Di
sebuah kamar bersalin sebuah rumah sakit, lahir seorang anak dengan cacat
jantung bawaan yang berasal dari latar belakang genetik orangtuanya. Cacat itu
sungguh-sungguh membahayakan hidup anak itu.
Andaikata
anak itu meninggal tak lama sesudah dilahirkan, tentu kedua orangtuanya akan
pulang dengan hati pedih meskipun tidak menjadi terbenam oleh tragedi itu.
Untuk beberapa saat mereka memang akan bersusah hati, merenungkan kemungkinan
penyebabnya, namun mereka akan segera melupakan kejadian itu dan memulai
menatap ke masa depan.
Akan
tetapi, anak itu tidak meninggal. Berkat bantuan ilmu kedokteran modern dan
pengabdian luar biasa dari para perawat dan dokter yang membidaninya, ia
bertahan hidup. Ia tumbuh menjadi besar, otaknya cerdas, periang dan popular,
namun terlalu lemah untuk ikut main dalam kegiatan-kegiatan olahraga.
Ia
menjadi dokter. Ia menikah dan mempunyai anak-anak. Ia dihormati di lingkungan
profesinya dan disenangi di lingkungan tempat tinggalnya. Isteri dan
anak-anaknya mencintainya; banyak orang akhirnya tergantung pada dia.
Lalu,
pada usia yang keempat puluh, kesehatannya yang rapuh itu mulai menyergapnya.
Jantungnya yang memang lemah bawaan dan yang hampir saja menewaskannya tak lama
sesudah ia dulu dilahirkan, mulai tampak cacatnya. Akhirnya ia meninggal.
Kematiannya
itu kini menyebabkan genangan kesedihan selama berhari-hari. Kematiannya itu
merupakan tragedi yang menghancurkan bagi isteri dan anak-anaknya, dan
merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi semua orang lain dalam
kehidupannya.
Andaikan
ketika dilahirkan, orangtuanya tega membiarkannya mati pada saat dilahirkan,
andaikan tim media tidak berusaha maksimal membantunya bertahan hidup, pastilah
tragedi ini tidak terjadi. Tapi semuanya telah terjadi. Siapa yang patut
disalahkan?
Diolah kembali dari Harold
S. Kushner, Derita, Kutuk atau Rahmat: Manakala Kemalangan Menimpa Orang Saleh.
Yogyakarta: Kanisius, hlm 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar