dadanya, dan ia mengeluh merasa sakit akibat pukulan itu.
Karena
itu, dapatlah dikatakan bahwa agama islam membolehkan para suami memukul
isterinya. Ajaran ini langsung berasal dari Allah SWT dan mendapat peneguhan
dari teladan sang Nabi. Memukul
isteri merupakan hal yang dihalalkan dalam islam apabila termasuk dalam empat
kasus berikut ini:
1. Jika isteri tidak mau berdandan atau berhias diri
padahal suaminya menghendaki begitu.
2. Jika isteri tidak mau berhubungan seks dengan suami
tanpa alasan yang diakui islam.
3. Jika isteri disuruh membersihkan diri untuk shalat dan
dia tidak mau.
4. Jika isteri pergi keluar rumah tanpa izin dari suami.
Dari
keempat kasus di atas, tampak jelas bahwa suami menjadi tolok ukurnya. Isteri
harus berdandan atau berias sesuai
dengan kehendak suami; isteri harus berhubungan seks sesuai dengan kehendak suami; isteri harus membersihkan diri untuk
shalat sesuai dengan kehendak suami;
isteri harus pergi keluar rumah sesuai
dengan kehendak suami. Sepertinya hal ini sejalan dengan kehendak Allah SWT
yang selalu memprioritaskan kepuasan suami.
DEMIKIANLAH
pandangan islam tentang isteri, yang diambil dari Al-Qur’an dan hadis. Dari
uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam ajaran islam seorang isteri
mempunyai kewajiban melayani nafsu seksual suaminya. Dia tidak punya hak atas
tubuhnya. Kapan saja, dimana saja dan dengan cara apa saja kebutuhan seksual
suami terpenuhi, isteri harus siap memenuhinya. Isteri tidak boleh menolak.
Jika isteri menolak melayani hasrat seksual suami, maka dia akan mendapat
sanksi dari Allah dan dari suami. Allah tidak akan senang dengannya, dan
malaikat akan mengutuk atau melaknati dia hingga pagi. Itulah sanksi dari
Allah. Sedangkan sanksi dari suami adalah pemukulan. Suami boleh memukul isteri
yang tidak mau memenuhi syahwat seksualnya, atau tidak mau berhubungan seksual
dengan cara seperti yang diinginkan suami.
Dabo
Singkep, 21 Mei 2020
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar