Saudari-saudara
yang terkasih dalam Yesus Kristus,
Semoga
Tuhan memberimu damai sejahtera. Semoga Pulau-pulau bersukacita.
Setelah
pada tahun lalu berupaya membangun hidup yang berpusat pada Kristus, selama
tahun 2020 ini kita akan memberikan perhatian pada upaya membangun communio,
persekutuan, persaudaraan. Berpusat pada Kristus dan membangun communio adalah
dua hal yang berkaitan sangat erat. Kalau hidup seseorang makin berpusat pada
Kristus, ia akan menjadi pribadi yang bersaudara, mengupayakan persekutuan dan
bukan perpecahan. Upaya membangun communio juga berkaitan langsung dengan Allah
Tritunggal yang kita imani. Allah Tritunggal hidup dalam persekutuan kasih,
maka Gereja juga harus hidup dalam persekutuan kasih. “Demikianlah Gereja nampak
sebagai umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh
Kudus.” (LG 4). Di dalam Gereja, umat awam, para religius (biarawan/wati) dan
klerus (diakon, imam, uskup dan Paus) saling mengakui dan menerima sebagai
saudara-saudari. “Dengan menganut teladan Tuhan, para Gembala Gereja saling
mengabdi dan melayani umat beriman lainnya. Sedangkan kaum beriman dengan suka
hati bekerja sama dengan para Gembala dan guru mereka.” (LG 32).
Guna
mengisi tahun ’communio’ ini saya mendorong agar kita semua (masing-masing
pribadi, keluarga, kbg-kbg, kelompok kategorial, paroki, komisi, sekolah, rumah
sakit, asrama, komunitas pastoran, dll) merancang secara kreatif aneka kegiatan
guna meningkatkan mutu ‘communio’/persekutuan di antara kita. Paling tidak ada
tiga aspek yang perlu diperhatikan:
a. Aspek pemahaman:
Perlu dirancang kegiatan-kegiatan yang meningkatkan pemahaman dan pengertian
kita tentang ‘communio’ itu sendiri. Misalnya, melalui pertemuan kbg, seminar,
diskusi, dll.
b. Aspek ‘mensyukuri dan
merayakan’: Sepantasnya kita juga bersyukur atas
persekutuan dan persaudaraan yang sudah ada di antara kita. Syukur itu dapat
diungkapkan dan dirayakan dalam pertemuan-pertemuan, doa-doa, ekaristi dan
sharing Injil dengan tema communio, ziarah, rekreasi, dll.
c. Aspek ‘mewujudkan’:
Kita perlu mempertahankan dan meningkatkan kualitas ‘persekutuan’ kita melalui
sikap dan tindakan-tindakan yang konkret: kerjasama, saling melayani,
memperhatikan yang lemah (sakit, tua, miskin, dll), mengupayakan
rekonsiliasi/perdamaian, dll.
Membangun
communio tentu saja meliputi banyak aspek. Tetapi saya ingin mengajak kita
sekalian untuk memberi perhatian khusus pada dua ciri ini: communio yang berbelas kasih,
murah hati (khususnya pada yang lemah dan menderita) dan communio
yang rahim (saling mengampuni dan mengupayakan rekonsiliasi bila
diperlukan). Dua ciri ini penting karena berkaitan langsung dengan sifat inti
dari Allah Tritunggal yang kita imani. Paus Fransiskus mengingatkan kita
tentang hal ini dalam homili malam natal 2019 yang lalu. “Natal mengingatkan
kita bahwa Allah senantiasa mengasihi kita semua, bahkan yang paling buruk dari
kita. Pada saya, Anda, masing-masing dari kita Ia berkata hari ini: ‘Aku
mengasihi kamu dan Aku akan selalu mengasihi kamu, karena kamu berharga di
mataku.’ Allah mengasihi kamu bukan karena kalian berpikir dan bertindak dengan
benar. Ia mengasihimu secara tulus dan sederhana. Kasih-Nya tanpa syarat …
Mungkin kamu memiliki pendapat yang keliru, melakukan banyak kesalahan. Tuhan
tetap mengasihimu. Betapa sering kita
berpikir bahwa Allah itu baik jika kita baik dan Allah menghukum kita bila kita
bersalah. Namun Allah tidak seperti itu. Kendati semua dosa kita, Ia
senantiasa mengasihi kita. Kasih-Nya tidak berubah … Itulah rahmat yang
dianugerahkan natal pada kita.”
Apa
yang disampaikan ini adalah sesuatu yang penting sekali. Bapa Suci mengingatkan
kita akan sifat inti dari Allah Tritunggal yang kita imani bersama. Allah itu
adalah kasih yang murah hati dan maha rahim. Kalau kita ingin menjadi Gereja
yang ‘dijiwai Allah Tritunggal’, maka kita pun perlu mengupayakan agar Gereja
kita memiliki wajah yang penuh kasih: Murah hati, berbelas kasih dan penuh
kerahiman. Karena itu, saya sungguh mendorong kita semua untuk mencari dan
menemukan cara-cara kreatif agar wajah Gereja Keuskupan Pangkalpinang menjadi
makin murah hati dan penuh rahim. Semoga melalui upaya kita bersama, siapapun
yang berkunjung ke wilayah keuskupan kita langsung dapat mengalami dan
merasakan bahwa kita adalah Gereja yang berbelas kasih, murah hati dan penuh
kerahiman.
Communio
yang murah hati secara konkret berarti bahwa para anggotanya memiliki kepekaan
dan perhatian satu sama lain, rela berbagi dan memberi (dana, waktu maupun
talenta), khususnya bagi mereka yang lemah dan menderita. Di dalam kelompok
kita (keluarga, kbg, paroki, dll) selalu saja ada yang lemah dan menderita yang
perlu diperhatikan secara istimewa. Janganlah kita lupa bahwa Yesus memuji
orang Samaria yang bermurah hati bagi saudaranya yang menderita (Luk 10: 25 –
37).
Communio
yang rahim secara konkret berarti bahwa para anggotanya bersedia saling
mengampuni satu sama lain. Marilah mengisi tahun communio ini dengan
mengupayakan perdamaian, rekonsiliasi dengan saudara/i atau kelompok yang masih
berselisih. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah
dan engkau teringat akan sesuatu yang ada di dalam hati saudaramu terhadap
engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai
dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”
(Mat 5: 23 – 24).
Saudara-saudari
yang terkasih dalam Kristus. Sambil mengucapkan selamat memasuki tahun ‘communio’,
saya ingin mengakhiri surat gembala ini dengan mengutip ajaran dari Paus
Fransiskus tentang wajah ‘communio’ gerejawi yang beliau harapkan. Dalam
audiensi umum 28 Agustus 2019, Paus Fransiskus mengajak kita untuk belajar dari
jemaat perdana yang menyebut Gereja sebagai “rumahsakit lapangan” yang menerima
orang-orang yang paling tidak berdaya. Hal serupa sudah pernah disampaikan
beliau dalam seruan apostolik Evangelii
Gaudium: “Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena
telah keluar di jalan-jalan daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan
nyaman melekat pada rasa amannya sendiri.” (EG 49). Janganlah kita menjadi
Gereja yang “tertutup dalam struktur-struktur yang memberikan kita rasa aman
palsu, dalam peraturan-peratruran yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam,
dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman, sementara di luar
pintu kita orang-orang sedang kelaparan dan Yesus tak lelah-lelahnya bersabda
kepada kita: Kamu harus memberi mereka
makan (Mrk 6: 37).” (EG 49).
Semoga
Gereja Keuskupan Pangkalpinang (pribadi-pribadi, keluarga, kbg-kbg,
kelompok-kelompok kategorial, paroki, unit-unit pastoral) makin bertumbuh
menjadi Gereja yang murah hati, berbelas kasih dan penuh kerahiman. Tuhan
memberkati kita semua.
Pangkalpinang,
12 Januari 2020
ttd
Mgr.
Adrianus Sunarko, OFM
Uskup
Keuskupan Pangkalpinang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar