Gereja
katolik memiliki keyakinan bahwa semua bangsa merupakan satu masyarakat yang
mempunyai satu asal dan satu tujuan akhir. Dalam satu masyarakat ini terdapat
begitu banyak aneka perbedaan dalam ras, suku, bangsa, budaya dan juga agama.
Terkait agama, Gereja katolik yakin bahwa sudah sejak jaman dahulu di antara
pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan gaib yang
menuntut pengakuan umat manusia terhadap Kuasa Ilahi yang tertinggi, yang dalam
bahasa agama dikenal dengan istilah Allah.
Dalam
keaneka-ragaman agama di dunia ini, bagaimana sikap Gereja Katolik? Dan
bagaimana pula Gereja katolik menyikapinya dalam terang permintaan Yesus,
“Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah kuperintahkan kepadamu” (Mat 28: 19 – 20)? Akankah permintaan Yesus ini
menimbulkan gesekan dengan agama-agama lain?
Pada
11 Oktober 1962 hingga 8 Desember 1965 Gereja katolik mengadakan konsili, yang
kemudian dikenal dengan Konsili Vatikan II. Konsili ini dihadiri sekitar 2540
uskup sedunia, 29 pengamat dari 17 Gereja lain, dan para undangan yang bukan
katolik. Setidak-tidaknya ada 16 dokumen yang dihasilkan dalam sidang konsili
itu. Ada 2 dokumen penting terkait sikap Gereja katolik terhadap kehidupan
beragama. Dua dokumen tersebut adalah Nostra Aetate (NA) dan Dignitatis Humanae
(DH). Dokumen Nostra Aetate membahas lebih pada sikap Gereja katolik terhadap
agama-agama lain, sedangkan Dignitatis Humanae berbicara tentang kebebasan
beragama.
Terhadap
agama-agama lain, “Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama
itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan
cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang
dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri,
tetapi tidak jarang toh memantulkan
sinar kebenaran, yang menerangi semua orang” (NA, no. 2). Karena itu, Gereja
katolik mengajak umatnya agar dengan bijaksana dan penuh kasih, melakukan
dialog, kerja saja dengan umat agama lain dan mengembangkan harta kekayaan
rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada agama lain
(bdk. NA, no. 2).
Ada
sikap hormat Gereja katolik terhadap agama-agama lain. Sikap hormat terhadap
agama-agama lain ini menunjukkan sikap hormat Gereja katolik terhadap perbedaan
yang ada. Adalah bohong jika menyatakan hormat tapi dalam praktek dan teori
penuh dengan kebencian dan permusuhan. Adalah bohong jika menyatakan hormat terhadap perbedaan namun dalam praktek memaksa sesuai ajaran. Akar sikap hormat ini ada pada pengakuan
atas hak asasi manusia untuk memeluk suatu agama. Hak tersebut melekat pada
pribadi manusia. Karena itu, dapat juga dikatakan bahwa akar sikap hormat ini
terletak pada hormat pada kemanusiaan manusia. Gereja katolik percaya bahwa
menghormati manusia berarti memuliakan Allah, karena manusia merupakan gambaran
Allah. Kepercayaan ini dilandaskan pada ajaran Alkitab, “Jikalau seorang
berkata: ‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah
pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak
mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya” (1Yoh 4: 20).
Gereja
katolik mengakui bahwa setiap pribadi manusia mempunyai hak untuk memilih agama
yang diyakini dan beribadat berdasarkan keyakinan tersebut. Setiap manusia
bebas untuk menentukan agamanya. Ini merupakan hak asasi manusia yang harus
dihormati. Karena itu, siapapun tidak boleh memaksa seseorang untuk memeluk
suatu agama, atau menghalang-halangi seseorang untuk beribadah menurut
agamanya. Kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia.
Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum
masyarakat. (Dignitatis Humanae, no. 2).
Jadi,
Gereja katolik mengakui adanya hak atas kebebasan beragama. Akan tetapi, Gereja
katolik juga menyadari bahwa kebebasan itu tidaklah bersifat absolut, karena
masyarakat manusia hidup dalam keaneka-ragaman. Dalam masyarakat yang plural
ini, tentulah kebebasan seseorang akan berbenturan dengan kebebasan orang lain.
Untuk itu, penggunakan kebebasan beragama ini “harus mematuhi kaidah-kaidah
tertentu yang mengaturnya”, yakni “azas moral tanggung jawab pribadi dan
sosial” (Dignitatis Humanae, no. 7). Artinya, tiap-tiap orang perlu
mempertimbangkan hak-hak orang lain. Sekali lagi, sikap yang dibutuhkan adalah
sikap hormat. Dengan sikap hormat ini semua orang “diperlakukan menurut
keadilan dan peri-kemanusiaan” (Dignitatis Humanae, no. 7).
Bagi
Gereja katolik hak manusia atas kebebasan beragama mempunyai dasarnya dalam
masyarakat pribadi, yang akarnya ada pada Wahyu Ilahi. (DH, no. 9). Allah
memperhitungkan martabat pribadi manusia yang diciptakan-Nya, termasuk di
dalamnya adalah kebebasan. Bapa Gereja telah mengajarkan bahwa “manusia wajib
secara sukarela menjawab Allah dengan beriman; maka dari itu tak seorang pun
boleh dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk memeluk iman” (DH, no. 10).
Gereja
katolik menyadari “betapa perlulah kebebasan beragama” (DH, no. 15). Kebebasan
beragama ini harus didukung dengan perlindungan hukum yang tepat guna dan sikap
hormat satu sama lain. Semua hal ini demi terwujudnya persaudaraan semesta.
Oleh karena itu, haruslah dikecam “setiap diskriminasi antara orang-orang atau
penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama”
(NA, no. 5).
Demikianlah
sikap Gereja katolik. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa Gereja katolik
sangat menghormati agama-agama lain serta menghormati juga hak manusia atas
kebebasan beragama. Sejalan dengan ajarannya itu, Gereja katolik tidak akan
memaksa atau dengan siasat-siasat tertentu agar seseorang menjadi katolik.
Gereja katolik mengandalkan kekuatan sabda Allah (DH, no. 11), yang berarti
juga menghormati hak atas kebebasan beragama.
Apa
yang telah diajarkan Gereja katolik ini tidak hanya sebatas ajaran teoritis
belaka; juga tidak tinggal sebatas himbauan saja. Ajaran Gereja katolik ini terlihat
dalam sikap dan pengalaman hidupnya. Ketika ada umatnya yang meninggalkan
Gereja katolik, tidak ada sanksi apa pun (kita bicara pasca Konsili Vatikan
II). Gereja katolik “menyerahkan hukuman kepada Allah pada hari Pengadilan”
(DH, no. 11). Berbeda dengan islam yang membolehkan umatnya membunuh orang yang
meninggalkan islam, alias murtad. Untuk menjadi katolik (menerima baptisan
katolik), seseorang harus melalui proses, yang dikenal dengan dengan istilah
pra-katekumenat dan katekumenat, dimana semuanya berlangsung selama 1 tahun. Dan
dalam proses tersebut tak jarang juga ada orang yang mundur, dan Gereja katolik
tetap menghormati keputusannya. Berbeda dengan beberapa agama lain, yang begitu
mudahnya menerima umat, bahkan dengan iming-iming sesuatu.
Sikap
hormat pada hak atas kebebasan beragama dan sikap tidak memaksakan agama kepada
seseorang dalam Gereja katolik terlihat dalam aturan perkawinan campur, baik
beda agama maupun beda Gereja. Jika dalam agama-agama lain, umat dari agama
lain harus memeluk agama pasangannya sehingga perkawinan mereka bisa disahkan.
Misalnya, orang katolik menikah dengan orang islam. Jika menikah secara islam,
maka yang katolik harus menjadi islam terlebih dahulu. Dengan kata lain, ada
pemaksaan dalam memeluk agama. Berbeda dengan Gereja katolik. Orang islam boleh
menikah dengan orang katolik secara Gereja Katolik tanpa harus meninggalkan agamanya. Artinya, ia
tetap memeluk agama; tidak harus menjadi katolik. Inilah bukti betapa Gereja
katolik menghormati hak atas kebebasan beragama dan tidak memaksakan agamanya
kepada orang lain.
Lantas
bagaimana sikap Gereja katolik ini diperdamaikan dengan permintaan Yesus kepada
para murid-Nya seperti yang telah diutarakan di depan? Seperti yang telah
diketahui, ada 3 permintaan Yesus, yaitu:
1. Mengajarkan
orang agar melakukan segala sesuatu yang telah Yesus perintahkan. Perintah utama
Yesus adalh kasih. Jadi, umat katolik diminta untuk mengajarkan orang untuk
saling mengasihi. Dalam penyampaian ajaran ini, umat katolik tidak boleh memaksakan kehendaknya.
2. Menjadikan
orang sebagai murid Yesus. Tugas seorang murid adalah melakukan apa yang
diajarkan oleh guru. Menjadi murid Yesus berarti melakukan apa yang diajarkan
dan diteladankan Yesus. Lagi-lagi itu adalah kasih, karena Yesus, hidup,
ajaran, perbuatan dan karya-Nya, adalah perwujudan kasih Allah. Menjadi murid Yesus itu adalah pilihan bebas seseorang. Umat katolik dilarang memaksa orang lain menjadi murid Yesus.
3. Membaptis
orang. Dengan baptisan, seseorang percaya dan mengakui bahwa Yesus adalah Allah
yang menjadi manusia. Dan dengan kepercayaan itu seseorang mendapatkan rahmat
keselamatan. Menerima baptisan adalah merupakan pilihan bebas orang. Tidak ada paksaan di dalamnya.
Demikianlah
3 permintaan Yesus kepada para murid-Nya. Apakah melakukan permintaan ini akan
menimbulkan gesekan dengan umat agama lain karena bertentangan dengan hak atas
kebebasan beragama? Sama sekali tidak. Tetap umat katolik didorong, dalam
melaksanakan permintaan Yesus tersebut, tidak boleh memaksa. Artinya, orang
katolik terpanggil untuk mengajarkan (mewartakan kepada) orang perintah Yesus;
apakah orang tersebut mau mendengar atau tidak, menerima atau tidak,
melaksanakan atau tidak, adalah keputusan yang bersangkutan. Orang katolik
hanya menjadikan orang sebagai murid Yesus yang memang benar-benar telah
memutuskan dengan sukarela mau menjadi murid Yesus. Jadi tidak ada paksaan. Demikian pula dengan
keputusan untuk menerima baptisan. Gereja hanya membaptis orang yang benar-benar
mau dibaptis berdasarkan pilihan dan keputusan hati nuraninya. Tidak ada
paksaan atau iming-iming tertentu. Karena itulah, pelaksanakan 3 permintaan
Yesus ini sama sekali tidak bertentangan dengan hak atas kebebasan beragama.
Dabo
Singkep, 21 April 2020
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar