Minggu, 17 Mei 2020

APAKAH YESUS MENGIZINKAN PERCERAIAN?

Dalam Gereja Katolik perkawinan dimaknai sebagai persekutuan antara seorang laki-laki dan seorang wanita seumur hidup untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta melanjutkan keturunan dan pendidikan anak. Ada dua sifat hakiki perkawinan katolik, yaitu monogami dan indissolubilitas. Monogami dipahami dengan perkawinan yang hanya terjadi pada satu pasangan saja, yakni satu pria sebagai suami dan satu perempuan sebagai istri. Sedangkan indissolubilitas dipahami sebagai tak terceraikan. Dengan kata lain, Gereja Katolik tidak mengakui adanya perceraian.
Tidak diakuinya perceraian dalam Gereja Katolik ini didasarkan pada ajaran Kitab Suci. Gereja Katolik melihat hal ini merupakan kehendak Allah. Akan tetapi, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Yesus membolehkan adanya perceraian. Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Yesus dalam Matius 19: 9, “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin lagi….” Frase kecuali karena zinah menunjukkan kekecualian. Dengan kata lain, perceraian diperbolehkan jika salah satu pihak, entah itu isteri maupun suami, telah melakukan perbuatan zinah.
Menjadi pertanyaan, benarkah Yesus mengizinkan orang bercerai? Jika memang benar Yesus membolehkan perceraian, artinya Yesus tidak konsisten dengan perkataan-Nya sendiri. Kalau begitu, bagaimana bisa memahami pernyataan Yesus, khususnya frase kecuali karena zinah? Setidaknya ada 3 pendekatan untuk bisa memahami hal tersebut.

Pertama, pendekatan konteks atau latar belakang teks. Konteks atau setting yang menjadi latar belakang pernyataan Yesus itu adalah menjawab pertanyaan orang Farisi tentang perceraian yang dilandasi pada ajaran Musa. “Apa sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” (Mat. 19: 7). Ketika disebutkan nama Musa, tentulah pikiran orang, termasuk di sini Yesus, merujuk pada ajaran Musa, yang diyakini tertuang dalam Kitab Taurat (Kejadian, Keluaran, Bilangan, Imamat dan Ulangan). Kitab Ulangan 24: 1 – 5 berbicara tentang perceraian. Pada ayat 1 tertulis, “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruhnya pergi dari rumahnya.”
Apa yang dimaksud dengan kata “tidak senonoh”? Hingga jaman Yesus, istilah tidak senonoh ini menjadi perdebatan di antara para ahli Taurat, sehingga mereka terbagi dalam dua kelompok. Orang yang sangat menuntut kegadisan calon mempelai wanita menafsirkan bahwa tidak senonoh itu berkaitan dengan keperawanan. Jadi, jika didapati wanitanya tidak perawan lagi, maka suami bisa menceraikannya. Ada juga orang yang menafsirkan secara luas, misalnya seperti perbuatan atau penampilan istri yang tidak menyenangkan suami. Tafsiran luas ini kemudian dipakai oleh islam dalam urusan perceraian.
Berhadapan dengan 2 tafsiran ini, seolah-olah kaum Farisi menjadi bingung. Dalam kebingungan itu mereka akhirnya bertanya kepada Yesus untuk meminta pendapat-Nya, terlepas apakah pertanyaan itu sekedar mencobai Yesus atau tidak. Saat itu, popularitas Yesus sudah diakui. Karena itu, ada kesan orang Farisi ingin mengetahui Yesus ada pada pendapat mana.
Kedua, pendekatan bahasa asli teks. Kalimat yang menggangu dari pernyataan Yesus itu adalah frase kecuali karena zinah. Dalam bahasa Yunani, frase tersebut ditulis: me epi porneia. Kata “porneia” merupakan terjemahan dari kata asli Ibrani “zanut”. Kata Ibrani ini sama sekali tidak ada kaitan dengan percabulan (termasuk zinah) dalam pemahaman saat ini, melainkan dipahami dalam konteks ketidak-pantasan dari sebuah perkawinan inses sebagaimana tertuang dalam kitab Imamat: 18 (termasuk rujukan untuk ajaran Musa). Jadi, pernyataan Yesus yang membolehkan perceraian harus dipahami dalam konteks perkawinan inses. Dengan kata lain, kalau mau ditulis lengkap maka akan berbunyi: “….., kecuali kalau perkawinan itu adalah perkawinan inses.”
Bila dikaitkan dengan pendekatan pertama, kita mendapatkan pendasaran jawaban Yesus. Artinya, jawaban Yesus tidak boleh lepas dari konteksnya, yaitu ajaran Musa, karena nama Musa dibawa dalam pembicaraan dengan orang Farisi. Setidaknya ada 2 kitab Musa yang dikaitkan dengan persoalan tersebut, yaitu kitab Ulangan dan Imamat.
Ketiga, pendekatan sinoptik dan perbandingan teks. Injil Matius, bersama dengan Markus dan Lukas termasuk dalam Injil Sinoptik. Di antara ketiga Injil tersebut, Markus adalah Injil paling tua. Dalam teori sinoptik, Matius dan Lukas mengambil bahan Markus dalam penulisan Injilnya, selain mempunyai sumber lain, yang disebut quelle. Jika kita dekatkan teks ini di antara ketiga Injil Sinoptik, maka dapat dikatakan frase kecuali karena zinah hanya terdapat dalam Matius. Demikian pula, jika kita bandingkan ajaran perceraian ini yang ada dalam teks Perjanjian Baru lainnya (1Kor 7: 10 – 11; Gal 5: 16 – 26; Ef 5: 22 – 23; 1Tes 4: 3 – 6; 1Ptr 3: 1 – 7), kita dapat mengatakan bahwa frase kecuali karena zinah hanya terdapat dalam Matius. Artinya, frase itu tidak ada dalam bagian Perjanjian Baru lainnya selain Injil Matius, dan bahkan tidak pernah dikutip oleh para pujangga Gereja sebelum Konsili Nicea (325 M). Karena itu, bisa dikatakan bahwa ada kemungkinan bahwa frase tersebut merupakan tambahan kemudian, atau disisipkan pada teks asli Injil Matius.
Kemungkinan sisipan ini bisa saja dilatar-belakangi pada situasi sosial saat itu dimana perceraian dilegalkan dengan alasan perzinahan. Mungkin hukum negara, dimana penambah berada membolehkan hal tersebut, sehingga ia akhirnya menyisipkan frase itu dalam teks asli Injil Matius. Frase tersebut jelas-jelas bertentangan dengan pernyataan Yesus, “sejak semula tidaklah demikian.” (Mat 19: 8; bdk. Mrk 10: 6). Karena bukan merupakan teks asli, mungkin frase tersebut dimasukkan ke dalam teks asli Injil Matius setelah tahun 325.
DEMIKIANLAH tiga pendekatan untuk dapat memahami pernyataan Yesus “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah,…” Tanpa menggunakan pendekatan tersebut orang bisa menilai bahwa Yesus memberi izin untuk bercerai. Akan tetapi, dengan tiga pendekatan itu, tampak jelas Yesus sama sekali tidak bermaksud membuat kekecualian. Perkawinan yang diajarkan Yesus adalah tidak terceraikan. Ajaran inilah yang kemudian diteruskan dalam Gereja Katolik. Tidak terceraikannya perkawinan menjadi salah satu sifat hakiki perkawinan katolik, karena berasal dari kehendak Allah.
Ujung Beting, 22 Maret 2020
by: adrian
Sumber:
Dr. Ardus Jehaut, Pr, Kawin Cerai Kawin Lagi, Obor: Jakarta, 2008
Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A., Hukum Perkawinan Sakramental dalam Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2019
Kitab Suci Katolik, Ende: Arnoldus, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar