Dalam
Gereja Katolik perkawinan dimaknai sebagai persekutuan antara seorang laki-laki
dan seorang wanita seumur hidup untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup serta melanjutkan keturunan dan pendidikan anak. Ada dua sifat hakiki
perkawinan katolik, yaitu monogami dan indissolubilitas. Monogami dipahami
dengan perkawinan yang hanya terjadi pada satu pasangan saja, yakni satu pria
sebagai suami dan satu perempuan sebagai istri. Sedangkan indissolubilitas dipahami
sebagai tak terceraikan. Dengan kata lain, Gereja Katolik tidak mengakui adanya
perceraian.
Tidak
diakuinya perceraian dalam Gereja Katolik ini didasarkan pada ajaran Kitab
Suci. Gereja Katolik melihat hal ini merupakan kehendak Allah. Akan tetapi, ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa Yesus membolehkan adanya perceraian.
Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Yesus dalam Matius 19: 9, “Barangsiapa
menceraikan isterinya, kecuali karena
zinah, lalu kawin lagi….” Frase kecuali
karena zinah menunjukkan kekecualian. Dengan kata lain, perceraian
diperbolehkan jika salah satu pihak, entah itu isteri maupun suami, telah
melakukan perbuatan zinah.
Menjadi
pertanyaan, benarkah Yesus mengizinkan orang bercerai? Jika memang benar Yesus
membolehkan perceraian, artinya Yesus tidak konsisten dengan perkataan-Nya
sendiri. Kalau begitu, bagaimana bisa memahami pernyataan Yesus, khususnya
frase kecuali karena zinah?
Setidaknya ada 3 pendekatan untuk bisa memahami hal tersebut.
Pertama, pendekatan
konteks atau latar belakang teks. Konteks atau setting yang menjadi latar belakang pernyataan Yesus itu adalah
menjawab pertanyaan orang Farisi tentang perceraian yang dilandasi pada ajaran
Musa. “Apa sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang
menceraikan isterinya?” (Mat. 19: 7). Ketika disebutkan nama Musa, tentulah
pikiran orang, termasuk di sini Yesus, merujuk pada ajaran Musa, yang diyakini
tertuang dalam Kitab Taurat (Kejadian, Keluaran, Bilangan, Imamat dan Ulangan).
Kitab Ulangan 24: 1 – 5 berbicara tentang perceraian. Pada ayat 1 tertulis,
“Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika
kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya
ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruhnya pergi dari rumahnya.”
Apa
yang dimaksud dengan kata “tidak senonoh”? Hingga jaman Yesus, istilah tidak
senonoh ini menjadi perdebatan di antara para ahli Taurat, sehingga mereka
terbagi dalam dua kelompok. Orang yang sangat menuntut kegadisan calon mempelai
wanita menafsirkan bahwa tidak senonoh itu berkaitan dengan keperawanan. Jadi,
jika didapati wanitanya tidak perawan lagi, maka suami bisa menceraikannya. Ada
juga orang yang menafsirkan secara luas, misalnya seperti perbuatan atau
penampilan istri yang tidak menyenangkan suami. Tafsiran luas ini kemudian
dipakai oleh islam dalam urusan perceraian.
Berhadapan
dengan 2 tafsiran ini, seolah-olah kaum Farisi menjadi bingung. Dalam
kebingungan itu mereka akhirnya bertanya kepada Yesus untuk meminta
pendapat-Nya, terlepas apakah pertanyaan itu sekedar mencobai Yesus atau tidak.
Saat itu, popularitas Yesus sudah diakui. Karena itu, ada kesan orang Farisi
ingin mengetahui Yesus ada pada pendapat mana.
Kedua, pendekatan
bahasa asli teks. Kalimat yang menggangu dari pernyataan Yesus itu adalah frase
kecuali karena zinah. Dalam bahasa
Yunani, frase tersebut ditulis: me epi
porneia. Kata “porneia” merupakan terjemahan dari kata asli Ibrani “zanut”. Kata Ibrani ini sama sekali
tidak ada kaitan dengan percabulan (termasuk zinah) dalam pemahaman saat ini,
melainkan dipahami dalam konteks ketidak-pantasan dari sebuah perkawinan inses sebagaimana tertuang dalam kitab
Imamat: 18 (termasuk rujukan untuk ajaran Musa). Jadi, pernyataan Yesus yang
membolehkan perceraian harus dipahami dalam konteks perkawinan inses. Dengan
kata lain, kalau mau ditulis lengkap maka akan berbunyi: “….., kecuali kalau
perkawinan itu adalah perkawinan inses.”
Bila
dikaitkan dengan pendekatan pertama, kita mendapatkan pendasaran jawaban Yesus.
Artinya, jawaban Yesus tidak boleh lepas dari konteksnya, yaitu ajaran Musa,
karena nama Musa dibawa dalam pembicaraan dengan orang Farisi. Setidaknya ada 2
kitab Musa yang dikaitkan dengan persoalan tersebut, yaitu kitab Ulangan dan
Imamat.
Ketiga, pendekatan
sinoptik dan perbandingan teks. Injil Matius, bersama dengan Markus dan Lukas
termasuk dalam Injil Sinoptik. Di antara ketiga Injil tersebut, Markus adalah
Injil paling tua. Dalam teori sinoptik, Matius dan Lukas mengambil bahan Markus
dalam penulisan Injilnya, selain mempunyai sumber lain, yang disebut quelle. Jika kita dekatkan teks ini di
antara ketiga Injil Sinoptik, maka dapat dikatakan frase kecuali karena zinah hanya terdapat dalam Matius. Demikian pula,
jika kita bandingkan ajaran perceraian ini yang ada dalam teks Perjanjian Baru
lainnya (1Kor 7: 10 – 11; Gal 5: 16 – 26; Ef 5: 22 – 23; 1Tes 4: 3 – 6; 1Ptr 3:
1 – 7), kita dapat mengatakan bahwa frase kecuali
karena zinah hanya terdapat dalam Matius. Artinya, frase itu tidak ada
dalam bagian Perjanjian Baru lainnya selain Injil Matius, dan bahkan tidak
pernah dikutip oleh para pujangga Gereja sebelum Konsili Nicea (325 M). Karena
itu, bisa dikatakan bahwa ada kemungkinan bahwa frase tersebut merupakan
tambahan kemudian, atau disisipkan pada teks asli Injil Matius.
Kemungkinan
sisipan ini bisa saja dilatar-belakangi pada situasi sosial saat itu dimana
perceraian dilegalkan dengan alasan perzinahan. Mungkin hukum negara, dimana
penambah berada membolehkan hal tersebut, sehingga ia akhirnya menyisipkan
frase itu dalam teks asli Injil Matius. Frase tersebut jelas-jelas bertentangan
dengan pernyataan Yesus, “sejak semula tidaklah demikian.” (Mat 19: 8; bdk. Mrk
10: 6). Karena bukan merupakan teks asli, mungkin frase tersebut dimasukkan ke
dalam teks asli Injil Matius setelah tahun 325.
DEMIKIANLAH
tiga pendekatan untuk dapat memahami pernyataan Yesus “Barangsiapa menceraikan
isterinya, kecuali karena zinah,…” Tanpa
menggunakan pendekatan tersebut orang bisa menilai bahwa Yesus memberi izin
untuk bercerai. Akan tetapi, dengan tiga pendekatan itu, tampak jelas Yesus
sama sekali tidak bermaksud membuat kekecualian. Perkawinan yang diajarkan
Yesus adalah tidak terceraikan. Ajaran inilah yang kemudian diteruskan dalam
Gereja Katolik. Tidak terceraikannya perkawinan menjadi salah satu sifat hakiki
perkawinan katolik, karena berasal dari kehendak Allah.
Ujung
Beting, 22 Maret 2020
by:
adrian
Sumber:
Dr.
Ardus Jehaut, Pr, Kawin Cerai Kawin Lagi,
Obor: Jakarta, 2008
Dr.
Yohanes Servatius Lon, M.A., Hukum
Perkawinan Sakramental dalam Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2019
Kitab
Suci Katolik, Ende: Arnoldus, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar