Kata
kerja “datang” tiga kali berulang dalam Bacaan Pertama dan Injil di hari Minggu
Pertama Masa Adven. Adven artinya datang. Tuhan akan datang. Inilah akar
harapan kita; kepastian bahwa penghiburan Tuhan datang kepada kita di
tengah-tengah kesulitan dunia. Bukan penghiburan kata-kata, tetapi
kehadiran-Nya di antara kita,
Paus
Fransiskus berbicara dalam homili Misa Ulang Tahun ke-25 Pelayanan Kapelan
Katolik Kongo di Roma. Untuk memperingatinya, Paus Fransiskus merayakan Misa
Kudus menurut ritus Kongo di Altar Kursi di Basilika Santo Petrus, pada hari
Minggu pagi, 1 Desember 2019. Anggota Komunitas Kongo dari Roma dan sekitarnya
menghidupkan perayaan itu dengan nyanyian mereka. Dalam misa itu Paus
Fransiskus berdoa untuk perdamaian di Republik Demokratik Kongo serta mengecam
mereka yang memperkaya diri melalui perdagangan senjata.
Hari
ini, kata Paus Fransiskus, “kata kerja datang
bukan hanya untuk Allah, tetapi juga untuk kita. Pada bacaan pertama dari
Yesaya, Paus Fransiskus menunjukkan bagaimana nabi itu memberikan visi yang
indah tentang bangsa-bangsa yang datang bersama-sama ke gunung tempat rumah
Allah. Yesaya mengirim kepada kita undangan
dari Allah untuk datang ke rumah-Nya. “Datanglah,” pinta Allah, “karena di
rumahku ada ruang untuk semua orang. Datanglah, karena di hatiku tidak hanya
ada satu orang, tetapi semua orang.”
Ketika
berbicara langsung dengan Komunitas Kongo, Paus Fransiskus mengakui mereka
datang dari jauh; banyak yang meninggalkan rumah dan orang-orang yang mereka
cintai. Paus Fransiskus mengakui kesulitan-kesulitan yang harus mereka hadapi. “Namun,
bersama Allah kalian selalu diterima,” ujar Paus Fransiskus. “Bagi Dia kita tidak pernah menjadi orang
asing.”
Tuhan
datang dan mengundang kita untuk pergi kepada-Nya, lanjut Paus Fransiskus,
tetapi ada orang mengatakan “tidak”
terhadap undangan-Nya. Itulah “tidak” yang Yesus pakai memperingatkan kita
dalam Injil, dan mendesak kita untuk tidak melakukan seperti pada “zaman Nuh.” Yang
bisa dipikirkan semua orang saat itu adalah makan dan minum. Dengan kata lain, papar
Paus Fransiskus, “mereka memperkecil hidup mereka pada kebutuhan, mereka puas
dengan kehidupan yang datar dan horisontal, tanpa momentum.” Mereka puas
mengkonsumsi.
Paus
Fransiskus menggambarkan konsumerisme
sebagai “virus yang menyerang akar iman,” karena membuat kita percaya bahwa
hidup hanya bergantung pada yang kita miliki, oleh karena itu kita melupakan
Tuhan. “Meskipun Tuhan datang, kalian hanya mengikuti selera kalian,” jelas Paus
Fransiskus. Bahaya yang sebenarnya adalah yang membius hati, lanjut Paus
Fransiskus, membiarkan diri dibebani dan dihamburkan oleh kebutuhan kita.
Segalanya tidak pernah cukup, jelas
Paus Fransiskus. “Rumah penuh barang-barang tetapi tidak ada anak,” kisah Paus
Fransiskus. “Itulah musim dingin demografis yang sedang kita derita,”
tambahnya. Kita tidak punya waktu untuk Tuhan atau orang lain. Keserakahan kita
tumbuh dan orang lain menjadi penghalang, jadi kita akhirnya merasa terancam,
selalu tidak puas dan marah, meningkatkan tingkat kebencian.
“Kita
melihatnya hari ini saat konsumerisme merajalela,” papar Paus Fransiskus. “Dunia
ini penuh senjata yang menyebabkan kematian, namun kita tidak menyadari bahwa
kita juga terus mempersenjatai hati kita dengan amarah.” Yesus ingin
membangunkan kita, lanjut Paus Fransiskus, dengan kata kerja “berjaga-jaga.”
Untuk berjaga-jaga kita harus punya
harapan bahwa malam tidak akan bertahan selamanya, bahwa fajar akan segera
datang. “Kita harus mengatasi godaan bahwa arti kehidupan adalah akumulasi,”
jelas Paus Fransiskus. Kita harus “menahan cahaya konsumsi yang menyilaukan,
yang akan bersinar di mana-mana bulan ini.” Doa dan kasih amal, ungkap Paus
Fransiskus, benar-benar “harta terbesar.”
Ketika
kita membuka hati kita kepada Tuhan dan kepada saudara-saidari kita, kata Paus
Fransiskus, kita memperoleh karunia paling berharga yang tidak pernah dapat
diberikan oleh hal-hal materi kepada kita. Karunia yang diumumkan Yesaya dalam
Bacaan Pertama adalah perdamaian. Ini
membuat kita berpikir tentang tanah air kalian, ujar Paus Fransiskus.
“Hari
ini kita berdoa untuk perdamaian yang sangat terancam di bagian timur negara
itu,” terutama di wilayah-wilayah konflik yang dipicu dari luar, “dan dengan
diamnya banyak orang,” papar Paus Fransiskus. “Konflik yang dipicu oleh mereka
yang memperkaya diri sendiri dengan menjual senjata.”
Paus
Fransiskus mengakhiri homili dengan mengenang Beata Marie-Clementine Anuarite
Nengapeta yang, seperti Yesus, memaafkan algojonya. Melalui perantaraannya,
kata Paus Fransiskus, kita berdoa agar para pejuang menyerahkan senjata mereka,
demi masa depan yang tidak lagi saling menantang. Kita berdoa untuk pertobatan
dari ekonomi yang memanfaatkan perang menjadi ekonomi yang melayani perdamaian.
sumber:
Pena Katolik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar